Rasa manis yang menyengat
“Kalau bisa setiap hari makan gudeg, Mod,” kata Andre begitu dia sampai di Stasiun Tugu. Saya yang menjemput dan mengantarkan dia ke sebuah hotel di dekat Gramedia Sudirman.
Mendengar cita-citanya itu, jujur saja saya agak kaget. Ya kaget karena saya yakin ada yang salah dengan isi kepalanya. Meskipun namanya gudeg Jogja, ya nggak mungkin juga orang Jogja makan gudeg tiap hari. Selain karena pasti bosan, rasa manis dari kuliner ini bisa menimbulkan rasa tidak nyaman. Apalagi kalau makannya tiap hari.
Rasa manis itulah yang menyapa lidah Andre ketika kami makan siang di salah satu rumah makan gudeg legendaris di Wijilan. Dia memesan paket gudeg yang standar, dengan lauk telur, tahu bacem, dan suwiran ayam.
Saya tidak akan membahas soal harga gudeg Jogja yang bisa sangat mahal. Kali ini saya ingin fokus ke pengalaman lidah Surabaya kena sengat rasa manis gudeg Jogja.
“Biar nggak kaget, coba cicipi dulu sedikit. Jangan langsung ke gudeg. Bisa telur dulu, atau ayam suwir itu. Biar nggak kaget lidahmu,” kata saya memberi peringatan.
“Aneh, sih, kalau makan gudeg nggak dari gudeg-nya dulu,” kata Andre membantah. Mbuh wis, batin saya.
Dan itulah yang terjadi. Andre menyendok gudeg ke mulut, disusul potongan tahu yang sudah dimasak bacem. Maka, paripurna sudah rasa manis yang menjebol mulut orang Surabaya ngeyelan satu ini.
Pusing
Awalnya biasa saja. Lama-lama, raut muka Andre menunjukkan rasa tidak nyaman. Saya tahu dia sebetulnya nggak begitu tahan dengan rasa manis gudeg kering itu.
Buat pembaca yang belum tahun, gudeg kering adalah salah satu variasi. Jadi ada kering, ada juga basah yang mengandung “kuah” lebih banyak. Ciri khas varian kering adalah tekstur yang lebih padat.
Kepadatan ini muncul dari proses memasak yang lebih lama, sehingga sebagian besar cairan dari nangka muda dan bumbu menguap. Gudeg kering juga cenderung memiliki warna cokelat tua yang lebih pekat dan rasa yang lebih kuat.
Itu dia. Rasa yang lebih pekat dan kuat. Apalagi rasa manis yang ia bawa. Sudah begitu, dia menyantap seporsi gudeg Jogja itu dengan tahu bacem. Komplet sudah rasa manis yang menyerbu lidahnya.
Siang itu selesai dengan Andre sukses menahan rasa manis yang membuatnya tidak nyaman. “Sebetulnya enak, tapi manis banget. Hampir nggak tertelan.” Kata Andre ketika saya mengantarnya kembali ke hotel. Dia bilang kepalanya pusing.
Pusing setelah mengonsumsi makanan atau minuman manis berlebihan bisa disebabkan oleh fluktuasi kadar gula darah yang cepat. Saat mengonsumsi makanan manis, tubuh akan memproduksi insulin lebih banyak untuk menurunkan kadar gula darah, yang terkadang bisa menyebabkan kadar gula darah turun terlalu rendah, menyebabkan pusing
Selama 2 hari kemudian, setiap sarapan, orang Surabaya ini masih kuat untuk menyantap gudeg Jogja. Saya yang asli Jogja saja sudah sangat bosan. Bahkan saya malah kangen makan Indomie goreng. Oya, selama 2 hari itu kami menyantap Gudeg Mbah Galak di Jalan Gejayan dan Gudeg Mbok Lindu. Keduanya legenda.
