MOJOK.CO – Label olahraga islami selalu lekat dengan berkuda dan memanah. Sepak bola jelas tidak masuk hitungan. Olahraga yang banyak mengumbar aurat seperti itu, mana ada hubungannya dengan Islam?
Di tengah hingar-bingar Piala Dunia 2018 seperti sekarang ini, pertanyaan yang menyoal hubungan Islam dan sepak bola tentu menarik. Kebetulan saya menemukannya dari grup teman-teman yang menamakan diri kelompok jihadis. Saya bahkan yakin, pertanyaan-pertanyaan di grup saya ini belum tentu bisa dijawab oleh penulis bola sekaliber Mahfud Ikhwan atau Zen RS.
Saat itu saya ingin menjawab bahwa; “Hubungan keduanya baik-baik saja. Tapi melihat bahwa pertanyaan itu tampaknya dilontarkan bukan untuk bermain-main, saya urung ikut memberi tanggapan.”
Berbagai respons bermunculan dari pertanyaan yang sekaligus menjadi penyataan di grup tersebut. Ada yang bersyukur karena telah berhasil meninggalkan kebiasaan nonton bola. Beberapa ada yang menggerutu, bahkan menyebut permainan tersebut telah menjadi “tuhan baru” bagi banyak umat Islam.
Poinnya adalah sepak bola itu thagut. Selain sebagai hiburan yang buang-buang waktu, sepak bola dipandang mengandung banyak kerusakan. Dari aurat para pemain yang diumbar, penonton yang bercampur antara laki-laki dan perempuan, fanatisme berlebihan yang bukan pada tempatnya, juga praktik perjudian yang merebak di kanan dan kirinya.
Tak heran, ada yang kemudian meratapi kenyataan banyaknya umat Islam yang tergila-gila pada bola, sampai-sampai rela begadang padahal qiyamullail jelas-jelas lebih utama. “Malah, ada yang sudah berjenggot tapi masih nonton bola,” begitu komentar sebuah akun.
Saya tak habis pikir, apa pula hubungan antara jenggot dengan sepak bola? Satu hal yang pasti, kemeriahan terhadap sepak bola di kalangan muslim dilihat oleh orang-orang ini sebagai sebuah fenomena ganjil.
Lalu adakah olahraga yang memiliki kaitan dengan Islam? Oh, ada. Mereka menyebut memanah dan berkuda sebagai contoh. Keduanya adalah olahraga yang islami. Melakukannya adalah tindakan sunah dan berpahala karena telah direkomendasikan oleh Nabi Saw.
Sebagai usaha untuk mengorientasikan hidup secara penuh di jalan agama, saya kira itu adalah hal baik. Bahkan mulia kalau saya pikir, sepanjang cara pikir itu tidak sampai mencela pandangan lain yang berbeda. Meski saya sendiri membayangkan kedua olahraga tersebut tidak semudah kalau main sepak bola.
Tapi persoalannya, benarkah memanah dan berkuda memang islami?
Tiba-tiba saya jadi ingat Yusuf Qardhawi. Ulama yang tinggal di Qatar ini pernah menyebut tentang krisis yang melanda kaum muda muslim dewasa ini. Krisis tersebut berupa rendahnya pemahaman terhadap hadis. Gairah untuk menonjolkan-nonjolkan identitas keislaman sedang meluap-luap. Di mana-mana orang berupaya menampilkan diri dalam citra yang dianggap islami. Mulai dari cara berpakaian, bertegur sapa, sampai berolahraga. Tidak lupa, mereka juga rajin mengutip ayat atau hadis. Sayangnya, gairah tersebut tidak disertai pendalaman berkelanjutan tentang sumber-sumber keislaman.
Qardhawi juga menyodorkan contoh mengenai tren olahraga berkuda dan memanah yang sedang menggeliat belakangan ini. Minat tersebut tumbuh dan meluas tanpa dibarengi upaya untuk memahami motivasi, konteks, dan faktor-faktor lain yang menyebabkan lahirnya hadis tersebut. Hadis-hadis itu beberapa ada yang sekadar dicomot tanpa mempertimbangkan relevansinya dengan situasi dan kondisi kekinian.
Ada delapan formula yang ditawarkan Qardhawi untuk memahami hadis dengan baik. Salah satunya, adalah dengan mengenali perbedaan antara sarana dan sasaran. Memanah dan berkuda amat vital pada masa Nabi Muhammad. Skill itu amat dibutuhkan untuk melindungi diri dan berperang. Karena itu sangat wajar Nabi menyarankan agar masyarakat Islam menguasai keterampilan tersebut. Relevansinya benar-benar sesuai konteks pada situasi dan masa itu.
Akan tetapi bukan berarti jenis olahraga tersebut otomatis menjadi islami. Memanah dan berkuda adalah sarana sedang sasarannya adalah agar umat memiliki keterampilan yang bisa digunakan untuk mempertahankan diri dari ancaman musuh. Dalam konteks sekarang, sarana itu bisa jadi berupa aktivitas yang lain.
Seperti memanah misalnya, kalau olahraga ini dimaksudkan sebagai upaya untuk melatih fokus, maka karambol pun jadi tak jauh beda. Bahkan pada konteks yang lebih dekat, karambol lebih punya manfaat lebih luas dari segi manfaat, seperti misalnya jadi makin akrab dengan tetangga-tetangga. Pada akhirnya, selain mengikut sunah Nabi, jalinan silaturahmi pun bisa terjalin di lingkungan sendiri. Enak kan?
Nah, persoalan kemudian muncul karena sering tidak ditemukan pembeda konteks dalam memahami teks hadis, sehingga membuat semua yang disebut dalam hadis seolah-olah menjadi islami. Memanah atau berkuda lalu mengalami mistifikasi, seperti halnya bekam, madu, atau habbatussauda dalam pengobatan. Bahkan tak jarang beberapa produk semacam ini diiklankan dengan label-label agama. Di kemasan produk-produk kesehatan itu lalu disematkan hadis-hadis untuk meyakinkan calon pembeli, bahwa memakai produk tersebut bernilai ganda: penyakit sembuh plus dapat pahala.
Pun dengan olahraga memanah dan berkuda yang diiklankan sebagai sesuatu yang sesuai dengan ajaran Islam. Sepak bola yang tidak pernah disebut-sebut dalam hadis, jelas tidak memiliki kualifikasi ini. Kesimpulan premisnya kemudian: sepak bola sama sekali tidak memiliki sangkut paut dengan Islam.
Yang menarik, karena dianggap tidak ada kaitan dengan Islam, obrolan tentang sepak bola kemudian beralih pula ke soal poligami. “Daripada menonton bola mending nonton bola di dada yang halal,” komentar salah satu anggota yang lantas disambut dengan tawa bahagia oleh banyak akun lainnya. Lalu mendadak topik berlanjut dengan kiat berburu akhwat.
Ya, sepertinya Yusuf Qardhawi memang tidak berlebihan ketika menyebut bahwa kendala umat saat ini adalah krisis pemikiran.