Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Pojokan

Klitih Jogja, Ancaman untuk Citra Jogja yang Sebetulnya Sudah Koyak

Kalau memang ingin menjaga citra Jogja, yang harus ditunjukkan bukan sikap denial.

Yamadipati Seno oleh Yamadipati Seno
1 Januari 2022
0
A A
Klitih Jogja, Ancaman untuk Citra Jogja yang Sebetulnya Sudah Tergores MOJOK.CO

Ilustrasi darurat klitih Jogja. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Boomers pemerintah Jogja, polanya sama. Selalu denial. Tidak mau mengakui bahwa klitih Jogja itu sudah kronis.

Mau tahu caranya menjaga citra Jogja ketika klitih merajalela? Sederhana sekali solusinya.

Satu-satunya solusi adalah mencegah klitih Jogja terjadi. Titik. Cara mengatasinya? Lakukan pendekatan secara personal, melibatkan banyak elemen.

Kalau masih bingung, tinggal baca saja tulisan Mas Paksi Raras Alit di Mojok. Kalau membaca tulisan seniman muda Jogja tersebut, pemerintah seharusnya bisa menemukan kalau di sana ada blueprint mengatasi klitih Jogja. Yah, itu kalau mau membaca, memahami, dan mengeksekusi amanah dari sebuah ide cemerlang.

Tulisan Mas Paksi Raras Alit bisa kamu baca di sini: “Klitih Subur karena Ketiadaan Ruang Seni untuk Remaja Kampung Jogja“

Kalau sudah ada semacam blueprint bagus, yang tersisa adalah sebuah pertanyaan: “Apakah pemerintah Jogja mau melaksanakan cara mengatasi klitih Jogja itu?” Mengingat solusi yang ditawarkan Mas Paksi ini agak sulit dilaksanakan oleh pemerintah yang malas. Kalau pemerintahnya mau cancut tali wandha, yah, ide Mas Paksi ini asik banget.

Tapi pemerintah Jogja, sih, saya duga bukan barisan pemerintah yang malas. Sat set, tas tes, siap bekerja keras dalam waktu cepat demi menjaga keamanan dan keselamatan warganya. Sudah ada korban jiwa, meskipun “cuma beberapa”, sudah terlalu mahal. Bravo, Pemda Jogja.

Nah, sampai sini, setelah membaca tulisan Mas Paksi, solusi mencegah klitih Jogja itu dekat dengan kita. Kalau bisa mengeksekusinya dengan baik, sudah pasti, citra Jogja bakal terjaga….

Masalahnya, citra Jogja itu sebetulnya sudah tergores. Saya tidak bilang rusak. Hanya koyak. Cuma, koyaknya itu besar sekali karena keprihatinan yang membara sudah dirasakan dari ujung selatan di Bantul sampai utara di Sleman.

Masalahnya lagi, pemerintah, para boomers di sana, merasa semua “masih baik-baik saja”. Mereka seakan-akan risih ketika ada wartawan yang bertanya soal klitih Jogja yang makin merajalela. Merasa risih, karena enggan melihat kenyataan yang ada, bahwa citra Jogja itu sudah tergores. Kenapa masih denial?

Mereka, maunya, ditanya yang baik-baik saja, tentang Jogja yang romantis, tentang pulang ke kampung halaman, tentang angkringan di tengah kota yang mitosnya murah, tentang keramahan warganya, tentang kehidupan yang berjalan pelan dan adem ayem.

Klitih Jogja merusak bayangan akan hal-hal romantis di atas. Kekerasan membuat kepulangan ke rumah jadi perjalanan yang menakutkan. Klitih membuat harga-harga makanan angkringan jadi terasa mahal karena risiko kematian yang membayang, klitih mengaburkan dugaan warga Jogja yang ramah, tentang kehidupan yang penuh kecurigaan dan suasana panas di tengah malam.

Boomers di pemerintah merasa risih untuk mengakui keprihatinan warganya sendiri. Apakah pemerintah Jogja hanya sebatas Dana Istimewa? Sebatas Sultan Ground? Tentang kirab dan senang-senang di Alun-Alun Selatan? Sebatas ramainya Malioboro dan Parangtritis?

Citra Jogja itu sudah tergores. Akui saja. Kemunculan sebuah baliho bertuliskan “Liburan aman? Ke Solo aja.” harusnya jadi tamparan paling pedih di pipi pemerintah Jogja.

