MOJOK.CO – Sudah menumpuk, rindu akan gemuruh anthem AYDK kembali membahana, di Mandala Krida, tempat PSIM Jogja dikawal dengan kasih dan cinta.
Mendukung PSIM Jogja itu perkara gampang. Apalagi bagi mereka yang memang lahir dan besar di Kota Jogja. Tinggal di dekat Mandala Krida dan sudah diajari mencinta sejak muda. Itulah saya, yang kenal dengan Parang Biru sejak belia, tapi kini berjarak dan cuma bisa menahan asa.
Mendukung PSIM Jogja itu perkara gampang. Susahnya adalah menahan rindu melihat mereka berlaga di rumah sendiri. Mandala Krida, yang sudah dipugar dan dicicip beberapa kali. Kini, kepulangan secara paripurna itu belum terjadi.
Pandemi menjadi penghalang. Memisahkan banyak pandemen PSIM Jogja dari kekasihnya. Melihat mereka berlaga dari layar kaca jadi pilihan satu-satunya. Mendukung secara penuh lewat media sosial juga pilihan. Tapi sial, auranya sungguh berbeda dan terasa janggal.
Mendukung di dalam stadion, di dalam rumah sendiri, memberikan nuansa yang tentu berbeda. Nuansa yang tidak mungkin kamu temukan dari layar kaca. Liga luar negeri sudah berhasil merasakan greget itu sekali lagi. Kini tinggal Indonesia yang tengah berusaha sekuat hati.
Bagi sebagian orang, gemuruh di dalam stadion adalah candu. Membuatmu rindu untuk merasakannya berkali-kali. Apalagi bagi pandemen PSIM Jogja di mana gemuruh itu lama tersaji di Stadion Sultan Agung, Bantul, ketika Mandala Krida belum juga usai direnovasi.
Salah satu gairah besar yang ingin saya rasakan lagi adalah ketika mengikuti perjuangan PSIM Jogja memangkas defisit sembilan poin di awal musim 2018/2019. Kalian masih ingat akan peristiwa itu?
Kabar tak mengenakkan diterima skuat PSIM Jogja menjelang sepak mula Liga 2 musim 2018/2019. Manajemen harus mau menelan pil pahit ketika skuat PSIM harus mengawali liga dengan memikul beban sanksi pengurangan sembilan poin. Masalah di masa lalu, menghantui manajemen PSIM kala itu.
Sanksi pengurangan sembilan poin terjadi karena manajemen tidak bisa langsung melunasi tunggakan gaji tiga mantan pemain asing PSIM Jogja. Mereka adalah Lorenzo Rimkus, Emile Lingkers, dan Kristian Adelmund.
Ketiganya pemain asing berdarah Belanda yang memperkuat Laskar Mataram di Divisi Utama 2012. Saat itu, tim-tim dari Divisi Utama dan kasta kedua masih boleh menggunakan servis pemain asing.
Surat sanksi itu ditandatangani langsung oleh Risha A. Widjaya, Chief Executive Officer tertanggal 25 April 2018. Hukuman tersebut merupakan tindak lanjut dari surat sengketa tentang ketenagakerjaan yang yang sebelumnya dikirimkan oleh FIFA dan sudah diterima langsung oleh manajemen PSIM, melalui perantara Sekretaris Jendral PSSI saat itu, Ratu Tisha.
Isi surat tersebut berbunyi, “Bahwa sesuai dengan keputusan FIFA Disciplinary Committee sebagaimana dijelaskan dalam surat PSSI makan kub PSIM Jogja dihukum pengurangan poin sebanyak sembilan di kompetisi Liga 2 2018. Pada poin selanjutnya, PT LIB, selaku operator liga, diwajibkan melakukan implementasi hukuman dengan melakukan pengurangan poin tersebut.
Maka terjadilah, PSIM mengawali kompetisi Liga 2 2018 dengan pengurangan sembilan poin. Padahal, Liga 2 Wilayah Timur berisi tim-tim kuat dengan skuat yang cukup bagus.
Mereka adalah Madura FC, PSS Sleman, Martapura FC, Mojokerto Putera, Persiba Balikpapan, dan Persegres Gresik United. Dua nama terakhir adalah “limpahan” dari Liga 1 kala itu. Persiba Balikpapan dan Persegres Gresik United adalah dua tim yang terdegradasi dari Liga 1. Tim-tim seperti ini biasanya sangat termotivasi untuk segera naik kasta.
