Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Di Desa Saya, Panggilan Orang Tua ‘Bapak-Emak’ atau ‘Papi-Mami’ Adalah Bahan Ghibah yang Gurih

Muhammad Zaid Sudi oleh Muhammad Zaid Sudi
26 Agustus 2020
A A
Di Desa Saya, Panggilan Orang Tua ‘Bapak-Emak’ atau ‘Papi-Mami’ Adalah Bahan Ghibah yang Gurih

Di Desa Saya, Panggilan Orang Tua ‘Bapak-Emak’ atau ‘Papi-Mami’ Adalah Bahan Ghibah yang Gurih

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Dari nama panggilan anak ke orang tua, orang-orang di tempat saya bisa tahu kelas sosial sebuah keluarga tanpa harus kenal langsung.

Entah berapa kali saya dan istri ditertawakan para tetangga gara-gara panggilan “bapak” dan “ibu” digunakan oleh anak-anak kami. Menurut mereka, panggilan orang tua seperti itu udah kuno. Kadaluwarsa.

Tak jarang ada saja yang mengusulkan agar saya mengubah panggilan itu, “biar lebih modern,” katanya. Beberapa lainnya mengajarkan secara tersamar kepada anak-anak kami melalui pertanyaan-pertanyaan fundamental, “Ayah di rumah, Sayang?” atau “Bunda pergi ke mana, Dek?”

Padahal, tak perlu jauh-jauh sampai panggilan “bunda”, panggilan “ibu” saja sudah saya anggap sebagai kemajuan antropologis di kampung halaman saya. Soalnya ketika saya kecil di Surabaya, kebanyakan teman-teman saya memanggil orang tua saya dengan “bapak-emak”.

Oleh karenanya, panggilan “ibu” itu udah mewah sekali di telinga. Apalagi kalau disandingkan dengan “ayah”. Udah kayak adegan makan malam di ruang keluarga crazy rich surabayan pakai table manner plus berderet-deret pembantu yang siap melayani.

Ya gimana ya, menggunakan nama panggilan seperti itu memang tidak bisa sembarangan di tempat saya. Panggilan “ayah-ibu” biasanya dipakai oleh keluarga dengan tingkat sosial atas. Ada soal pantas dan tidak pantas di sana.

Anak petani yang memanggil orang tuanya dengan “ayah-ibu” akan jadi bahan pergunjingan yang gurih bagi tetangga. Begitu juga kalau ada yang berani menggunakan panggilan “abah-umi”. Panggilan yang juga punya kelas sendiri.

Di tempat saya, hanya mereka yang sudah menunaikan ibadah haji yang berhak menyandang panggilan sakral itu. Tidak hanya bagi anak-anak mereka, orang lain pun harus memanggil begitu.

Jangankan orang tua, mereka yang masih muda tapi udah haji pun akan dipanggil “wak kaji”. Sementara mereka yang lebih dewasa akan menggunakan panggilan “cak kaji” kepada yang laki-laki dan “yukaji” atau “neng kaji” kepada perempuan.

Dengan demikian, dari nama panggilan anak ke orang tua, orang-orang di tempat saya bisa tahu kelas sosial sebuah keluarga tanpa kenal langsung.

Ini seperti halnya foto profil di sebuah akun sosial, di mana panggilan juga merupakan citra identitas. Makanya, ketika memutuskan untuk menggunakan panggilan “bapak-ibu”, saya pikir itu sudah naik kelas, eh ternyata masih nggak juga ya.

Barangkali karena saat ini, sekat-sekat atau batas kepantasan kayak gitu sudah runtuh. Setiap orang bebas memakai panggilan yang disukai tanpa repot-repot memikirkan status sosialnya.

Anak buruh tani atau karyawan pabrik mulai lumrah memanggil orang tuanya dengan “ayah-bunda”, “abi-umi”, “buya-uma”, atau panggilan yang dulu barangkali hanya dipakai oleh orang kota atau artis di FTV. Dari papi-mami sampai daddy-mommy.

Pada perkembangannya, perubahan sapaan orang tua ini juga menyentuh pada sapaan kepada kerabat lainnya; simbah jadi “opa-oma”, “jaddi-jaddati”, “grandma-grandpa”; paklik-bulik jadi jadi “om-tante”, “uncle-onti”, “ami-khali”, dan sapaan modifikasi lainnya.

Iklan

Perubahan ini menjadi lumayan menarik. Soalnya saya jadi teringat dengan parodi Kiai Anwar Zahid soal perubahan panggilan dari anak ke orang tua. Kata Kiai Anwar Zahid, bukan tidak mungkin bakal muncul adegan macam gini.

