MOJOK.CO – Banyak orang tua tanpa sadar menuntut macam-macam ke anak. Harus jadi anak saleh, baik, pintar. Padahal dulu waktu kecil orang tuanya nggak kayak gitu juga.
“Nggak kapok-kapok juga dia. Padahal udah saya kasih pelajaran berkali-kali, Gus,” kata Mas Is.
“Siapa?” tanya Gus Mut.
“Ya si Tarlim, anak saya,” kata Mas Is lagi.
“Kenapa lagi si Tarlim?” tanya Gus Mut.
Gus Mut tahu, Tarlim anak Mas Is memang dikenal sebagai anak yang bandel. Saking bandelnya, Tarlim berkali-kali hampir dikeluarkan dari Pondok Pesantren tempat dia nyantri.
“Nonton konser, Gus. Padahal udah tahu itu dilarang sama pesantrennya. Malah ngeyel aja berangkat. Mana bawa teman-temannya satu kamar lagi. Wah, pusing saya. Harus sowan berkali-kali ke Pesantrennya buat menjelaskan ini-itu dan minta keringanan lagi,” kata Mas Is.
Tarlim, anak Mas Is memang nggak ngaji ke Gus Mut, melainkan mondok jauh ke Pesantren luar kota. Harapannya agar bisa jauh dari orang tua jadi bisa lebih mandiri. Kalau cuma belajar ngaji di kampung bareng Gus Mut, percuma saja pikir Mas Is.
“Oh, lalu hasilnya gimana?” tanya Gus Mut.
“Ya, Pak Kiai di sana sih masih ngasih keringanan. Ya saya nyebut-nyebut nama panjenengan juga sih, Gus, mungkin,” kata Mas Is.
“Apa? Kok nama saya disebut-sebut?” tanya Gus Mut.
“Ya saya bilang, saya tetangganya Gus Mut. Mungkin karena itu masih dikasih kesempatan. Terus kata Pak Kiai, ya nggak apa-apa masih di Pesantren, tapi kalau sekali lagi melanggar bakal dikeluarkan. Wah, pusing saya, Gus. Ngasih tahu anak kok susah bener,” kata Mas Is.
“Memang kamu itu ngasih tahunya gimana?” tanya Gus Mut.
“Ya kalau udah gede begini ya saya marahin habis-habisan lah, Gus,” kata Mas Is.
“Kapok nggak?”
“Ya, nggak. Memang itu anak bandel banget, Gus. Makanya saya pondokkan,” jawab Mas Is.
“Oh, jadi Tarlim kamu pondokkan karena kamu nggak bisa ngadepin anak sendiri?” tanya Gus Mut.
Mas Is agak terkejut mendengar pertanyaan mendadak kayak gitu.
“Ya, ya, nggak gitu juga sih, Gus,” kata Mas Is bingung.
“Kalau kamu kesulitan mendidik anak gitu, kamu harusnya lihat diri sendiri dulu, Mas. Dulu waktu kamu masih anak-anak kamu itu bandel nggak?” tanya Gus Mut menyelidik.
Mas Is terdiam sejenak.
“Ya, kalau saya sih lebih parah sih, Gus,” kata Mas Is garuk-garuk kepala.
“Lha ya pasti kamu lebih parah, lha wong aku dulu tahu kelakuanmu waktu masih sekolah kok. Aku itu tahu betul gimana dulu nakalnya kamu, Mas Is,” kata Gus Mut terkekeh yang disambut tawa juga oleh Mas Is.
“Ya tapi kan sekarang saya udah berubah. Udah mulai salat lagi. Meski ya nggak sering jamaah ke masjid, tapi kan jauh lebih baik sekarang ketimbang saya dulu,” kata Mas Is membela diri.
“Nah, makanya itu…” kata Gus Mut.
Mas Is menanti perkataan selanjutnya Gus Mut. Lalu tiba-tiba hening. Gus Mut tampak tidak melanjutkan kalimatnya.
“Makanya apa, Gus?” tanya Mas Is jengkel.
“Ya makanya itu kamu harus bersyukur, Mas Is. Punya anak kayak Tarlim,” kata Gus Mut.
“Bersyukur gimana? Punya anak bandelnya naudzubillah kayak gitu kok malah bersyukur,” kata Mas Is.
“Lha gimana, Tarlim itu anak yang luar biasa lho Mas Is. Di saat tahu bapaknya nggak pernah mondok, dulu salatnya bolong-bolong, ngaji plegak-pleguk, tapi maksa-maksa dia harus mondok. Jauh dari teman-temannya. Jauh dari kampung halamannya. Nggak semua anak bisa se-ikhlas Tarlim lho Mas Is. Diperintahkan belajar ngaji sama bapak yang nggak bisa ngaji,” kata Gus Mut.
Mas Is yang dinasehati begitu malah tertawa ngakak.
“Ya kan setiap orang tua pasti ingin anaknya lebih baik dari dirinya to, Gus,” kata Mas Is.
“Ya itu pasti. Manusiawi itu. Tapi ya Mas Is itu gimana. Mana ada rumusnya orang tua yang malas memperbaiki diri sendiri, malas buat jadi semakin baik dari hari ke hari, malah menuntut banyak hal ke anaknya. Sampeyan itu bukan kepingin punya anak yang baik dan nurut, Mas…” kata Gus Mut.
Mas Is menyimak dengan senyam-senyum.
“…tapi sampeyan itu kepingin jadi bapak yang berhasil,” lanjut Gus Mut.
Mas Is bingung. “Lah? Bukannya sama aja ya, Gus?” tanya Mas Is.
“Ya jauh bedanya, Mas Is,” kata Gus Mut.
“Yang satu itu murni untuk kesuksesan anak, yang satu itu untuk kesuksesan status seorang bapak. Ya beda lah,” kata Gus Mut.
“Jadi orang tua itu ya mikir dikit lah kita ini. Mau punya anak baik, berprestasi, pintar ngaji, pintar ini-itu, tapi kelakuan kita sebagai orang tua malah nggak lebih baik dari hari ke hari ya kebangeten namanya. Nuntut orang lain jauh lebih baik, tapi kitanya malas jadi lebih baik. Masih mending kalau ini orang lain yang dikasih tahu, lha ini anak sendiri. Orang paling dekat yang hampir tahu kelakuan bapaknya di rumah dari bangun sampai mau tidur lagi,” tambah Gus Mut.
Mas Is cengengesan mendengarnya. Merasa ada yang keliru dari pemahamannya selama ini. Dipikirnya dengan sowan kali ini, Gus Mut akan kasih tahu gimana caranya ngasih tahu ke anak. Gimana caranya nasehatin anak.
Namun tak seperti dugaan, bukannya dapat petunjuk ngasih tahu anak, malah Mas Is sendiri yang kena semprot dari Gus Mut.
“Buah memang nggak pernah jauh dari pohonnya ya, Gus?” kata Mas Is.
Gus Mut terkekeh sambil menyeruput kopi di depannya. Sambil membungkuk sedikit berbisik ke Mas Is.
“Kalau orang tua cuma bisa mentok jadi pohon belimbing wuluh, lha kok minta hasilnya durian, ya itu namanya ngelunjak, Mas.”
Mas Is cuma tertawa ngakak mendengarnya.
*) Diolah dari ceramah Gus Baha’