MOJOK.CO – Klaim netralitas dan objektivitas dalam pendekatan Ryu Hasan justru menyembunyikan bias ideologis yang tidak diakui secara eksplisit.
dr. Ryu Hasan, seorang ahli bedah saraf yang aktif di ruang publik, telah menjadi salah satu tokoh paling vokal dalam mengusung pendekatan evolusioner dan neurosains untuk menjelaskan fenomena manusia, termasuk agama, moralitas, dan budaya. Dia memosisikan dirinya sebagai pembela rasionalitas dan sains dalam menghadapi apa yang ia anggap sebagai dogmatisme keagamaan.
Namun, dalam upayanya tersebut, dia kerap menyampaikan pandangan-pandangan yang bersifat menyederhanakan dan konfrontatif. Ini justru menimbulkan resistensi dan memperkeruh dialog antara sains dan humaniora.
Catatan ini tidak dimaksudkan untuk menolak sains atau membela dogma. Tulisan ini bertujuan untuk mengajukan pembacaan kritis terhadap cara berpikir yang terlalu menyederhanakan kompleksitas manusia dalam kerangka biologis semata.
Karakteristik pemikiran Ryu Hasan
Salah satu karakteristik utama dalam pemikiran Ryu Hasan adalah kecenderungannya untuk mereduksi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk agama, seni, dan moralitas, ke dalam kerja sistem saraf dan proses evolusi. Dalam kerangka ini, kesadaran dipandang sebagai epifenomena dari aktivitas otak, dan seluruh ekspresi budaya dianggap sebagai produk adaptasi biologis.
Namun, pendekatan ini mengabaikan temuan dalam sains kognitif kontemporer. Sebuah temuan yang menunjukkan bahwa kesadaran dan makna bersifat emergen, lahir dari interaksi kompleks antara otak, tubuh, lingkungan, dan konstruksi sosial.
Reduksionisme semacam ini tidak hanya menyederhanakan realitas. Ia menutup kemungkinan untuk memahami dimensi simbolik, afektif, dan intersubjektif dari pengalaman manusia.
Ryu Hasan sering menyatakan bahwa agama adalah hasil dari proses adaptasi evolusioner yang bertujuan meningkatkan kohesi sosial dan stabilitas kelompok. Pandangan ini sejalan dengan sebagian pendekatan dalam cognitive science of religion, seperti teori hyperactive agency detection atau costly signaling.
Namun, ketika agama direduksi hanya menjadi alat survival, kita kehilangan pemahaman atas dimensi transendental dan eksistensial yang menjadi inti pengalaman religius. Agama tidak hanya menjawab kebutuhan adaptif, tetapi juga menyusun horizon makna, membentuk struktur waktu dan moralitas, serta menyediakan ruang bagi refleksi atas keterbatasan dan kematian.
Kritik ini bukan penolakan terhadap pendekatan evolusioner. Ini adalah penegasan bahwa agama tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memperhitungkan kedalaman simbolik dan struktur naratif yang menyertainya.
Bias ideologi
Pandangan Ryu Hasan sangat dipengaruhi oleh positivisme klasik. Maksudnya, keyakinan itu hanya pengetahuan yang diperoleh melalui observasi empiris dan verifikasi ilmiah yang sah.
Dalam kerangka ini, filsafat, teologi, dan bahkan humaniora dianggap tidak relevan atau “ngawur.” Namun, pendekatan ini mengabaikan kenyataan bahwa sains sendiri tidak bebas nilai; ia dibentuk oleh paradigma, asumsi ontologis, dan kerangka epistemologis yang bersifat historis dan filosofis.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan, terobosan besar seperti relativitas Einstein atau teori kuantum tidak lahir dari data semata. Keduanya lahir dari imajinasi konseptual dan refleksi filosofis yang mendalam. Oleh karena itu, klaim netralitas dan objektivitas dalam pendekatan Ryu Hasan justru menyembunyikan bias ideologis yang tidak diakui secara eksplisit.
