MOJOK.CO – BPN Prabowo-Sandi sebut “tol Jokowi” sebagai jalan tol pembunuh bayaran karena sebabkan banyak kecelakaan. Makanya kalau masuk tol itu kendaraannya dituntun aja.
Lantai dansa debat capres belum dimulai, salah satu anggota BPN Prabowo-Sandi sudah mulai memanaskan suasana. Nyambung dengan tema debat capres nanti malam, yakni soal infrastruktur, Dian Fatwa menyamakan jalan tol yang dibangun pada era Presiden Jokowi sebagai pembunuh bayaran.
“Ternyata kita masuk jalan tol, jalan tol pembunuh bayaran, masuk jalan tol bayar tapi mati. Kalau ini mengabaikan keselamatan manusia dari jalan tol itu saja. Saya lupa jalan tol mana karena baru 4 bulan di Indonesia, ada 65 kecelakaan yang terjadi di tol yang dibangun Presiden Jokowi,” kata Dian Fatwa.
Tentu saja ini pandangan yang bikin banyak orang mengenyitkan dahi. Bagaimana mungkin dong kita masuk jalan tol lalu mendadak otomatis modar? Tapi dengan jenius Dian Fatwa memaparkan analisis briliannya.
“Kualitas pembangunan infrastruktur ini, semennya membutuhkan 5 sentimeter, banyak jalan infrastruktur itu rusak karena apa? Semennya tidak nyampai. Ini kan persoalan nyawa manusia diabaikan. Karena itu, bagi kami, penting melihat infrastruktur ini tepat guna,” kata Dian.
Tentu saja pernyataannya ini mengundang banyak respons. “Padahal jalan tol adalah benda mati, mana mungkin menjadi pembunuh bayaran? Ini adalah logika fallacy atau sesat logika yang sering juga dipertontonkan oleh Prabowo Subianto dan rupanya menular kepada tim suksesnya,” ujar Inas Nasrullah Zubir, anggota TKN Jokowi-Ma’ruf.
Hadeh, Pak Inas ini kenapa bawa-bawa nama Pak Prabowo Subianto segala sih?
Padahal Dian Fatwa juga memberi penjelasan lho mengenai pernyataannya tersebut. Gini, jalan tol yang dibangun pada era Jokowi bentuknya adalah rigid pavement, alias dari beton.
“Dengan beton ini gesekan antara ban itu kalau dengan kecepatan tinggi cepat panas dan cepat meletus seperti diamplas,” lanjutnya.
Dengan jalanan kayak begitu ban kendaraan jadi gampang meletus, ya otomatis kendaraan akan berisiko kecelakaan, dan dalam kecepatan tinggi, tentu ini sangat berbahaya. Masa logika seperti ini aja nggak paham sih?
Jadi istilah “tol Jokowi adalah pembunuh bayaran” itu sebenarnya cuma metafora aja. Masa iya, pemerintahan kita nggak bisa memahami maksud dari penggunaan kalimat-kalimat metafor dari Dian Fatwa sih?
Jadi ketimbang pakai beton, lebih baik lagi kalau jalanan tol itu pakai aspal. Biar apa? Ya biar lebih halus lagi jalanannya.
Beton itu kan proyek yang jangka ketahanannya lama, bandingkan dengan aspal yang punya durasi ketahanan lebih pendek. Lebih gampang berlubang. Kalau jalanan tol awet gitu, proyek perbaikan jalan bakal berhenti dong? Ini kan merugikan banyak pejabat, begini aja masa nggak paham sih?
Jadi selain pembunuh bayaran bagi para pengendaranya, jalan tol Jokowi ini juga jadi pembunuh bayaran buat para pejabat yang dulu terbiasa dapat komisi-komisi dari pembangunan atau perbaikan jalan. Ini kan mematikan bisnis orang. Hedeh.
Selain itu, jika dibilang jalan tol yang membentang dari Jakarta sampai Surabaya ini merupakan prestasi Presiden Jokowi mah sebenarnya terlalu buru-buru. Masih banyak PR di sana-sini. Seperti angka kecelakaan yang disebut Dian Fatwa tadi.
Angka kecelakaan tol memang ada. Mau bilang itu data yang salah ya nggak bisa. Memang nyatanya ada kok kecelakaan di tol. Jangankan di tol, di jalanan kampung saja pasti ada kok peristiwa kecelakaan—walau cuma karena nabrak kucing atau kepleset kerikil, yang penting kan ada.
