MOJOK.CO – Skandal Cambridge Analytica mestinya tidak mengejutkan. Netizen sudah paham bahwa data pengguna dijual oleh provider. Tapi, terbayangkah kita akan seberapa sakti data itu ketika ia berada di tangan yang tahu cara menggunakannya?
Hayo, siapa yang sudah deaktif Facebook gara-gara parno masalah Cambridge Analytica?
Beberapa hari ini, dunia maya yang riuh rendah ini makin ramai soal pencurian data 50 juta pengguna Facebook di Amerika Serikat. Data itu “dicolong” dan dipergunakan untuk keperluan pemilu di Amerika Serikat 2016 lalu.
Kronologisnya adalah seperti ini. Boleh dikoreksi kalau salah.
Tahun 2015, ada aplikasi Facebook bernama thisisyourdigitallife diluncurkan di Facebook. Aplikasi ini berupa kuis kepribadian—ya, pasti kita sering kan lihat kuis-kuis semacam ini berseliweran di Facebook, bahkan kita juga ikutan ngisi, karena kuis-kuis kayak begini itu memang lucuk.
Ada 270.000 orang dibayar untuk ikutan kuis ini, demi “memancing” user yang lain. Ya, kurang lebih kayak baser-baser zaman sekarang yang diminta untuk endorse ini itu demi meningkatkan so-called brand awareness.
Dari 270.000 orang ini lantas menyebarlah ke banyak pengguna Facebook yang lain. Modus operandinya sama persis dengan aplikasi-aplikasi lain di Facebook. Saat kita menghubungkan Facebok dengan aplikasi kan pasti akan muncul halaman persetujuan. Dan, seperti sudah kebiasaan, kita pun klik allow tanpa membaca term and condition atau semacamnya yang sudah ada. Dengan klik allow, kita mengizinkan aplikasi tersebut mengakses data-data media sosial kita.
Jadi, benarkah aplikasi thisisyourdigitallife “mencuri” data pengguna Facebook? Tidak. Karena para pengguna Facebook yang dengan sukarela menyerahkannya sendiri.
Kesalahannya adalah ketika pihak pembuat kuis tersebut punya kerja sama dengan pihak lain dan menjual data-data tersebut untuk dipergunakan untuk tujuan yang sama sekali lain dengan sebelumnya.
Trump—sebagai horang kayah dan calon presiden—berhak menyewa siapa saja demi menyukseskan kampanyenya. Dalam hal ini adalah Cambridge Analytica yang mendapatkan data 50 juta pengguna Facebook dari si pembuat kuis thisisyourdigitallife.
Lalu, apa reaksi orang-orang?
Tutup saja Facebook-nya! Deaktif Facebook!
Gitu katanya. Tapi lucunya, seruan ini disuarakan via Twitter, atau platform media sosial yang lain. Yang deaktif Facebook lalu bangga karena sudah merasa menyelamatkan data diri, lalu pindah ke Twitter, Youtube, Google+, atau Instagram. (Padahal Instagram juga punyanya Babang Mark Zuckerberg).
Mereka nggak sadar, bahwa di mana pun mereka berada, tak akan pernah ada yang namanya privacy yang sebenar-benarnya di jagat maya ini.
Mari kita kembali lagi ke Trump.
Trump mengambil data agar bisa memprofilkan pengguna Facebook dalam iklan kampanyenya menjadi presiden. Dengan data tersebut, Trump tahu peta pemilihnya (sekaligus tahu, di sisi sebelah mana ia bisa “mencuri” suara Hillary Clinton) dan bisa melakukan targeted ad marketing yang lebih efisien.
Sebenarnya, targeted ad marketing atau iklan tertarget ini adalah hal yang biasa dan memang harus dilakukan oleh agensi marketing mana pun. Efisiensi target iklan akan menentukan RoI atau Return of Investment. Dan, dalam hal ini, RoI-nya adalah Trump menang pemilu.
Dan, Trump memang menang.
Lalu, kalau kita meninggalkan Facebook, apakah ini berarti data pribadi kita akan aman? Nggak juga.
Kita, para pengguna media sosial, adalah komoditi. Molly McKew, seorang ahli informasi yang pernah menjadi penasihat presiden Georgia, menjelaskan dalam sebuah artikel di Cosmopolitan bahwa media sosial bisa dipakai gratis karena ada data kita yang tersimpan di dalamnya.
Data kita memang “diperjualbelikan” oleh orang-orang yang berada di balik platform-platform media sosial itu. Pada siapa? Pada siapa pun yang mau dan bisa membayar. Para pengiklan, misalnya.
Taruhlah, Instagram.
Saat kita sebagai publisher memasang iklan di Instagram, kita akan ditanyai target audience iklan kita, meliputi usia, domisili, jenis kelamin, minat, dan lain sebagainya. Dari mana Instagram mendapatkan semua data itu kalau bukan kita sendiri yang menyediakannya saat sign up?
Lalu, Google.
Saat kita mengunjungi satu situs dan di sana ada iklan dari Google (Adsense), iklan yang muncul adalah preferensi dari interest kita juga. Yang biasa browsing atau belanja alat rumah tangga secara online, ya akan disuguhi iklan panci, talenan, kompor, dan sebagainya. Lha, kalau kita sukanya nyari bokep? Ya, nanti iklan yang nongol ya iklan pembesar alat vital.
Dari mana semua interest itu didapat oleh Google? Ya, dari kita sendiri juga, lalu “dijual” ke pengiklan. Begitulah cara kerja media sosial dan internet pada umumnya. Data kitalah sasarannya.
Para pengembang media sosial itu akan mengumpulkan massa lalu meminta data untuk “dijual”. Kita beli, pengiklan dapat duit, mereka sebagai penyedia lapak juga dapat duit. Memang semua bisnis. Ujungnya ya duit. Nggak ada yang haratis, mamen.
Barangkali juga ada yang nanya, kenapa pada ribut yang di sini? Kan yang diambil data orang Amerika?
Lha iya, data orang Amerika diambil untuk pemilu. Dan, sebentar lagi kita juga pemilu lo. Bahkan sudah ribut-ribut sejak sekarang. Hmmm, jadi, perlu banget nih deaktif Facebook? Boleh, boleh.
Jangan lupa, sekalian deaktif Instagram, Youtube, dan Twitter juga. Yang punya blog juga, hapus saja. Nggak usah browsing-browsing, pun jangan belanja-belanji. Nggak usah ngapa-ngapain. Jangan pegang hape. Mending ternak lele.