MOJOK.CO – Urusan sama mantan ini kok ya ribetnya nggak sudah-sudah. Masih ada rasa mangkel dan ngganjel, bikin gregetan-gregetan sendiri.
TANYA
Mbak Audi… oy… Mbak Audi… Main yuk, eh nanya dong~
Perkenalkan nama saya Okta (nama lain), seorang mahasiswa-laki-laki-rantau di kota Semarang. Kini semester 6 dan sedang menyusun proposal tugas akhir yang mumet-nya nggak ketulungan.
Tiap hari kepala saya terasa mau pecah dan mata jadi berkunang-kunang. Tentu karena bingung mau bikin tugas akhir apa. Maklumlah, bukan karena nggak punya ide, tapi kebanyakan ide jadi susah menentukan yang mana. Mau ini eh keknya seru yang itu. Mau itu tapi kok realistis dikerjain yang ini. Sumpah, kenapa juga syarat jadi alumni kudu selesai tugas akhir. Kezellll!
Nah, kepusingan saya ini nggak cuma berasal dari proposal tugas akhir yang masih terbengkalai itu aja. Ada semacam beban pikiran yang ada di luar semua itu. Sesuatu yang bukan cuma kepala tambah berat tapi juga perasaan serasa diperas mirip jeruk nipis soto Lamongan.
Semua bermula saat kemarin, seminggu sebelum lebaran saya mudik ke rumah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kesempatan itu saya manfaatkan untuk berziarah ke makam simbah. Tragedi dimulai sesaat setelah saya dan adik akan beranjak dari kuburan. Dari kejauhan saya melihat sosok seorang perempuan. Dia melewati saya dan adik seketika itu tapi nggak menyapa. Orang yang sangat saya kenali. Mengenakan kerudung panjang dan menenteng bungkusan bunga tabur. Dialah mantan saya sewaktu saya masih duduk di bangku SMA dan dia masih SMP. Kebetulan kami tinggal di desa yang sama. Dan, setelah saya berkuliah, tak pernah lagi berjumpa dengannya.
Namun, gara-gara melihat sosoknya saat itu, saya langsung terbayang betapa sakitnya perasaan sendiri saat dulu berpisah dengannya. Dia meninggalkan saya, mencampakan saya, membuang saya cuma gara-gara mau fokus sekolah agar bisa menyenangkan orang tua. Akan tetapi, setelah dia masuk SMA, saya ketahui dari temannya sendiri, bahwa prinsipnya untuk fokus bersekolah benar-benar tak dijalankan. Ia malah berpacaran dengan teman sekelasnya sendiri. Hati saya hancur dan merasa dibohongi.
Pertemuan singkat itu telah membuka kenangan pahit dalam kehidupan asmara saya. Saya kalut saat itu. Namun mencoba tegar, apalagi kondisi saat itu sedang menjalankan ibadah puasa. Inilah bentuk cobaan yang hakiki.
Singkat cerita, Hari Raya pun datang dan semua merasakan kemenangan yang sesungguhnya. Namun, hal itu tak begitu saya rasakan meski keluarga mengelilingi. Pasalnya, saat diadakan halal bihalal di balai desa, saya kembali mendapati tragedi pertemuan dengan mantan saya tersebut.
Di sini, saya nggak lagi memusingkan rasa pahit yang telah berlalu. Tapi merasa bingung di momen hari yang fitrah itu, apakah saya akan memaafkannya? Ataukah bisa saya sekadar meminta dia bersalaman dengan saya untuk saling mencetak skor 0-0 atas semua kesalahan yang pernah kami perbuat masing-masing, termasuk perlakuannya yang jahat itu?
Semua terasa sangat dilematis. Masa iya saya yang nyamperin dia duluan dan meminta maaf pada sesuatu yang sebetulnya justru dia lakukan? Hal ini cukup menguras otak dan emosi. Menjadi semakin membebani tugas akhir saya.
Yang ingin saya tanyakan pada Mbak Audi, sekarang kan masih suasan Lebaran, menurut Mbak, apa yang musti saya lakukan terhadap doi? Perlu nggak kalau saya menurunkan ego dan datang ke rumahnya berbincang baik-baik lalu saling memaafkan? Bukankah saya malah menjatuhkan harga diri saya sebagai seorang yang tersakiti di masa lalu jika melakukan hal itu? Karena, saya masih merasa bahwa dialah yang musti mendatangi saya.
