Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Hari Ibu untuk Ibu yang Tak Sempat Merasakan Bangku Sekolah

Arief Balla oleh Arief Balla
22 Desember 2018
A A
ibu
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Ibu saya tak tahu Hari Ibu itu apa. Juga tak tahu di mana itu Amerika. Ibu cuma tahu kalau negara itu sangat jauh, dan anaknya nggak pulang-pulang karena ada di sana.

Kabar itu mendatangi Caddi, ibu saya, ketika dia sedang bekerja di sebuah pabrik mi instan di Makassar. Ibu Caddi alias nenek saya tewas.

Ya, saya tidak salah memilih diksi. Alih-alih memilih kata “meninggal dunia”, saya memang sengaja menulis tewas karena memang situasinya demikian. Beliau seperti namanya, MATI. Dan nenek saya tidak mati sendirian.

Di Marana, sebuah kampung terpencil di Sinjai Timur, nenek saya sedang mengajar mengaji pada seorang muridnya. Tiba-tiba seorang pria gila mendatangi nenek saya. Muridnya dibunuh lebih dahulu.

Nenek saya kabur dan masih sempat memanjat Pohon Coppeng (yang buahnya seperti anggur). Pada pertahanan yang ke sekian, badik menghabisinya bersama bayi yang masih berada dalam kandungannya.

Darah bersimbah. Nenek saya tewas. Mereka bertiga lalu dikubur pada lubang yang sama. Saya hanya pernah menziarahi kuburnya sambil memejamkan mata membayangkan peristiwa memilukan itu.

Setiap kali ibu saya menceritakan hal itu, ekspresinya tetap sama: datar. Tak ada guratan sedih, sesal, atau dendam yang jelas. Saya tidak tahu dari mana ibu saya belajar ilmu semacam itu. Mungkin dari hidup yang tak mengizinkannya banyak mengeluh.

Saya yakin ibu saya tidak pernah belajar ilmu keikhlasan di bangku-bangku sekolah atau di majelis-majelis taklim. Wong ibu saya itu tidak pernah sekolah. Tidak tahu membaca dan bahkan tidak tahu tanda tangan. Bahkan di KTP-nya tanggal lahir yang tertera cuma tanggal kira-kira serta di bagian tanda tangan pakai cap jempol.

Ibu saya pernah ikut program pemerintah pemberantasan buta huruf. Saya masih bocah—belum SD bahkan. Yang saya ingat beberapa kali ibu saya berjalan kaki yang jaraknya berkilo-kilo ke kantor desa untuk belajar. Suatu hari beliau pulang dengan keadaan basah kuyup.

Saya sempat ingat bukunya yang salah satu halamannya “Ini Budi. Ini ibu Budi. Ini ayah Budi.” Tetapi pemerintah gagal membuat ibu saya bisa membaca. Bahasa Indonesia ibu saya juga tidak lancar walau beliau pernah tinggal di Makassar untuk bekerja di pabrik mi instan.

Pernah suatu hari kami naik mobil angkutan desa. Hari itu hari pasar, jadi penumpang angkot lumayan banyak. Ibu saya menyuruh saya berpegang agar tidak terjatuh ketika mobil jalan. Tetapi alih-alih bilang “Pegang”, blio malah bilang “Pega…” tanpa [ng]. Sontak blio ditertawai seisi mobil.

Beberapa di antara mereka itu tentu lebih berpendidikan dari ibu saya. Ibu saya tertawa saja dan sama sekali tidak tersinggung. Tetapi tidak dengan saya. Ingatan ibu saya ditertawai tak pernah bisa hilang dari saya.

Maka ketika saya mendaftar proposal double major—TESOL dan Linguistik—di kampus saya di Amrik, kejadian itu menjadi salah satu motif saya. Selalu terbayang saja ketika belajar Kajian Linguistik, studi tentang kajian bahasa. Saya merasa semacam melakukan pembalasan dendam. Ibu saya mungkin marah kalau tahu saya mendendam karena itu. Meski dia selalu gagal menampakkan wajah marahnya pada anak-anaknya.

Sejak jadi piatu dan menjadi anak tunggal, karena calon adik kandungnya ikut terbunuh bersama nenek saya, beliau harus menggembala sapi di padang rumput sepi sejak subuh ketika masih remaja. Bangun pada subuh hari dan terbiasa melihat hal-hal aneh. Dia menyebutnya parakang, orang jadi-jadian dalam mitos masyarakat Bugis. Saya sih tidak terlalu percaya, tapi saya yakin ibu saya tidak pernah berbohong.

Iklan

Tujuh anak lahir dari rahimnya. Tujuh kali pula dia mempertaruhkan nyawanya. Semuanya laki-laki.

Sejujurnya, Ibu mendambakan anak perempuan pada anak keenamnya. Masalahnya anak keenamnya itu saya. Yang bungsu juga laki-laki. Mungkin Tuhan mengabulkan pada cucunya. Dari 8 cucunya kini, 5 di antaranya adalah perempuan. Dan tentu saja, semua itu merupakan anak kakak-kakak saya.

Sebagai seorang istri di masyarakat kampung kami yang hidup, beliau harus mengurus segalanya. Mengurus anak, ke pasar menjual hasil kebun dan berbelanja, mengurus rumah, dan memasak, mengurus dan mempersiapkan bekal bapak saya yang akan bekerja dari subuh hingga malam di kebun. Mereka berdua membangun segalanya dari nol.

