MOJOK.CO – Di Next Earth, kabarnya Alun-alun Jogja dijual hanya seharga 1,4 USDT per meter perseginya! Metaverse masih murah meriah.
Bukan media sosial namanya kalau tidak muncul dengan keriuhan baru. Kali ini, keriuhan disponsori oleh aksi penjualan secara virtual Alun-alun Utara Jogja, Kepatihan, dan Gedung Agung di situs nextearth.io.
Beberapa media besar sudah meliputnya, bahkan pihak Pemda pun sudah angkat bicara. Dilansir dari detik, Rabu (5/1) kemarin, Sekretaris Daerah DIY, Kadarmanta Baskara Aji menyebut pihaknya tengah melakukan kajian dan persiapan langkah hukum, bila diperlukan.
“Kalau sudah merugikan, tentu langkah hukum akan kita lakukan. Saya kira juga masyarakat sudah bisa konfirmasi dengan diri sendiri. Apa iya Alun-alun Jogja didol (dijual),” jelas Kadarmanta.
Saya, sih, nggak kaget sama respons Pemda DIY. Dari perspektif lain, saya justru merasa hal ini menarik. Apalagi, konsep metaverse tengah viral sejak akhir 2021 dan awal 2022. Metaverse diprediksi akan mencapai puncak hype-nya karena Meta (dulu Facebook) siap jadi pelopornya. Dan jangan heran kalau nggak cuma Alun-alun Jogja, bahkan Istana Negara dan Gedung DPR RI juga bisa diperjualbelikan di metaverse kalau ada yang niat.
Nah, sebelum kita bahas lebih lanjut, alangkah baiknya kita telaah dulu apa itu metaverse. Kenapa metaverse begitu booming? Dan apakah benar masa depan manusia adalah dunia virtual bernama metaverse?
Apa, sih, metaverse?
Konsep dunia virtual sebenarnya bukan hal baru. Di dunia game, baik online atau offline, kita sudah sering menemuinya. Beberapa tahun lalu, fitur AR atau Augmented Reality juga sudah diterapkan di game Pokemon Go yang sempat populer pada masanya.
Namun, metaverse sedikit berbeda. Menurut saya pribadi, bedanya nggak banyak, tapi cukup signifikan. Tapi jangan heran kalau kata metaverse nantinya bakal jadi kata yang overused bagi masyarakat Indonesia seperti halnya dulu kita sering memakai, mendengar, dan membaca kata “milenial”.
Konsep ini awalnya muncul pada 1992. Namun harus dibilang, memang Mark Zuckerberg yang bikin metaverse mendadak jadi buah bibir dan nyaris digunakan di mana-mana tiap kita membahas dua kata; digital dan masa depan.
Bos Meta itu bilang, metaverse adalah konsep lingkungan virtual yang bisa kita masuki sehingga seolah-olah kita berada dan hidup di dalamnya. Dan tentu, konsep yang ada di bayangan Mark tentu jauh lebih woke daripada semua konsep media sosial yang ada saat ini, di mana platform media sosial umumnya hanya memberi kesempatan kepada pengguna untuk melihat di layar.
Kalau kalian pernah main game simulator macam The Sims, kira-kira seperti itulah lingkungan virtual yang kelak akan kita tinggali di metaverse karena konsep dunia virtual di sana adalah kita benar-benar hidup, bekerja, bersenang-senang, bahkan ada konser musik.
Cuma ya nggak plek-ketiplek sama The Sims, lah, kan sekarang teknologi sudah muajuuu pol! Bahkan saya nggak bakal kaget kalau di dua atau tiga tahun ke depan, kita itu bisa kok nyegat bakul bakso atau batagor di metaverse. Opo ora wangun pol kui, ndesss???
Versi teknisnya yang agak njelimet. Jadi, metaverse adalah dunia realitas virtual tiga dimensi (3D) yang menggabungkan teknologi Artificial Intelligence (AI), Augmented Reality (AR), dan Virtual Reality (VR).
Buat pencinta game, istilah di atas tentu nggak asing. Biasanya game yang kita mainkan memang memakai teknologi AR atau VR. Namun, pernah nggak kamu bayangin kalau tiga teknologi itu kita gabungkan, akan jadi seperti apa? YA JADI METAVERSE HAHAHA!
Konsep ini makin hits ketika penyanyi kondang asal Kanada, Justin Bieber, melakukan konser virtual pada Desember 2021 lalu menggunakan avatar yang dia kontrol sendiri gerakannya. Suksesnya konser Bieber membuat nyata angan Zuckerberg bahwa konsep kehidupan tiga dimensi yang mirip aktivitas sehari-hari manusia di dunia nyata, sangat mungkin untuk dipindah ke dunia virtual.
Dan ya, ini bukan lagi konsep mentah yang utopis seperti angan manusia untuk hidup di Mars. Konsep ini sudah sangat dekat dengan perwujudan nyatanya dalam waktu dekat.
Gimana, menarik, ndak? Tapi ini baru permukaannya. Buat selanjutnya, kita bahas bagaimana metaverse akan mempengaruhi sektor yang sangat duniawi dan berurusan dengan perut manusia, yakni EKONOMI!
Metaverse di Next Earth: Antara Bumi virtual, NFT, dan cryptocurrency!
Kurang elok membahas metaverse hanya soal hidup di dunia virtual saja. Karena seperti halnya hidup di dunia nyata, hidup di dunia virtual tentu butuh DUIT, BOS!
