MOJOK.CO – Vladimir Vlado Vujovic punya beban yang besar ketika menerima jabatan pelatih PSIM Yogyakarta menggantikan Erwan Herndarwanto. Bisakah meneruskan?
Dua hari yang lalu, fans PSIM Yogyakarta, untuk kali pertama bisa menyaksikan secara langsung hasil kerja pelatih baru mereka, Vladimir Vujovic, yang akrab disapa Vlado. Yah, kurang tepat juga kalau sudah disebut sebagai “hasil kerja” karena beliau baru empat bulan efektif melatih Laskar Mataram.
Paling tidak, fans PSIM bisa meraba-raba seperti apa rasanya dilatih mantan pemain Persib Bandung itu. Keinginan untuk sesegera mungkin melihat hasil kerja Vlado sudah dipendam sejak lama. Apalagi setelah klub dari Yogyakarta ini seperti sedang “ganti wajah”. Investor baru masuk, diiringi datangnya gerbong pemain dan pelatih baru.
Datangnya banyak pemain baru ini sempat melahirkan riak yang tidak dikehendaki. Sebagian besar pemain PSIM yang musim lalu berdarah-darah mengawali musim dengan minus sembilan, lolos dari lubang jarum itu, hingga berpeluang lolos ke babak sistem gugur. Banyak fans yang merasa “pahlawan” musim lalu tidak mendapatkan penghargaan yang setimpal, termasuk yang paling berjasa: Mas Erwan Hendarwanto.
Pelatih muda itu biasa disapa Mas Erwan, bukan coach, atau pelatih. Ia disapa “mas” karena kedekatannya dengan para pemain dan suporter. Betul, meskipun sudah tidak lagi melatih PSIM, Mas Erwan masih menyisihkan waktu untuk menonton mantan klub asuhannya itu melakoni laga uji tanding melawan Cilegon United lewat layar Youtube.
Mas Erwan pergi meninggalkan jejak yang sangat kentara, terasa sangat manis untuk semua pandemen PSIM Yogyakarta. Namanya memang tidak seterkenal pelatih-pelatih di Liga 1. Namun, Mas Erwan justru yang paling bisa menginjeksikan corak permainan modern ke dalam tubuh sebuah klub Indonesia. Ini sesuatu yang langka.
Banyak pelatih di Liga Indonesia yang belum betul-betul tahu seperti apa sepak bola modern itu. Banyak pelatih pula yang masih menganut mazhab lama, yaitu umpan-umpan, biasanya lambung, tanpa tujuan pasti. Pokoknya kasihkan ke pemain yang kosong, lalu pasrahkan bola kepada teknik individu, yang biasanya mentok, bola hilang, lahirkan caci maki.
Lolos dari kesulitan minus sembilan, gaya permainan yang nggak cuma enak ditonton tapi juga dipelajari, Mas Erwan meninggalkan jejak yang manis. Mengganti pelatih kelahiran Magelang itu bukan pekerjaan yang nisbi mudah. Vujovic, setidaknya bisa menunjukkan kelas yang sama. Kalau melebihi tentu lebih baik.
Sayangnya, performa melawan Cilegon United sangat jauh dari ekspektasi. Sebagai pelatih baru, sangat lumrah untuk diberi kesempatan menunjukkan hasil kerjanya secara lebih konkret. Fans PSIM akan dengan mudah memberi label gagal karena romantisme bersama Mas Erwan. Oleh sebab itu, setidaknya, mari mengenal gaya melatih Vlado.
Gaya melatih Vladimir Vlado Vujovic untuk PSIM?
Bulan lalu, saya sempat melakukan wawancara dengan salah seorang jurnalis yang mengikuti Persib Bandung dari dekat. Sumber saya ini bahkan sempat mewawancarai Vlado secara langsung.
Dari obrolan yang singkat itu, saya mendapat informasi bahwa Vlado ini punya andil yang cukup besar kepada peningkatan level lini pertahanan Persib Bandung dan Bhayangkara FC. Vladimir Vlado Vujovic yang bertanggung jawab dengan drill pertahanan kedua klub itu. Dan hasilnya tidak terlalu buruk.
