MOJOK.CO – Harry Potter ngerayain Natal tapi nggak pernah ke gereja, hehehe.
Barangkali tidak ada novel dalam dua dekade terakhir ini yang lebih banyak diperdebatkan oleh kalangan agamawan daripada buku-buku Harry Potter. Setiap kali seri barunya rilis, segera datang tuduhan “mengandung satanisme” dari para orangtua Kristen yang khawatir anak-anak mereka akan terbujuk mengikuti okultisme. Beberapa sekolah yang dikelola gereja bahkan melarang muridnya membaca Harry Potter dan menyingkirkan buku itu dari perpustakaan sekolah.
Hebatnya, juga tidak ada buku yang dibela dengan penuh semangat oleh kelompok agama melebihi Harry Potter. Jika ada sejumlah riset yang merasa tidak menemukan apa pun kecuali iblis yang bersembunyi di dalamnya, di lain pihak ada yang meyakini bahwa Rowling justru merupakan juru bicara narasi Injil kontemporer terbaik saat ini.
Musabab kontroversi ini tak lain karena hubungan agama dan sihir. Ini bukan perkara baru. Dalam sejarah agama, selalu ada jejak ketika agama menghantam sihir sekaligus membedakan dirinya dari sihir. Nabi Musa bertempur menaklukkan para penyihir yang berada di bawah kekuasaan Firaun, sedangkan Nabi Muhammad pada awalnya harus berjuang menangkis tuduhan sebagai tukang sihir. Agama selalu ingin menegaskan, sihir dari setan, sedangkan agama dari Tuhan.
Bagaimana dengan Harry Potter? Ia memang cerita dunia sihir. Tapi, bukan kisah biasa dengan nenek sihir tua penunggang sapu terbang yang tertawa menakut-nakuti anak-anak. Harry Potter ditulis dengan teknik bercerita tinggi, wawasan luas, plus imajinasi mendalam dan kreatif. Tak aneh, dan ini yang mungkin membuat risau kalangan agama, cerita tentang sihir ini memukau banyak pembaca dan terjual jutaan kopi di seluruh dunia. Harry Potter bukan hanya cerita tentang sihir, tapi juga menjadi sihir itu sendiri.
Harry Potter mengandung bukan cuma kemisteriusan dunia sihir, tapi juga semacam visi dalam sulaman imajinasi yang hampir-hampir tak terbayangkan. Sekuen-sekuennya menunjukkan suatu pola perjuangan yang rumit dan berliku untuk mengalahkan dan menumpas kejahatan ilmu hitam. Dalam hal ini, tidak aneh juga ketika ada yang membelanya, bahkan menyebutkan bahwa apa yang ditulis Rowling sudah sesuai dengan (atau bahkan berisi) ajaran moralitas Kristen.
Mungkin dalam terang ini pula saya suatu kali ketika membacanya menemukan hal serupa. Sebagai contoh, pada jilid ketujuh dari epik ini, Hermione membacakan kepada Harry Potter “Kisah Tiga Saudara” dari sebuah buku, yang menurut tafsir saya, memiliki kandungan ajaran mistis. Diselingi interupsi dari temannya, Ron Weasley, yang rupanya telah mendengar cerita ini lebih dulu secara lisan, Harry mendengarkan saksama cerita tersebut ketika mereka bertiga berada di rumah Xenophilius Lovegood.
Alkisah, ada tiga saudara yang berkelana melewati jalan berliku-liku pada senja hari. Suatu kali mereka sampai ke sungai yang terlalu dalam untuk diseberangi dengan jalan kaki dan terlalu berbahaya untuk direnangi. Tapi, karena ketiganya memiliki ilmu sihir, dengan melambaikan tongkat tercipta sebuah jembatan dan dalam singkat mereka sudah berada di seberang. Di hadapan mereka berdiri sosok berkerudung… itulah Sang Kematian.
Biasanya, yang sudah-sudah, mereka yang menyeberangi sungai itu akan tewas dan jiwa mereka akan menjadi milik Sang Kematian. Karena itu Sang Kematian murka, baru kali ini sungai yang dibuatnya berhasil ditembus, tapi ia berpura-pura memberi selamat. Bahkan ia akan memberikan ketiga bersaudara itu hadiah atas keberhasilan sihir mereka.
Si Sulung yang gemar bertempur meminta tongkat sihir yang paling hebat yang pernah ada. Tongkat sihir yang selalu akan memenangkan pertempuran bagi pemiliknya. Tongkat sihir yang pantas buat seseorang yang telah berhasil mengalahkan Sang Kematian. Sang Kematian menyeberang ke pohon Elder yang tumbuh di tepi sungai, mengambil dahannya, dan mengolahnya menjadi tongkat sihir lantas menghadiahkannya kepada Si Sulung.