Angka kecelakaan di tol itu jelas bukan karena kelalaian pengendara; kayak pengendara mengantuk, kondisi ban mobil tidak prima, atau si pengendara sedang nggak konsen. Ini jelas karena salah dari yang punya ide proyek ini, yakni Pak Jokowi.
Ya iya dong, udah tahu jalan tol itu orang yang naik pasti kenceng-kenceng. Walau dikasih peringatan batas maksimal 80 km/jam, nyatanya kendaraan pribadi rata-rata melaju di atas 100 km/jam. Kalau kemudian terjadi kecelakaan parah ya nggak bisa dong menyalahkan pengendara, kan mereka udah bayar?
Jadi selain persoalan kecelakaan jalan tol ini sebenarnya terletak di dua titik. Yang pertama jalan dari beton, sama kendaraan yang dipacu dengan kecepatan tinggi. Untuk yang pertama Dian Fatwa sudah memberikan kritiknya yang membangun, berikutnya soal kecepatan tinggi biarkan kami yang melakukan kritik.
Urusan kecepatan pengendara ini jelas penting. Ya iya dong, percuma kalau jalanan beton yang dianggap Dian Fatwa sebagai penyebab kecelakaan tapi kalau pengendaranya terbiasa cuma jalan 5 km/jam. Nah, kalau udah terbiasa kenceng, ya harus ada aturan yang memaksa mereka biar pelan-pelan.
Salah satunya, mungkin Pemerintah bisa mempertimbangkan untuk memasang polisi tidur setiap 50 sentimeter dari Jakarta ke Surabaya, dengan ketinggian sekitar—yaaah—setengah meter lah. Kayak polisi tidur ngawur di kampung-kampung padat penduduk gitu. Yang bikin motor sering menyetubuhi bumi tanpa sengaja.
Emang buat apa pasang polisi tidur begitu? Ya biar pada pelan-pelan bawanya lah, Setaan.
Meski nanti mengendarai sambil misuh-misuh sepanjang jalan, tapi kan yang penting nggak bakal terjadi kecelakaan. Lagian ide ini bisa dapat dua dampak positif. Pertama, kendaraan nggak bisa kenceng. Kedua, pengendara nggak mungkin ngantuk karen harus misuh sepanjang jalan.
Selain itu, Pemerintah juga bisa mempertimbangkan juga membuat beberapa titik yang disediakan untuk ruang acara kondangan kampung di pinggir jalan tol.
Kayak yang biasa dilakukan orang Indonesia, bikin acara kondangan dengan nutup setengah jalan umum. Lalu jalanan jadi macet, tapi tetep selo aja. Karena dianggap itu jalan punya nenek moyangnya.
Dengan ide ini, orang kalau lewat jalan tol otomatis bakal memperlambat laju kendaraannya. Bahkan bisa nyapa, say hello sama panitia kondangannya. Atau kalau kebetulan laper, bisa mampir dulu buat makan-makan sajian kondangan. Kan lumayan. Irit nggak perlu mampir ke rest area yang biasanya lebih mahal.
Kritik dari Dian Fatwa ini sebenarnya juga sudah ditimpali oleh Sandiaga Uno. Cawapres jagoannya yang diusung. Menurut Sandi, kecelakaan itu faktornya tidak hanya perkara kondisi jalan saja, tapi juga dari penggunanannya. Hedeh, ini gimana sih Sandiaga, malah ikut bela-belain Jokowi segala?
Tapi dari hal itu, seharusnya penggarap “tol Jokowi” itu belajar dulu dari Sandiaga. Apalagi mengenai cara membikin jalan tol yang baik dan benar. Soalnya, seperti yang kita ketahui bersama, Sandiaga adalah sosok yang berada di balik proses pembangunan jalan Tol Cipali.
Oke deh, tol Cipali itu sama-sama menggunakan beton, dan dulu awalnya memang sering kali terjadi kecelakaan karena jalannya lurus sekali—ya iyalah, kalau belak-belok itu namanya pembuluh darah.
Nah, melihat angka kecelakaan yang tinggi itu akhirnya pengelola jalan tol Cipali menemukan solusi biar para pengendara nggak pada kenceng-kenceng bawa kendaraannya sehingga mustahil terjadi kecelakaan.
Apa itu?
Yak betul, Brexit.