Menanggung beban pengurangan poin, laju PSIM di awal Liga 2 pun tersendat. Semakin berat. Di partai pembuka, skuat yang kala itu diasuh Bona Simanjuntak kalah dari Madura FC dengan skor 3-1. Akibatnya, skuat PSIM semakin terpuruk dengan minus sembilan poin dan minus selisih gol.
Setelah menelan kekalahan di laga pembuka Liga 2, PSIM Jogja masih gagal merengkuh poin penuh di dua laga selanjutnya. Bermain di kandang sendiri menghadapi Mojokerto Putera lalu tandang ke rumah PSBS Biak, PSIM hanya bisa bermain imbang. Keduanya berakhir imbang 0-0.
Jadi, dalam tiga pertandingan, klub yang lahir pada tahun 1929 ini hanya bisa mengumpulkan dua poin saja. Sadar bahwa beban mereka semakin berat, mental skuat PSIM justru semakin tebal. Seperti yang diakui oleh Angger Woro Jati, personel PSIM Stat, situasi minus sembilan poin di awal Liga 2 justru dijadikan modal untuk memperbaiki performa. “Menjadi motivasi tersendiri,” kata Angger.
Angger juga mengungkapkan bahwa beliau sempat mengobrol dengan beberapa pemain Warisane Simbah. Beberapa pemain yang ditemui oleh Angger mengungkapkan bahwa jika PSIM tidak mendapatkan sanksi minus sembilan, kemungkinan performa skuat malah tidak sebaik ini.
Situasi terdesak justru bisa membuat manusia mengeluarkan daya dan energi yang sebelumnya tidak mereka bayangkan. Determinasi untuk menyelamatkan tim menjadi kekuatan yang besar.
Aura perubahan yang positif tidak hanya terpancar dari para pemain. Tim pelatih pun terpacu untuk mengubah situasi yang tidak menguntungkan menjadi kekuatan. Musim lalu, ketika tandang, Laskar Mataram banyak bermain menunggu. Bermain bertahan untuk minimal berusaha tidak kalah. Musim yang berat ini, tim pelatih mengubah cara pandang tim.
Semua pertandingan juga diperlakukan seperti laga final. Berusaha sekuat tenaga atau mati mengenaskan. Perubahan dari pola pikir menghasilkan perubahan yang positif di atas lapangan. PSIM Jogja menjadi lebih tangguh, bahkan ketika tandang.
Setelah menyadari bahwa skuat ini harus memenangi semua pertandingan, hasil-hasil positif pun berdatangan. PSIM mengawalinya dengan mengalahkan Persegres Gresik United ketika bermain di Gresik. Skor dramatis, 2-3, mewarnai perjuangan anak-anak Mataram (is blue!).
Setelah mengalahkan Persegres Gresik, Laskar Mataram meraup tiga kemenangan berturut-turut. Mereka mengalahkan Persiba Balikpapan (2-1), mengalahkan Martapura FC (3-1), dan Persigo Semeru FC Lumajang (1-0). Kemenangan terakhir didapat ketika tandang. Jadi, dari dua laga tandang dan dua laga kandang, PSIM selalu menang.
PSIM Jogja melanjutkan tren positif dengan menahan imbang Persiwa Wamena dengan skor 2-2 dan mengalahkan Kalteng Putera dengan skor 2-0. Jangan lupakan juga, PSIM sempat mengalahkan Persitema Temanggung dengan skor 2-0 di pertandingan Piala Indonesia untuk berhak melaju ke babak 64 besar.
Hasil positif yang dikumpulkan Parang Biru setelah tiga hasil negatif di awal musim menegaskan bahwa mereka tengah berada dalam performa terbaik. Periode yang sungguh dramatis.
Pada akhirnya, apa yang terjadi jika PSIM Jogja tidak perlu mengawali Liga 2 dengan situasi minus sembilan dan bermain dengan performa seperti sekarang ini? Bisa jadi, papan atas adalah ekosistem bagi anak-anak PSIM.
Situasi yang sama kembali tersaji ketika PSIM mengalahkan Persis Solo dengan skor 1-0. Delapan besar, yang bisanya jadi “jalan buntu” untuk PSIM terbuka lebar.
Sampai di titik ini, bekal paling penting selain faktor teknis adalah fokus. Kedua, kesadaran bahwa PSIM bisa mengalahkan siapa saja. Semuanya selalu kembali ke hati sendiri. Nasib ada di tangan sendiri.
Termasuk kelak, ketika rindu akan gemuruh anthem AYDK kembali membahana, di Mandala Krida tempat PSIM Jogja dikawal dengan kasih dan cinta.
BACA JUGA Ulang Tahun PSIM Yogyakarta, Satu Tungku Tiga Batu dan Warisan Tiga Generasi dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.