“Papi, kalau nanti Papi mau ngarit, jangan lupa nyangking carang ya, Mami mau ngeliwet.”

Parodi itu mungkin merupakan sindiran atas perubahan yang membentur ukuran-ukuran lama. Ada penekanan realitas soal pantas dan tidak pantas. Atau bisa jadi, candaan tersebut juga bentuk resistensi orang lama atas perubahan yang mulai merangsek ke desa-desa.

Memaksa orang desa mau berubah. Sambil menyelipkan gagasan bahwa budaya orang kota itu lebih baik dan lebih keren, dan kebiasaan orang desa itu nggak lebih baik jadi patut untuk ditinggalkan. Pada akhirnya orang-orang desa seperti saya (dan tetangga-tetangga saya di awal tulisan tadi), jadi tertarik pula untuk mengganti panggilan orang tua tersebut.

Tentu saja ada banyak faktor yang memengaruhi perubahan tersebut. Lingkungan pergaulan, gaya hidup, perubahan pemahaman (seperti maraknya sapaan akhi-ukhti), tontonan di televisi.

Belum dengan makin mudahnya akses terhadap informasi atau makin banyaknya orang kota yang membangun hunian di kampung adalah beberapa faktor yang bisa disebut. Namun, seperti yang tampak di desa saya, faktor utamanya adalah meningkatnya kondisi ekonomi keluarga.

Pasangan muda yang mulai mapan, berpendidikan tinggi, punya penghasilan tetap, punya rumah, kendaraan, tabungan dan cicilan merasa mulai memiliki kebutuhan atas identitas baru yang berbeda dari yang digunakan orang tua mereka.

Sebuah identitas yang akan menempatkan diri mereka dalam kelas yang berbeda, yang lebih tinggi atau lebih prestisius dari masyarakat yang membesarkannya.

Cara yang ditempuh pun bisa sangat beragam, mulai pemberian nama anak dengan pilihan kata yang digali dari berbagai kebudayaan dunia, menyekolahkan anak di lembaga pendidikan favorit, hingga penggunaan bahasa Indonesia atau Inggris dalam pergaulan sehari-hari.

Akan tetapi, opsi yang paling mudah dan umum adalah penggunaan sapaan yang tidak standar bagi mereka sendiri dan kerabat lain. Dari sana kemudian memunculkan panggilan “bapak” dan “ibu” bersama “mboke” dan “pake” tidak lagi jadi pilihan menarik. Expired.

Bahwa saya tetap menggunakan panggilan orang tua kadaluwarsa itu kepada anak-anak, selain faktor yang sudah saya sebut di atas dan selain karena udah kadung basah, juga karena kesadaran saya akan faktor umur dan faktor ekonomi keluarga saya. Hehe.

BACA JUGA Betapa Ribetnya Nama Anak-Anak Masa Kini atau tulisan Muhammad Zaid Sudi lainnya.

Terakhir diperbarui pada 26 Agustus 2020 oleh

Tags: FTVkelas sosialpanggilan orang tua
Muhammad Zaid Sudi

Muhammad Zaid Sudi

Kadang penulis, kadang penerjemah, kadang guru ngaji. Tinggal di Jogja.

Artikel Terkait

Jadi Karyawan Alfamart Kendal 10 Tahun, Nekat Kerja di Bogor karena Terobsesi FTV, Berakhir Patahkan Mitos Nikahi Perempuan Sunda.MOJOK.CO
Ragam

Kerja Alfamart di Kendal 10 Tahun, Nekat Resign Pindah Kerja di Bogor karena Terobsesi FTV sampai Nikahi Perempuan Sunda

18 Mei 2024
perantau sumenep tinggalkan warung madura demi ke jogja gara-gara ftv.MOJOK.CO
Catatan

Tinggalkan Warung Madura di Bekasi, Perantau Sumenep Pilih Kerja di Jogja Gara-gara Keseringan Nonton FTV, Sempat Kelaparan Kini Penghasilan Besar

5 Mei 2024
FTV SCTV
Pojokan

Akui Saja, Walau Terlalu Khayal, Namun FTV SCTV Berhasil Menawarkan Harapan Atas Realitas Kehidupan Percintaan

12 Juli 2021
MasterChef Season 8 Kurang Gayeng? Gimmicknya Chef Arnold Dibanyakin Aja Sudah
Esai

MasterChef Season 8 Kurang Gayeng? Gimmicknya Chef Arnold Dibanyakin Aja Sudah

24 Juni 2021
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.