Hampir saja membenci gudeg Jogja
Di hari ketiga, kami tidak sempat sarapan gudeg Jogja. Dia harus menyiapkan presentasi untuk keperluan pekerjaan. Maka, di hari keempat, kami janjian lagi. Kali ini dia hampir menyerah.
Andre sudah tidak kuat lagi dengan rasa manis dari gudeg Jogja. Sebetulnya saya nggak yakin dia nggak kuat. Mungkin dia cuma bosan saja. Orang lokal saja sudah “muak”, apalagi lidah Surabaya.
Menurut saya, banyak orang yang “gegabah” memaksa dirinya makan gudeg Jogja padahal tidak toleran terhadap rasa manis. Ya kalau memang mau agak nekat, sebaiknya riset dulu. Misalnya, kalau boleh menyarankan, kalau baru pertama makan gudeg, bisa minta tambah areh.
Jadi, areh adalah semacam santan kental yang sudah mendapat tambahan bumbu. Bumbu kental ini biasa dipakai sebagai tambahan untuk gudeg atau nasi liwet Solo. Rasa dari areh ini cenderung gurih karena berasal dari santan dengan tambahan asin garam. Ada juga yang menambahkan gula jawa sehingga warnanya rada pekat.
Nah, di beberapa warung gudeg Jogja sendiri, rasa areh-nya cenderung gurih. Jadi, tambahan bumbu ini bisa mengimbangi manisnya gudeg. Namun, kamu harus hati-hati. Namanya saja Jogja, banyak makanan jatuhnya manis. Nggak heran kalau rasa areh-nya lebih sedikit manis. Areh di gudeg Solo kayaknya lebih bersahabat.
Diselamatkan gudeg mercon
Hari keempat kami janjian untuk makan malam. Saya mengusulkan sesuatu yang berbeda, yaitu gudeg mercon. Kalau gudeg Jogja pada umumnya memang manis, maka varian “mercon” ini menawarkan hal baru. Ia menjadi perpaduan rasa manis, gurih, dan tentu saja pedas. Malam itu, kami makan di Gudeg Mercon Bu Tinah yang beralamat di di Jalan Asem Gede No.8, Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta.
Gudeg Jogja satu ini sepertinya memang sudah menjadi legenda. Apalagi sejak Nex Carlos meliput Bu Tinah, jumlah pembeli di sana meningkat drastis. Nah, untung saja, saya dan Andre datang sebelum Nex Carlos bikin konten di sana. Jadi antreannya masih lebih “manusiawi”.
Kami datang sekitar pukul 10 dan antrean tidak terlalu panjang. Melihat gudeg yang nggak terlalu pekat cokelat, dengan sayur tempe bertabur lombok rawit, Andre terlihat lega. Dan di suapan ketiga dia bilang, “Gudeg Jogja harusnya ya begini.”
Saya menjelaskan kalau setiap daerah punya kekhasan dan lidah Surabaya miliknya yang harus adaptasi, bukan kulinernya. Tapi Andre tak terlalu mendengarkan saya. Dia asik mengunyah lombok rawit dan krecek itu. Mungkin separuhnya dia lega karena nggak lagi makan gudeg Jogja yang terlalu manis.
Hari kelima kami absen makan gudeg dan sebelum dia pulang ke Surabaya, kami ke Gudeg Mercon Bu Tinah sekali lagi. Saya sih bersyukur, berkat Bu Tinah, teman saya tidak membenci gudeg Jogja.
Mungkin memang begitu lidah Surabaya. Lidah tertentu yang butuh sensasi perjuangan. Di titik ini saya bersyukur untuk kedua kalinya dan berterima kasih kepada kreativitas juru masak. Tanpa kreativitas gudeg mercon, banyak orang yang tidak toleran rasa manis jadi bisa ikut menikmati gudeg Jogja.
Penulis: Moddie Alvianto W.
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Nyatanya, Gudeg Jogja Terkenal dan Mahal Itu Kalah Enak Dibandingkan Gudeg Emperan Pinggir Jalan dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.