Salah satu aspek yang paling mencolok dalam retorika publik Ryu Hasan adalah penolakannya terhadap filsafat. Ini ia anggap sebagai spekulasi tak berdasar atau bahkan “ngawur.”
Pandangan ini tidak hanya menyederhanakan peran filsafat dalam sejarah intelektual manusia. Ia juga mengabaikan kenyataan bahwa banyak kerangka berpikir ilmiah justru lahir dari refleksi filosofis.
Konsep-konsep seperti rasionalitas, kausalitas, dan bahkan metode ilmiah itu sendiri merupakan hasil dari perdebatan panjang dalam tradisi filsafat. Dengan menyingkirkan filsafat dari arena intelektual, Ryu Hasan secara tidak sadar melemahkan fondasi konseptual yang menopang klaim-klaim ilmiahnya sendiri. Kritik terhadap filsafat dalam konteks ini lebih menyerupai gestur ideologis daripada argumen yang dibangun secara rasional dan historis.
Ketika agama direduksi menjadi sekadar produk evolusi otak
Sejarah sains menunjukkan bahwa sains dan filsafat tidak pernah benar-benar terpisah. Tokoh-tokoh seperti Galileo, Newton, dan Einstein tidak hanya bekerja sebagai ilmuwan, tetapi juga sebagai pemikir filosofis yang merefleksikan makna dan batas-batas pengetahuan mereka.
Dalam sains kognitif kontemporer, pemikiran tokoh seperti Thomas Metzinger, Daniel Dennett, dan Evan Thompson menunjukkan bahwa batas antara filsafat dan sains bersifat cair dan saling memperkaya.
Oleh karena itu, dikotomi tajam yang dibuat Ryu Hasan antara “sains” dan “filsafat” adalah ahistoris. Sudah begitu, dikotomi yang dia buat juga menghambat kemungkinan dialog lintas disiplin yang lebih produktif. Dalam dunia yang semakin kompleks, pendekatan transdisipliner bukanlah ancaman terhadap sains, melainkan prasyarat bagi pemahaman yang lebih utuh.
Ketika agama direduksi menjadi sekadar produk evolusi otak, kita kehilangan pemahaman atas dimensi simbolik dan hermeneutik yang menjadi inti dari pengalaman religius. Agama bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga struktur naratif, ruang afeksi, dan medan interpretasi yang membentuk cara manusia memahami waktu, penderitaan, dan kematian.
Dalam pendekatan hermeneutik, seperti yang dikembangkan oleh Paul Ricoeur atau Mircea Eliade, agama dipahami sebagai teks hidup yang dibaca dan ditafsirkan dalam konteks historis dan eksistensial. Reduksi biologis terhadap agama mengabaikan kenyataan bahwa manusia tidak hanya bereaksi terhadap lingkungan, tetapi juga menciptakan makna melalui simbol, ritus, dan narasi yang diwariskan lintas generasi. Pendekatan semacam ini tidak bertentangan dengan sains, tetapi justru memperluas horizon pemahaman kita tentang fungsi dan makna agama dalam kehidupan manusia.
Pendekatan Ryu Hasan
Ryu Hasan sering mengklaim bahwa pendekatannya bersifat objektif dan netral karena berbasis pada sains. Namun, klaim objektivitas ini justru menutupi bias ideologis yang melekat dalam kerangka berpikirnya.
Pilihan untuk menyingkirkan dimensi non-empiris seperti nilai, makna, dan pengalaman subjektif bukanlah keputusan ilmiah murni, melainkan posisi filosofis yang tidak diakui secara eksplisit. Dalam epistemologi kritis, seperti yang dikembangkan oleh Thomas Kuhn, Bruno Latour, atau Sandra Harding, sains dipahami sebagai praktik sosial yang selalu berada dalam jaringan nilai, kekuasaan, dan interpretasi.
Oleh karena itu, klaim netralitas dalam pendekatan Ryu Hasan perlu dibaca sebagai konstruksi ideologis yang menyamar sebagai kebenaran ilmiah, dan justru perlu dibongkar agar ruang diskusi tetap terbuka dan reflektif.