Bukankah sebuah masalah baru bisa diatasi kalau kita mengakui masalah itu ada? Bukan sekadar mengakui, tapi menerimanya sebagai sebuah kelamahan. Jangan denial karena kalau terus terjadi, korbannya adalah warga sendiri. Anak, cucu, keponakan Sultan bakal aman di tengah lingkungan menara gading. Rakyat yang disate tiap malam.

Sebuah ironi terjadi di malam pergantian tahun 2021 ke 2022….

Jumat, 31 Desember 2021, Pak Sultan menjamu Andika Perkasa, Panglima TNI. Pak Sultan menduga bahwa ada pihak yang membesar-besarkan isu klitih Jogja. Menurutnya, hal ini merusak “citra Jogja” yang terkenal aman dan nyaman.

“Mungkin teman-teman tidak merasa kalau (penyebaran isu) itu by design. Sehingga malah kedowo-dowo (berkepanjangan) permasalahannya. Jadi, (tujuannya) supaya klitih ini diperpanjang terus menjadi sesuatu yang akhirnya menyatakan Yogya tidak aman dan nyaman,” Kata Pak Sultan seperti dikutip kompas.tv.

Menurut Pak Sultan, aparat keamanan sudah berusaha mengatasi masalah kejahatan jalanan itu dengan menangkap para pelakunya. “Toh, yang melakukan sudah ditangkap. Ya, sudah selesai persoalannya. Semoga saja, pada tahun depan, kondisinya bisa jauh lebih baik,” imbuhnya.

Ada dua hal janggal dari pernyataan Pak Sultan di atas. Pertama, klitih Jogja by design itu ambigu sekali. Sudah jelas kalau klitih memang direncanakan. Cuma korbannya saja yang acak. Siapa saja bisa jadi sasaran. Lantas, “by design” yang dimaksud ini meruju ke mana?

Kedua, pelaku klitih Jogja itu bukan “pelaku tunggal”. Pelakunya banyak dan regenarsinya berjalan dengan baik jika melihat fakta yang terjadi. Jadi, mau 100 ditangkap, masih bakal ada 100 yang muncul.

Ironisnya, beberapa jam setelah Pak Sultan mengungkapkan dugaan aneh itu, di Jalan Godean Kilometer 9, klitih kembali terjadi. Hal ini menjadi bukti bahwa penegasan Pak Sultan bahwa “yang melakukan sudah ditangkap. Ya, sudah selesai persoalannya” itu langsung patah.

Beberapa jam masuk 2022, kejahatan jalanan yang ditampik risikonya oleh boomers pemerintah, sudah terjadi lagi. Dan, lagi-lagi, rakyat yang jadi korbannya. Selalu begitu.

Menengok ke belakang, ke 2019, Ibu GKR Hemas, istri Pak Sultan, merasa klitih Jogja itu masih dalam “tahap wajar”. Maju ke 2021, Kapolres Bantul menegaskan kalau Jogja itu aman. Indikatornya adalah Malioboro dan Parangtritis tetap ramai.

Kapolres Bantul menggunakan istilah “tidak benar” untuk menolak keluhan warga dengan tagar #JogjaTidakAman. Di sini, pembaca bisa melihat pola yang terjadi bukan dari pola komunikasi para boomers pemerintah dan pihak keamanan.

Pak Sultan: “Yang melakukan sudah ditangkap. Ya sudah, masalah selesai.”

GKR Hemas: “Masih dalam tahap wajar.”

Kapolres Bantul: “Tidak benar kalau Jogja tidak aman. Malioboro dan Parangtritis masih ramai.”

Polanya sama. Selalu denial. Tidak mau mengakui bahwa klitih Jogja itu sudah kronis. Kalau butuh bantuan membuat wording untuk komunikasi publik yang baik, insyaallah, saya siap membantu asal harganya cocok.

Tidak mau mengakui bahwa butuh langkah besar untuk membongkar peti klitih dan mengeluarkan semua bangkainya. Saya curiga, ketika kotak bangkai itu dibongkar, ada andil dari sebuah pembiaran di sana….

Perlu saya tegaskan kalau saya bukan pembenci atau haters Pak Sultan, Ibu Ratu, pihak kepolisian, atau siapa saja yang punya tanggung jawab soal klitih Jogja. Selama seminggu ini, akun Twitter saya mulai di-follow akun-akun aneh yang biasanya jadi akun ternak buzzer.

