MOJOK.CO – Demak dan Kudus terendam banjir besar dan terisolasi. Warga mengaku sudah putus asa dan putus harapan melihat jebolnya beberapa tanggul.
Demak tenggelam. Sebanyak 12 dari 14 kecamatan di Kabupaten Demak kebanjiran. Ada 90 desa yang terendam banjir, lebih 90 ribu orang terdampak, seperempatnya mesti mengungsi ke tempat aman. Di Kabupaten tetangga, Kudus, tempat saya menetap kini, ada 30 desa kebanjiran. Hampir 5 ribu orang mesti mengungsi meninggalkan rumah yang terendam air.
Setiap musim penghujan tiba, 2 kabupaten di pantura ini memang langganan banjir. Di tambah Kabupaten Pati, Grobogan, dan Rembang, atau wilayah yang sebagian besar masuk Karesidenan Pati zaman Hindia Belanda memang pelanggan utama kebanjiran. Ini berlangsung sudah sejak lama, bukan baru-baru ini saja.
Sebelum banjir besar tahun ini, tercatat wilayah ini pernah mengalami banjir besar serupa, di 1992 juga 2014. Ini di luar banjir-banjir “kecil” yang hampir setiap musim penghujan datang. Pada 2014 misalnya, hujan deras yang mengguyur hampir 2 pekan penuh menyebabkan Kudus dan Demak terisolir dari dunia luar lebih dari sepekan. Segala kebutuhan pokok sulit didapat. Bahan bakar langka, jika ada harganya melambung tinggi.
Warga Demak hampir putus asa dan putus harapan menghadapi banjir
Pada 1992 juga terjadi hal yang sama, banjir besar membikin Demak dan Kudus terisolir dari dunia luar. Ribuan manusia mesti mengungsi ke tempat aman. Namun begitu, menurut banyak orang, banjir kali ini jauh lebih dahsyat dibanding banjir besar yang pernah terjadi di 1992 dan 2014 lalu.
Salah satunya Agus Nugroho, Kepala BPBD Demak. Dia mengalami banjir besar di 1992 dan 2014. Pada banjir 1992, dia bahkan ikut mengungsi karena rumahnya terendam air banjir. Menurutnya, banjir kali ini jauh lebih besar dibanding banjir-banjir besar sebelumnya yang melanda Demak dan sekitarnya. Untuk banjir kali ini, Agus bahkan sudah merasa putus asa dan putus harapan.
“Kami terus terang sudah putus asa. Kalau sampai tanggul Sungai Lusi, Desa Bugel, Kecamatan Godong itu tidak segera ditutup, maka Demak akan tenggelam.” Ujar Agus kepada BBC News Indonesia.
Tanggul yang jebol memang menjadi salah satu sebab banjir besar kali ini. Selain tanggul di Desa Bugel, ada 5 tanggul lain yang jebol dan menyebabkan banjir besar.
Salah satu tanggul ada di Sungai Wulan, yang pada awal Februari lalu juga sempat jebol. Air merendam sebagian besar wilayah Kecamatan Karanganyar. Pemerintah setempat sempat memperbaiki tanggul tersebut dan banjir surut. Namun, tidak lama, tanggul itu jebol lagi. Banjir yang lebih parah kembali merendam Karanganyar, jalur pantura sepanjang sekitar 3 kilometer lumpuh total.
Penyebab tanggul jebol
Tanggul jebol tentu ada sebabnya. Dua dari banyak penyebab tanggul jebol adalah tingginya volume air dan usia tanggul yang kian renta. Oleh sebab itu, kekuatannya kian lama kian menurun.
Hampir semua tanggul yang jebol dibangun semasa Belanda menguasai negeri ini. Ratusan tahun tergerus air tanpa jeda tentu mengikis kekuatan tanggul. Kabarnya, PUPR sudah mengerjakan perbaikan tanggul yang jebol. Hari ini, Jokowi bilang perbaikan tanggul akan selesai. Yah, semoga benar. Biar masyarakat terdampak bisa segera kembali ke rumah dan menjalankan ibadah puasa dengan tenang. Bukan dalam keadaan was-was di pengungsian.
Banjir besar di Demak dan Kudus dan sekitarnya juga banyak melahirkan teori penyebab bencana ini. Cuaca ekstrem, pemanasan global, dan perubahan iklim, serta kembalinya Selat Muria yang sudah sejak abad 17 menjadi daratan.
Celakanya, teori-teori ini (yang sebagian besarnya memang benar) bisa menjadi legitimasi bagi mereka yang semestinya bertanggung jawab untuk bisa lepas dari tanggung jawab. Pada akhirnya, mereka sebatas bekerja memperbaiki tanggul serta pekerjaan-pekerjaan sekunder yang jauh dari permasalahan utama.
“Ya gimana lagi, memang cuacanya sedang ekstrem, di luar kebiasaan, jadi wajar banjir, sudah kehendak alam.” Mungkin begitu mereka berkomentar. Atau, “Pemanasan global dan perubahan iklim sedang terjadi. Seluruh dunia mengalami ini. Ya sudah, terima saja risikonya.” Sembari berpangku tangan menunggu air surut tanpa banyak berbuat apa-apa.
