Menuju ladang tembakau di Kecamatan Selo Boyolali
Setelah memuaskan mata dengan pemandangan indah di Kecamatan Selo Boyolali, kami bergegas mengunjungi ladang tembakau. Pagi itu, kami berencana untuk mengambil footage dan menggali cerita kehidupan masyarakat Selo yang mayoritas bertani, khususnya di Desa Tarubatang dan sekitarnya.
Masyarakat Kecamatan Selo Boyolali sendiri mengandalkan tembakau ketika musim kemarau. Saat kemarau panjang, mereka tidak bisa ganti tanaman begitu saja. Maklum, hanya tembakau yang bisa bertahan di sana.
Cukup lama saya mengobrol dengan beberapa petani di ladang tembakau. Banyak hal yang saya catat. Misalnya, petani tembakau di Kecamatan Selo Boyolali ini, dengan bercanda, menegaskan tidak ada yang namanya resign, apalagi ganti profesi.
Padahal, bertani tembakau itu tidak mudah. Hantaman regulasi, kubu anti-antian terus menghajar mereka habis-habisan. Tapi mereka terus menekuni pekerjaannya itu.
Terbukti, banyak di antara mereka mulai ikut bertani sejak kecil (taruhlah usia belasan). Dan kini usianya ada yang 50 tahun, bahkan ada juga yang sudah 80 tahun. Rasa-rasanya kok cuma petani yang bisa seperti itu. Makanya tidak salah kalau ada yang bilang jadi petani itu bisa bikin hati tenang.
Menariknya lagi, di berbagai desa yang masuk wilayah Kecamatan Selo Boyolali, lahan pertanian dekat dengan rumah. Depan atau samping rumah ada lahan pertaniannya.
Dari situ saya jadi teringat pernyataan ibu saya yang bilang enaknya petani itu ya kalau punya lahan dekat rumahnya. Saya mengamininya karena kapan saja para petani bisa mengamati lahan garapannya.
Tidak tertarik untuk membuka wisata secara ugal-ugalan
Bukan hanya itu, desa yang masuk ke wilayah Kecamatan Selo Boyolali seperti yang awal saya cerita di awal memiliki pemandangan yang indah. Nah, saya jadi penasaran, kenapa mereka tidak membuat penginapan, vila, resto, dan sebagainya.
Saya pikir mereka bisa dan mampu melakukannya. Mengingat lahan dan rumah yang ada di sekitar situ terbilang cukup luas. Akses jalanan ketika sudah sampai di Kecamatan Selo Boyolali juga bagus cukup mudah. Minus di lampu penerangan jalan saja. Coba ini di Jogja, pasti sudah muncul banyak fasilitas yang menunjang destinasi wisata.
Nah, rasa penasaran itu terjawab ketika saya ngobrol dengan Pak Parman, pemilik basecamp yang kami tempati. Kata beliau, kebanyakan masyarakat di sini memang tidak terlalu tergiur dengan pembangunan seperti itu. Mereka lebih memilih menjadi petani saja. Entah bertani sayuran atau tembakau ketika kemarau.
Bahkan kalau membicarakan tembakau di Kecamatan Selo Boyolali, para petani mengaku “berutang budi” karenanya. Pada 2011, di Desa Surodadi, semua petani bisa membeli mobil. Satu rumah, satu mobil, dan di sana ada 60 KK. Itu semua ya karena tembakau!
Baik-buruknya hasil tembakau, masyarakat sekitar Kecamatan Selo Boyolali tetap harus menanamnya. Tembakau memang memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan menjadi tanaman yang mampu bertahan di musim kemarau.
Saya jadi kepikiran. Seandainya tidak ada tembakau, mungkin wilayah Kecamatan Selo Boyolali yang luas lahan pertaniannya mencapai ribuan hektar, akan menjadi vila, resto atau bangunan-bangunan wisata lainnya. Kekayaan yang muncul tidak akan dinikmati warga lokal, tapi taipan dengan modal besar.
Warga Kecamatan Selo Boyolali tidak mau menjual lahan ke orang luar
Keteguhan hati untuk tetap bertani didukung juga oleh sikap warga Kecamatan Selo Boyolali yang tidak mau menjual tanah ke orang luar. Kata Pak Parman, ada kesepakatan soal ini.
Jadi, kalau misal ada warga yang menjual tanah ke orang luar, dia harus membagi 50% hasil penjualan untuk desa. “Dari situ kan nggak ada yang jual mas akhirnya,” kata Pak Parman disertai gelak tawa.
Pak Parman bercerita. Jadi dulu sempat ada lahan miliknya yang membuat orang tertarik. Mau disewa Rp16 juta per tahun katanya. Tapi, Pak Parman menolak.
Nah, rumah yang kini menjadi basecamp itu dulu sempat disekat menjadi 6 kamar. Tapi akhirnya dibongkar karena ada beberapa orang yang menanyakan bisa disewa atau tidak.
“Pernah ada muda-mudi mau nyewa. Wah saya langsung menolaknya. Ini pasti mau gimana-gimana. Jadi saya mending bongkar saja kamar itu dan saya biarkan jadi ruang untuk tidur banyak orang,” kata Pak Parman.
Tidak hanya itu, indahnya pemandangan di Kecamatan Selo Boyolali adalah incaran banyak investor. Tapi sekali lagi, masyarakat di sini menolaknya. Mereka lebih memilih mengandalkan lahan untuk bertani. Bagi masyarakat Selo, kunjungan wisatawan yang mayoritas mendaki adalah “sampingan” saja. Prioritas ya tetap bertani.
Cerita Pak Parman dan beberapa petani di Kecamatan Selo Boyolali soal mempertahankan tanah membuat saya teringat wejangan almarhum Prie GS.
Kata beliau, “Menjaga sawah, merawatnya, dan tidak mudah menjualnya bahkan walau hasil panen kecil, adalah bentuk jihad yang bisa dilakukan oleh warga desa.”
Penulis: Khoirul Atfifudin
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Selo Boyolali, Tempat Orang Tulus Bermukim dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