Ketika sains tidak lagi dipahami sebagai metode terbuka yang tunduk pada revisi dan falsifikasi, tetapi dijadikan satu-satunya sumber legitimasi kebenaran, ia berisiko berubah menjadi ideologi—sebuah bentuk “saintisme.” Dalam konteks ini, pendekatan Ryu Hasan tampak lebih menyerupai dogma baru yang menggantikan dogma lama, alih-alih menjadi jembatan menuju pemahaman yang lebih inklusif dan reflektif.
Sains yang sehat justru tumbuh dalam kesadaran akan keterbatasannya sendiri, dalam dialog dengan disiplin lain, dan dalam kerendahan hati epistemik. Ketika sains diklaim sebagai satu-satunya cara untuk memahami manusia, maka yang hilang bukan hanya kompleksitas, tetapi juga kemungkinan untuk membangun pemahaman lintas perspektif yang lebih utuh.
Neurosains telah memberikan kontribusi besar dalam menjelaskan mekanisme otak dan perilaku manusia. Namun, ia tidak dirancang untuk menjawab pertanyaan tentang makna, nilai, dan tujuan hidup.
Kritik untuk Ryu Hasan
Pertanyaan seperti “Apa arti penderitaan?”, “Mengapa kita mencintai?”, atau “Apa yang membuat hidup layak dijalani?” tidak dapat dijawab hanya dengan memetakan aktivitas neuron atau menjelaskan fungsi adaptif dari emosi. Bahkan tokoh-tokoh dalam sains kognitif seperti Antonio Damasio dan Francisco Varela mengakui bahwa kesadaran manusia tidak bisa dipahami tanpa memperhitungkan tubuh, afeksi, dan konteks sosial.
Oleh karena itu, pendekatan yang hanya mengandalkan neurosains berisiko mengabaikan dimensi terdalam dari eksistensi manusia. Yakni kapasitasnya untuk menciptakan makna di tengah keterbatasan biologisnya.
Kritik terhadap pemikiran Ryu Hasan bukanlah bentuk penolakan terhadap sains, melainkan upaya untuk memperluas horizon epistemologis masyarakat. Dalam era informasi yang penuh polarisasi, penting bagi publik untuk memahami bahwa tidak semua yang mengatasnamakan “ilmiah” bersifat netral, dan bahwa pendekatan saintifik pun memiliki batas-batas yang perlu disadari.
Literasi epistemologis, yakni kemampuan untuk memahami bagaimana pengetahuan dibentuk, dibatasi, dan diperdebatkan, menjadi kunci untuk membangun masyarakat yang tidak hanya rasional, tetapi juga reflektif dan terbuka terhadap kompleksitas.
Tanpa kesadaran ini, kita berisiko menggantikan satu bentuk dogma dengan dogma lainnya, tanpa pernah benar-benar memahami apa yang sedang dipertaruhkan.
Perlunya pendekatan saintifik
Catatan ini tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan Ryu Hasan sebagai pribadi atau profesional, melainkan untuk mengajak siapa saja untuk melihat bahwa pendekatan saintifik pun perlu dikritisi secara saintifik. Dalam menghadapi kompleksitas manusia, kita membutuhkan lebih dari sekadar data dan logika; kita juga membutuhkan sensitivitas terhadap makna, simbol, dan pengalaman.
Dialog antara sains, filsafat, dan humaniora bukanlah ancaman terhadap rasionalitas, tetapi justru prasyarat bagi rasionalitas yang lebih utuh. Hanya dengan membuka ruang bagi keragaman pendekatan, kita dapat memahami manusia secara lebih menyeluruh—bukan sebagai objek biologis semata, tetapi sebagai makhluk yang hidup dalam jaringan makna yang tak sepenuhnya bisa direduksi.
Penulis: Afthonul Afif
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jangan Kira Aktivitas Agama Hanya Seputar Ritual Syariat dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.