Beliau merupakan istri dan ibu yang patuh dan—sebagaimana tidak bisa membaca—ibu saya juga tidak tahu cara menolak. Apapun yang diminta anaknya akan dipenuhi, termasuk menjual barang berharganya ketika anaknya butuh biaya.

Ibu juga tidak tahu cara meminta, tidak tahu cara menangis, tidak tahu caranya marah, tidak tahu caranya memukul, bahkan sampai tidak tahu membangga-banggakan anaknya. Meski bukan mencoba sombong, semua anaknya punya kehidupan yang lebih baik ketimbang dirinya. Termasuk saya, yang beruntung benar bisa kuliah ke luar negeri. Hal yang bahkan untuk dibayangkan ibu saya saja tak berani.

Jika Ibu rindu, biasanya dia tidur di samping saya kalau pulang kampung (pulkam). Masalahnya, karena jauhnya jarak, saya jarang pulkam. Ketika saya bisa pulkam, Ibu akan memasakkan makanan kesukaan meski tak saya minta. Nama makanannya: Nasyu’ Syukka.

Anggap saja ini makanan rahasia, saking rahasianya, belum ada yang upload resepnya di Youtube. Padahal saya selalu rindu masakan itu selama di Amrik. Sudah saya coba cari di McDonald dan KFC tetap tak ada. Ya iyalaaah…

Pada 22 Desember dua tahun lalu, di hari ibu yang sama, sebuah email kepastian permohonan perpindahan ke Inggris dikabulkan oleh penyedia beasiswa LPDP. Sehari berselang, kepastian diterima di dua kampus Amerika Serikat via Fulbright menyusul. Saya pikir hari itu adalah hari terbahagia yang pernah saya rasakan di momen hari ibu.

Apakah saya memberita tahu ibu saya soal kabar bahagia itu? Tidak.

Sebab ibu saya tak tahu Hari Ibu itu apa. Juga tak tahu di mana itu Inggris dan Amerika. Sampai kini yang Ibu tahu cuma Amrik itu sangat jauh. Ibu hanya bisa mengira-ngira, kalau naik pesawat minimal 24 jam itu pasti jauhnya sampai ke ujung dunia.

Beberapa hari kemudian saya baru sungguh-sungguh memberi tahu Ibu ketika tiket ke Amrik sudah di tangan. Dan seperti biasa, dia akan menjawab datar dengan tatapan yang sama seperti biasanya.

Saya baru sekali meneleponnya karena jaringan yang payah di kampung, dan dari jauh suaranya tetap sama. Berbicara pada saya sama seperti ketika berbicara saat masih di Makassar.

Tetapi saya tahu, di lubuk hatinya sana, di balik ketegaran bola matanya yang menolak basah, di balik diamnya, ibu saya tetaplah seorang induk yang akan bertarung menahan rindu kepada darah dagingnya.

Meski ibu saya tidak berpendidikan tinggi, tidak bisa membaca, tapi ibu justru merupakan sekolah pertama yang sangat hebat bagi anak-anaknya.

Darinya saya belajar mengaji, darinya saya belajar kesabaran, keikhlasan, ketulusan, kerja keras, kepedulian, empati, dan tanggung jawab yang mungkin belum tentu dimiliki oleh orang lain. Pada titik tertentu, saya justru bersyukur ibu saya seperti itu. Toh, jika saya dilahirkan kembali dan bisa memilih, saya akan tetap memilih untuk dilahirkan dari rahimnya.

Oh iya, bagaimana dengan ibumu? Saya yakin ibumu adalah ibu yang sama menakjubkannya. Tak perlu malu untuk menceritakannya, apalagi pada hari ibu kali ini. Sekali pun ibumu tak sempat sekolah dan tak bisa membaca seperti ibu saya. Bagi saya, setiap ibu tetap luar biasa.

Selamat hari ibu, untuk kalian para ibu di luar sana.

Terakhir diperbarui pada 22 Desember 2018 oleh

Tags: amerikabuta hurufhari ibuibuInggrisLPDPMakassarsekolah
Arief Balla

Arief Balla

Sedang Studi Master di Southern Illinois University Carbondale, Amerika Serikat.

Artikel Terkait

S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO
Esai

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) nyaris drop out usai ibu tiada. MOJOK.CO
Ragam

Sibuk Skripsian sampai Abaikan Telpon Ibu dan Jarang Pulang, Berujung Sesal Ketika Ibu Meninggal

14 November 2025
Guru tak pernah benar-benar pulang. Raga di rumah tapi pikiran dan hati tertinggal di sekolah MOJOK.CO
Ragam

Guru Tak Pernah Benar-benar Merasa Pulang, Raga di Rumah tapi Pikiran dan Hati Tertinggal di Sekolah

8 November 2025
Suara ibu di telepon bikin hati lapang hadapi kerasnya perantauan MOJOK.CO
Ragam

Suara Ibu di Telepon Selalu bikin Tenang usai Hadapi Hal-hal Buruk dan Menyakitkan di Perantauan

22 Oktober 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
musik rock, jogjarockarta.MOJOK.CO

JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan

5 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.