Di paragraf awal tulisan ini, kita sudah tahu bahwa Alun-alun Jogja dijual secara virtual di situs nextearth.io. Di Next Earth, kabarnya Alun-alun Jogja dijual hanya seharga 1,4 USDT per meter perseginya! Buat yang nggak tahu, USDT itu mata uang kripto. Ya kalau dirupiahkan, harga per meter perseginya Alun-alun Jogja versi metaverse hanya sekitar Rp20.114 saja. Murah, pol!
Nah, Next Earth sendiri adalah perancang konsep Bumi virtual yang cukup populer saat ini. Proyek Bumi virtual yang dibangun Next Earth berbasiskan teknologi blockchain dan terintegrasi langsung dengan NFT!
Buat kalian yang udah nggak asing dengan cryptocurrency pasti nggak asing dengan kata blockchai. Itulah teknologi penopang yang mendasari perkembangan mata uang kripto dari yang populer seperti Bitcoin, Cardano, Ethereum, sampai koin lokalan dalam negeri macam TKO dan IDM.
Next Earth sendiri adalah metaverse yang beroperasi di blockchain Ethereum dengan jaringan Polygon. Di dalam situsnya, Next Earth mempersilakan penggunanya untuk memiliki aset real estate virtual berdasarkan lahan yang terdapat secara real di dunia nyata. Di dalamnya, kamu bisa beli lahan dan menjadikannya NFT, serta semua transaksi dijalankan tanpa perantara.
Mari kembali ke argumen saya di awal tulisan ini bahwa konsep Alun-alun Jogja dijual secara virtual justru menarik. Kenapa? Karena kita bisa membeli Alun-alun Jogja milik Keraton!
Coba bayangin, pernah ndak di mimpi terliar kamu sekali pun, kamu mbayangke beli Alun-alun Jogja secara cash? Terkesan ndak mungkin bahkan gila, bukan? Nah, itu semua cuma mungkin terjadi di metaverse, ndes! ITU TUH, ITU MENARIKNYA!
Dan sama seperti konsep jual-beli lahan di dunia nyata, di metaverse, lahan virtual yang kamu beli itu tentu jadi portofolio investasi yang menggiurkan. Sebab ketika konsep ini kian matang dan mulai digandrungi banyak orang seperti ketika orang kian familiar dengan cryptocurrency di masa sekarang, di saat itulah harga lahan-lahan virtual yang kalian beli di Next Earth bisa jadi sumber pemasukan!
Naaah, kalau udah bahas soal pemasukan alias duit, kita akan menuju ke pertanyaan akhir dari tulisan ini; mata uang di metaverse pakai apa?
Kripto di metaverse
Karena konsepnya adalah virtual alias dunia digital di dalam ekosistem digital, nggak mungkin ya to kita beli aset di sana terus mbayar pake sistem KPR. Dan lebih nggak mungkin lagi, kalau bayarnya pakai mata uang rupiah.
Di sinilah kemudian cryptocurrency masuk sebagai pemain utama. Besarnya dominasi cryptocurrency, terlebih di 2021 lalu, membuat banyak developer koin-koin ini berbondong-bondong ingin terjun ke metaverse.
Arthur Madrid, salah satu pendiri The Sandbox, koin kripto metaverse yang hits banget bernama $SAND itu, menyebutkan bahwa teknologi blockchain dan cryptocurrency akan jadi pemain penting dalam pertumbuhan metaverse di masa depan.
Seperti di Next Earth saja, kayak yang kita bahas di paragraf sebelumnya, transaksi jual-beli lahan virtual dilakukan di teknologi blockchain yang mata uangnya memakai cryptocurrency.
Dan nggak usah khawatir, uang-uang virtual yang kalian transaksikan, bisa sewaktu-waktu ditarik, lalu ditukarkan menjadi rupiah ketika harga koinnya sedang cuan atau tengah naik pesat. Kalau ini, mah, konsep investasi dasar lah ya, jadi nggak usah kita bahas berlebihan.
Popularitas metaverse yang pelan-pelan mulai booming ini memang mempengaruhi performa kripto yang sudah masuk. Misalnya, Axie Infinity ($AXS), Decentraland ($MANA), dan $SAND. Dan sudah banyak orang, saya salah satunya, yang memutuskan untuk ternak tuyul, eh sorry, maksud saya ternak koin metaverse dengan membeli koin-koin di atas karena harganya yang masih relatif undervalued namun potensi profit-nya besar di masa depan.
Bagaimana? Metaverse tidak seburuk yang kalian bayangkan, bukan? Atau masih bingung? Tenang saja, semua hal terasa membingungkan karena kita masih awam. Ketika kita sudah mulai belajar dan memahaminya satu per satu, niscaya hal-hal rumit semacam metaverse, blockchain, sampai cryptocurrency bukan lagi isu abstrak yang sulit dicerna.
Jadi buat bapak dan ibu di Pemda DIY, tenang saja, ndak mungkin Alun-alun Jogja sampai dijual beneran di dunia nyata, ha wong Jogja kan (katanya) istimewa, je! Masih istimewa, kan? Apa? Udah nggak?
BACA JUGA Masa Depan Koin Kripto Indonesia yang Rilis di Hari Sumpah Pemuda dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Isidorus Rio Turangga Budi Satria
Editor: Yamadipati Seno