Si Tengah yang sombong dan congkak memutuskan untuk mempermalukan Sang Kematian lebih jauh lagi. Ia meminta kekuatan untuk memanggil yang lain dari Sang Kematian. Sang Kematian memungut sebutir batu dari tepi sungai dan memberikannya. Ia katakan bahwa batu itu memiliki kekuatan untuk mengembalikan nyawa orang yang sudah mati.
Lalu ia menanyai Si Bungsu, apa yang diinginkannya? Si Bungsu yang paling rendah hati dan bijak di antara ketiga kakak beradik itu tak mempercayai kebaikan hati Sang Kematian. Karena itu, ia hanya minta sesuatu yang bisa membuatnya melanjutkan perjalanan dari tempat itu tanpa diikuti Sang Kematian. Sang Kematian, dengan sangat berat hati dan enggan, menyerahkan jubah gaibnya kepada si bungsu.
Sang Kematian kemudian menyisih dan mengizinkan ketiganya untuk melanjutkan perjalanan. Di perjalanan mereka membicarakan dengan takjub petualangan mereka dan hadiah yang diberikan Sang Kematian.
Kemudian ketiga bersaudara ini bersimpang jalan. Masing-masing memiliki tujuan sendiri. Si Sulung, dengan tongkat sihirnya, mendatangi sebuah desa dan menemui penyihir kenalannya yang dulu pernah jadi musuhnya. Dengan tongkat itu ia berhasil mengalahkan para penyihir tersebut. Ia membanggakan tongkat itu. Ketika ia menginap dan mabuk anggur, seorang penyihir mengendap dan mencuri tongkatnya sekaligus membunuhnya. Ia lalu menjadi milik Sang Kematian.
Si Tengah kembali ke rumahnya. Ia menimang-nimang batu yang memiliki kekuatan memanggil orang mati. Betapa heran sekaligus sukanya ia karena sosok gadis yang dulu pernah ia cintai tetapi telah meninggal muncul seketika itu juga di hadapannya. Namun, tetap ada selubung antara keduanya karena gadis itu bagaimanapun bukan bagian dari dunia yang hidup. Si Tengah akhirnya jadi gila karena kerinduan yang sia-sia dan memilih bunuh diri agar bisa bergabung dengan kekasih pujaannya. Ia pun menjadi milik Sang Kematian.
Sang Kematian lalu mencari si bungsu. Bertahun-tahun dan bermil-mil jarak yang sudah ia tempuh, tapi ia tak pernah berhasil menemukan si bungsu. Sebab, si bungsu bersembunyi di balik jubah gaibnya sendiri. Barulah ketika ia sudah sepuh, si bungsu membuka jubah gaibnya dan mewariskannya kepada anak laki-lakinya. Dia kemudian menyalami Sang Kematian sebagai teman lama dan pergi bersamanya dengan senang. Sebagai teman sederajat, mereka meninggalkan hidup ini.
Kisah yang seolah berdiri sendiri di dalam epik ini dipaparkan kepada Harry Potter untuk memberitahukan tentang benda-benda-benda pusaka warisan Sang Kematian yang disebut Relikui Kematian.
Namun, secara halus di dalamnya terselip tema pencarian yang sangat populer di dalam cerita-cerita mistik. Di dalam hidup, orang selalu mencari sesuatu yang ia yakini akan memuaskan dahaga lahir batinnya. Pencarian itu jauh dan berlangsung lama sekali, bahkan seperti tak berujung. Banyak tantangan yang harus diatasi dan rintangan yang harus disingkirkan. Padahal, yang ia cari sesungguhnya ada di dalam dirinya. Bukan di luar diri. Dalam cerita di atas, Sang Kematian tak pernah berhasil menemukan dan memenuhi segala yang diinginkannya karena ia tak mampu melihat dan gagal memahami apa yang ada di dalam dirinya. Tongkat sihir Elder dan batu kebangkitan adalah lambang dunia lahiriah, sedangkan jubah gaib adalah lambang dunia batiniah.
Teringat saya pada diktum dunia sufi: barangsiapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya. Di dalam diri kitalah sumber kearifan dan kebijakan itu bersemayam. Melalui pengenalan dan pemahaman pada diri kita sendirilah, Tuhan bisa kita hadirkan. Tetapi seperti tokoh Sang Kematian di atas, sering kali kita jauh berjalan dan lama mencari, tapi alpa menengok dan menyadari bahwa apa yang kita cari ada di dalam diri kita sendiri.
Oh gitu ya? Masak sih Harry Potter kayak gitu?
Iya dong. Tidak percaya? Baca saja.
Baca edisi sebelumnya: Majid Si Manajer Makam dan tulisan di kolom Iqra lainnya.