MOJOK.CO – Sebelum Squid Game viral, Indonesia pernah punya acara Mikrofon Pelunas Hutang. Sebuah acara yang kini ada variannya di dunia nyata.
Squid Game sempat menduduki posisi pertama di Indonesia sebagai serial Netflix yang paling banyak ditonton. Serial asal Korea Selatan ini mengusung tema survival game, tetapi game yang dimainkan adalah permainan tradisional anak-anak di negeri gingseng sana. Salah satunya permainan cumi alias squid game itu sendiri.
Permainan cumi yang dimainkan anak-anak di Korsel terkenal sebagai permainan anak yang brutal. Setiap pemain dibebaskan melakukan segala cara untuk mempertahankan teritori dan menginvasi daerah lawan.
Saling dorong dan adu sikut mah hal biasa. Bahkan boleh saja melempar pasir ke wajah lawan sampai kelilipan. Kemungkinan permainan ini berakhir ketika pemainnya pada sibuk gelut sampai lupa dengan permainannya. Berbeda dengan permainan tradisional Indonesia yang penanda berakhirnya adalah beduk Magrib dan suara emak nyuruh mandi.
Konsep cerita Squid Game bukanlah barang baru. Sebelumnya ada The Hunger Games dan Battle Royale yang isinya adalah pertumpahan darah untuk menentukan sang pemenang tunggal.
Kalau yang sama-sama memakai permainan anak-anak sebagai benang merah ceritanya adalah film Ready or Not. Bercerita tentang pengantin baru yang dipaksa main petak umpet di rumah mertua, tapi sambil diburu pakai senapan dan panah. Nah, ini baru namanya menantu diburu mertua. Harfiah.
Kompetisi di serial Squid Game terasa seperti Benteng Takeshi. Bedanya, di sini yang kalah langsung ditembak mati oleh panitianya. Nggak cukup cuma dikatai, “Bodoh sekali dia, Yang Mulia.” Apabila berhasil keluar sebagai pemenang, bisa bawa pulang uang segede celengan bagong raksasa.
Umumnya, peserta yang direkrut untuk permainan hidup-mati ini adalah orang-orang yang mengalami kesulitan finansial dalam kehidupan nyata. Seperti tokoh utamanya yang merupakan buronan rentenir. Sang protagonis ini terlilit utang karena mabok judi.
Dipilihnya permainan anak untuk dimainkan orang dewasa adalah bentuk ironi. Bahwa, ketika menyangkut masalah uang, teman sepermainan saat kecil pun tak segan untuk saling bunuh. Membuat kenangan indah masa-masa belum kenal uang, menjadi sangat berharga.
Di Indonesia pernah ada kontes untuk mereka yang terlilit oleh utang dan berniat untuk melunasinya, yaitu Mikrofon Pelunas Hutang. Namun, tak sedikit yang kritik acara realitas tersebut karena menjual kesedihan sekaligus komodifikasi kemiskinan. Sebab hadiahnya sedikit sekali, padahal sponsor untuk penyelenggaranya sangat melimpah.
Wajar saja, Mikrofon Pelunas Hutang bukan solusi utama untuk masalah kesenjangan sosial dan kesempatan kerja dan peluang usaha yang belum merata. Selesai acara, bisa jadi pemenang kuis tersebut kembali terjebak utang di kemudian hari. Sementara yang empunya acara malah makin kaya saja.
Ketimbang Mikrofon Pelunas Hutang acara yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan di negeri ini adalah “Mikrofon Anggota Dewan”. Kalau belum berhasil juga, terpaksa pakai “Megafon Peserta Demo”.
Diceritakan bahwa masalah di Korsel sana adalah utang rumah tangga yang melonjak lantaran pemerintah menghapuskan limit pinjaman. Sehingga rakyat bisa berutang di luar batas kemampuannya.
Hal seperti ini memungkinkan nasabah meminjam uang di pinjaman online (pinjol), lalu melunasinya pakai pinjol dari fintech lainnya. Begitu terus sampai keluarga besar dan tetangganya ikut-ikutan diteror debt collector.
Kompetisi ilegal Squid Game sampai diciptakan karena adanya orang yang terlalu banyak uang dan banyaknya orang yang tidak punya uang.
Konon, orang yang superkaya merasa tercabut kenikmatannya karena terlalu kaya. Makanan selezat apapun terasa hambar, kemudahan hidupnya malah membosankan. Jadi, untuk kesenangannya, golongan elite ini sampai harus menonton sesama manusia berlomba menyabung nyawa dalam sebuah permainan ala pacuan kuda.
Pertanyaannya, kenapa ada yang mau jadi pesertanya?
Ya karena banyak orang susah itu tadi. Kalau Squid Game digelar di Indonesia juga mungkin ada saja yang khilaf mendaftar jadi pesertanya. Apalagi diselenggarakannya pas tanggal tua.
Sebenarnya Indonesia sudah menggelar permainan seperti Squid Game ini sejak lama. Namun, tidak seperti Squid Game Korea Selatan yang mengharuskan pemain menjadi pemenang di setiap permainan untuk dapat uang hadiah utamanya. Di Indonesia, pemain bisa ambil uang dulu—ibaratnya hadiah dibayar di muka—baru mulai permainan.
Permainan tradisional yang dimainkan di sini bisa petak umpet atau kucing-kucingan. Area permainannya tidak terbatas wilayah Indonesia, tetapi bisa ke luar negeri juga.
Kalau pemain berhasil mengelabui petugas imigrasi di bandara dan tiba di Singapura, berarti itu titik aman pertama. Dari Singapura, pemain bisa melanjutkan permainan kucing-kucingan ke negara lain, seperti Hongkong atau Australia, bahkan Amerika.
Selama permainan, pemain bisa memakai uangnya. Bisa dibelanjakan untuk keperluan pribadi dan hobi, seperti koleksi action figure. Bisa juga plesiran ke Eropa. Kalau perlu membayar jasa orang lain untuk bekerja sama. Supaya tidak cepat ketahuan selama permainan petak umpet skala global ini.
Permainan berakhir ketika pemain tertangkap oleh petugas. Selanjutnya, pemain bakal dijebloskan ke penjara dan harus bayar denda. Peraturannya seperti permainan monopoli ya? Ya memang monopoli, bedanya yang dimonopoli bukan uang mainan, melainkan uang rakyat.
Tetapi tenang, pemain yang telah kalah tidak akan ditembak mati seperti di drakor Squid Game. Yah, paling banter disuruh tidur nyenyak di lapas rasa hotel. Sesekali bisa makan enak di restoran Padang atau liburan nonton tenis di Bali.
Maklum, di sini panitianya baik hati dan berpendapat bahwa hukuman mati melanggar hak asasi.
Walaupun ada peraturan (UU Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2) yang berbunyi: “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan*.”
*) Syarat dan ketentuan berlaku.
BACA JUGA Plot Brutal Squid Game yang Sering Gagal Dipahami dan tulisan Haris Firmansyah lainnya.