JAWAB
Hai Mas Okta, yang lagi ngerasa terganggu-terganggu sendiri dengan kehadiran sekelebat mantan di momen lebaran. Memang sih, memaafkan seseorang yang sudah menyakiti kita, sungguh nggak mudah. Hal ini butuh kerelaan hati yang nggak sesederhana omongan motivator. Apalagi kalau orang yang sudah mengkhianati kita ini, lha kok nggak ada rasa bersalah-bersalahnya sama sekali.
Akan tetapi, meski bisa dipahami memaafkan itu nggak mudah, merawat rasa mangkel juga nggak ada faedahnya. Bisa jadi hanya akan menggerus diri sampeyan sendiri dalam perasaan-perasaan tidak nyaman, tidak aman, atau mangkel-mangkel sendiri. Seperti yang sekarang sampeyan rasakan. Bukankah saat ini ada sesuatu yang nggak enak dan sangat mengganjal di dada sehingga jadi susah fokus untuk ngerjain tugas akhir?
Rasanya jadi begitu dilema. Mau minta maaf, ngapain juga minta maaf? Wong sampeyan nggak melakukan kesalahan apa-apa. Tapi, kalau masih tetep diem-dieman kayak gini dan hanya mengandalkan mantan yang minta maaf duluan, kok ya percuma. Yang ada cuma ngerasa mangkel nggak ketulungan. Mau ngamuk-ngamuk dan marah-marah sama dia, tapi kok waktunya udah nggak tepat. Udah kedaluarsa juga. Kan aneh ya, kalau kita udah semangat marah-marah dengan nada-nada yang menggebu-gebu. Eh, cuma dibalas, “Maaf, Mas. Ini Mas lagi marah-marah soal apa, ya?” Wqwqwq, harga diri, Mas. Harga diriiii~
Lantas, bagaimana alangkah baiknya? Menurut saya, sih, (((menurut saya, loh), daripada ribet-ribet untuk memulai percakapan sama mantan dengan berbagai dalih, seperti pengin minta maaf sama dia. Akan lebih baik, kalau sampeyan berusaha menyelesaikan urusan ini dengan diri sampeyan sendiri. Percuma saja kalaupun percakapan di antara kalian sudah berjalan lancar. Tapi, masih ada perasaan yang terlalu mengganjal.
Jadi, tanyakan pada diri sampeyan sendiri. Apakah sampeyan sudah dapat menerima pengkhianatan yang telah dia lakukan? Apakah segala perilakunya yang tidak menyenangkan hati itu, sudah sampeyan terima sebagai salah satu proses hidup yang menguatkan hidup sampeyan saat ini?
Kalau sampeyan sudah berhasil menerima keadaan tersebut. Silakan saja bersilaturahmi lagi. Lagi-lagi, sampeyan nggak punya kewajiban untuk memaafkan, loh, ya. Apalagi kewajiban untuk meminta maaf sama mantan. Sampeyan nggak memaafkan dia pun, juga nggak masalah. Kalau itu memang bisa membuat sampeyan tenang, asalkan sudah bisa menerima kejadian yang lalu-lalu.
Sederhananya gini deh, Mas. Coba sampeyan pikirkan dan rasakan lagi baik-baik. Kira-kira apa yang bakalan bikin sampeyan merasa lebih tenang? Kalau dengan datang ke rumah mantan untuk bersilaturahmi lagi, bisa membantu sampeyan merasa lebih legawa. Yaudah lakuin aja. Udahlah, soal gengsinya dihempaskan dulu aja. Yang terpenting adalah kenyamanan batin sampeyan supaya bisa fokus untuk mengerjakan tugas akhir.
Terkadang kita butuh egois kok, Mas. Seperti egois untuk mengedepankan kenyamanan batin dibandingkan lainnya. Nggak peduli-peduli amat si mantan nganggep sampeyan apa. Dianggaep masih ngarep lagi kek, atau nggak. Bodo amat. Bukankah yang sebetulnya sampeyan butuhkan sekarang, supaya si tugas akhir bisa segera dapat diselesaikan? Iya, kan?
Kecuali, akan berbeda kalau sampeyan sebetulnya pengin bersilaturahmi dengan dia lagi, untuk cek ombak, apakah masih ada kesempatan untuk balikan? Ehm, kalau kayak gitu, sih. Ya nggak apa-apa, sih. Wong memang masih sayang, kok. Saya bisa apa?