Yang paling mengerikan tentu saja teori kembalinya Selat Muria sehingga keadaan banjir ini dinormalisasi. Dianggap biasa-biasa saja karena wilayah yang kebanjiran ini dulunya memang laut. Setidaknya sebelum periode 1600an.
Alibi-alibi yang mengerikan
Mari kita bahas satu per satu betapa ngerinya semua alibi di atas. Apalagi ketika yang seharusnya bertanggung jawab menggunakannya untuk lepas dari tugas di kala banjir besar melanda Demak dan sekitarnya.
Mendekati puasa, hingga awal-awal bulan puasa, cuaca ekstrem memang melanda Demak, Kudus, dan sekitarnya. Tercatat curah hujan harian hampir selalu di atas lebat, sudah pada taraf ekstrem sekira sepekan penuh. Kondisi ini sesungguhnya sudah diprediksi jauh-jauh hari. Maka mitigasi sudah semestinya bisa dilakukan juga jauh-jauh hari.
Tanggul-tanggul yang sudah uzur bahkan purba, alangkah baiknya jauh-jauh hari diperbaharui kualitasnya, bukan nunggu jebol baru diperbaiki. Sudah tahu cuaca ekstrem akan semakin sering terjadi, semestinya usaha menghadapinya juga ekstrem, bukan malah santai-santai saja.
Dua sungai besar yang membawa jutaan liter air untuk membanjiri Demak, Kudus, dan sekitarnya; Sungai Lusi dan Sungai Wulan, berhulu di Pegunungan Kendeng dan Gunung Merbabu. Di 2 titik tersebut, pertambangan dan pembangunan yang merusak lingkungan terus menerus terjadi. Puluhan ribu hektare hutan lindung berubah fungsi menjadi area pertambangan, pertanian semusim dan bangunan-bangunan wisata yang tidak ramah lingkungan.
Area yang sebelumnya menjadi resapan air ketika hujan turun, seekstrem apapun cuacanya, berubah fungsi dan tak lagi bisa menampung air. Selama hal ini terus dibiarkan, Demak, Kudus, dan sekitarnya akan terus mengalami banjir, yang makin besar seiring curah hujan di area resapan, juga seiring perusakan area resapan tersebut. Mau bikin tanggul-tanggul canggih di hilir-hilir sungai Lusi dan Wulan, ya sama saja.
Jadi, tolong jangan menjadikan cuaca ekstrem atau pemanasan global sebagai alasan untuk berpangku tangan. Sebaliknya, itu semestinya menjadi cambuk untuk lebih siap menghadapi akibat yang sesungguhnya.
Sayangnya, kebanyakan kita terbiasa bertindak jika sesuatu yang ekstrem sudah terjadi. Padahal ia bisa diprediksi, dan kita wajib memitigasi sebelum yang ekstrem itu terjadi. Bagi kebanyakan kita, mitigasi itu sesulit politisi tidak korupsi. Pekerjaan maha berat.
Terakhir, yang mengkhawatirkan, ada yang mengaitkan banjir besar di Demak, Kudus, dan sekitarnya ini dengan kembalinya Selat Muria dari “kematian”. Kalau sudah begini, permakluman demi permakluman atas bencana ini semakin mendapat legitimasi. Padahal itu keliru.
Benarkah Selat Muria bisa bangkit dari kematian?
Sebelum abad ke-17, Pegunungan Muria dan Pulau Jawa terpisah. Adalah Selat Muria yang memisahkannya. Selat ini membentang dari perbatasan Semarang-Demak kini, hingga ke wilayah yang kini masuk Kabupaten Rembang.
Setelahnya Selat Muria hilang, muncul daratan yang sebagian besarnya terendam banjir pada bencana banjir kini. Sejarah batuan mencatat, sebelum abad 17, ada 18 kali Selat Muria hilang dan kembali muncul. Ini berlangsung selama jutaan tahun usai zaman es berakhir.
Latar ini bisa saja dipakai sebagai argumen kuat menormalisasi bencana banjir di Demak dan sekitarnya. Tapi ini keliru. Sangat keliru. Banjir yang dibawa dari hulu-hulu sungai di dataran tinggi Jawa Tengah ke pesisir utara di bekas Selat Muria, adalah skema alamiah pendangkalan Selat Muria. Sedimentasi yang terbawa arus air dari dataran tinggi, menjadi bahan baku pendangkalan selat hingga akhirnya menjadi daratan.
Selat Muria bisa kembali ada, syaratnya, bukan lewat skema banjir daratan, banjir air tawar dari dataran tinggi Jawa Tengah yang membawa sedimentasi ke pesisir utara. Ia akan kembali muncul jika permukaan air laut naik. Kembali merendam daratan yang dulu pernah menjadi lautan bernama Selat Muria.
Jadi, mari sudahi berteori dan berdalih untuk menormalisasi banjir besar di Demak, Kudus, dan sekitarnya. Mari segeralah bertindak tepat sasaran sebelum semua benar-benar berantakan.
Penulis: Fawaz
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Bedono, Desa di Demak yang Berkawan (Kelewat) Akrab dengan Rob dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.