Saya hanya warga Jogja yang prihatin ketika melihat tiap malam, ada warga yang mempertaruhkan nyawanya. Mereka, wong cilik, yang harus mulai bekerja sejak dini hari. Keluar di tengah malam yang dingin, demi menafkahi keluarga, tapi dibantai di tengah jalan oleh gerombolan brengsek.

Kepada boomers pemerintah dan pihak kepolisian, tolong undang Mas Paksi Raras Alit untuk audiensi. Saya yakin, Mas Paksi dengan senang hati memaparkan idenya untuk mengatasi klitih Jogja. Idenya sangat sederhana, tapi saya yakin bisa dicoba.

Pada akhirnya, kalau memang ingin menjaga citra Jogja, yang harus ditunjukkan bukan sikap denial. Risih dengan sebuah masalah tidak membuat masalah itu selesai dengan sendirinya, kan? Ngono we ndadak dituturi, lho.

BACA JUGA Klitih di Jogja Makin Bajingan, Awas Amukan Warga dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Penulis: Yamadipati Seno

Editor: Yamadipati Seno

Terakhir diperbarui pada 1 Januari 2022 oleh

Tags: GKR HemasJogjaklitihklitih jogjamalioboroparangtritisSultan Jogja
Iklan
Yamadipati Seno

Yamadipati Seno

Redaktur Mojok. Koki di @arsenalskitchen.

Artikel Terkait

Cerita Lintang dan Ayla dari SSB menjadi pemain sepak bola putri yang banggakan Jogja MOJOK.CO
Sosok

Lintang dan Ayla, Dari Pertanyaan “Perempuan Kok Main Bola” Jadi Inspirasi Sepak Bola Putri di Jogja

18 Juni 2025
Bus ekonomi Mira, saksi perantau Surabaya nekat ke Jogja tanpa bekal apa-apa buat cari kerja. Tujuh jam menderita dengan kerandoman penumpang MOJOK.CO
Ragam

Naik Bus Mira karena Pengin Nikmati Perjalanan dengan Harga Murah, Malah Menderita karena “Keanehan” Penumpangnya

16 Juni 2025
Dicki Olski: Lahir dari Komunitas Stand Up, Kini Bermusik Lewat Lirik Patah Hati
Movi

Dicki Olski: Lahir dari Komunitas Stand Up, Bikin Band Pop Gemezz, dan Alasan Hiatus

15 Juni 2025
Tukang parkir (jukir) liar di Surabaya bikin repot, tak seperti di Jogja MOJOK.CO
Ragam

Jukir di Surabaya Bisa Ngajak Ribut dan Bikin Repot karena Uang Rp2 Ribu, Tukang Parkir Jogja Lain Cerita

15 Juni 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Temani pacar dari gagal CASN dan nganggur, setelah jadi ASN malah ditinggal bahagia dengan orang lain MOJOK.CO

Setia Temani Pacar dari Gagal CASN hingga Nganggur Lama, Setelah Jadi ASN Malah Ditinggal Bahagia sama Orang Lain

17 Juni 2025
Orang Kebumen pertama kali ke Jepang, bingung perkara toilet MOJOK.CO

Orang Kebumen Pertama Kali Nginep di Jepang: Bingung Cara Pakai Toilet sampai Cebok Pakai Botol Air

14 Juni 2025
Lomba Bidar Palembang Budaya Betulan, Bukan Sound Horeg MOJOK.CO

Saya Resah Melihat Palembang ketika Budaya Bodoh Bernama Sound Horeg dan Organ Tunggal Dianggap Pesta Rakyat Seperti Lomba Perahu Bidar

19 Juni 2025
Pengalaman pertama beli es krim di Tempo Gelato, Kaliurang Jogja. MOJOK.CO

Pertama Kali Anak Desa Nongki di Tempo Gelato Malah bikin Canggung karena Dikira Tempat Diskotik Sampai Pilih Varian Aneh

15 Juni 2025
Usai sarjana malah sulit dapat kerja, kini pilih jadi buruh ketimbang jadi sarjana nganggur. MOJOK.CO

Nyesel Ikuti Perintah Ibu Kuliah Jurusan Guru, Setelah Lulus Jadi Susah Cari Kerja

19 Juni 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.