Persib Bandung menjadi lebih stabil ketika Vladimir Vlado Vujovic turun tangan melatih. Sementara itu, Bhayangkara FC bisa bertahan di lima besar di musim terakhir Vladimir Vlado Vujovic bermain, sekaligus ikut melatih. Salah satu “prestasi” Vlado ketika bersama Bhayangkara adalah memoles ulang Jajang Mulyana dan membantu perkembangan Nurhidayat Haris, bek timnas U23.
Jajang Mulyana adalah satu dari sedikit pemain yang berubah posisi dari striker menjadi bek tengah. Ini jenis perubahan yang gampang gampang susah. Respons striker dan bek tentu beda, pemosisian diri, belajar timing, dan pembacaan pertandingan. Berkat Vladimir Vlado Vujovic, Jajang menjadi bek tengah yang lumayan stabil di tahun Bhayangkara juara.
Jadi, bisa disimpulkan dua hal, yaitu Vladimir Vlado Vujovic jago melatih pemain bertahan secara individu dan punya kemampuan untuk melatih cara bertahan sebuah tim. Oleh sebab itu, ekspektasinya menjadi semakin jelas; di bawah asuhan Vladimir Vlado Vujovic, PSIM, seharusnya punya pertahanan yang lebih baik.
Sekali lagi, ketika melawan Cilegon United, fans PSIM seperti “dikecewakan” dengan cara bermain. Sistem yang ditunjukkan sangat berbeda (konteks negatif) dengan hasil kerja Mas Erwan. Perombakan skuat bisa menjadi faktor paling berpengaruh.
Ketika beberapa pemain lawas turun bermain, mereka masih membawa ide Mas Erwan. Umpan pendek cepat, menggerakkan blok lawan, dan pencarian posisi yang matang kembali terlihat. Sayangnya ide ini tidak konsisten terlihat karena kawan-kawan baru tidak mengenal gaya itu.
Tim yang dibangun Vladimir Vlado Vujovic terlalu dilandasi oleh kemampuan individu. Rossy Noprihanis, banyak terisolasi di sisi kiri. Ia tidak didukung oleh bentuk tim yang ideal, membuatnya mudah dikeroyok pemain lawan. Ichsan Pratama pun terlalu statis di belakang striker, kurang memberikan opsi kepada pemain-pemain di sisi lapangan.
Babak kedua, “sedikit” lebih baik ketika pemain-pemain Cilegon tidak bisa menghentikan Hendrico. Kalau tanpa kelebihan individu Hendrico, PSIM tidak akan bisa membuat gol malam itu.
Vlado perlu belajar lagi soal gaya bermain yang lebih modern. Pep Guardiola pernah berkat bahwa tujuan umpan itu bukan memindahkan bola, tetapi menggeser blok pertahanan lawan untuk menciptakan ruang berbahaya. Ide ini disebut juego de posicion dalam Bahasa Spanyol, disebut positional play dalam Bahasa Inggris, dan diterjemahkan bebas menjadi permainan posisi dalam Bahasa Indonesia.
Mas Erwan sukses mengajarkan anak-anak asuhnya ide permainan ini. Seharusnya, dengan materi pemain yang lebih bagus, Vlado juga mampu.
Lantas, kenapa sih Vlado perlu memikirkan hal ini? Bukankah masing-masing pelatih punya gaya bermain berbeda dan yang paling penting adalah kemenangan?
Argumen itu betul adanya. Masing-masing pelatih punya ide berbeda. Namun, jika kamu fans PSIM pasti tahu konteks yang terjadi, bahwa kepergian Mas Erwan sangat disayangkan. Mas Erwan, yang sukses menjadikan cara bermain modern sebagai “budaya dan identitas”. Sama seperti Barcelona dan Ajax Amsterdam dengan visi Johan Cruyff. Siapa saja pelatihnya, selalu diharapkan mau meneruskan identitas itu.
Game of Thrones mengajarkan bahwa kekuatan paling besar dalam kehidupan adalah cerita. Untuk sepak bola, dan manusia pada hakikatnya, identitas membentuk diri, membedakan dengan person lain. Tanpa identitas, tak ada kebanggaan, tak ada kemenangan yang semanis dulu, tak ada cerita untuk dikisahkan berulang.