MOJOK.CO – Banyak fans membela Gareth Bale karena gol-golnya di final Liga Champions. Sayang, mereka gagal menganalisis inkonsistensi Bale bersama Real Madrid.
Kamu kenal 2Pac? Yup, rapper legendaris dari America Serikat itu. Beliau pernah bikin sebuah kutipan yang juga menjadi legenda. Rapper yang meninggal setelah diberondong peluru itu bilang begini: “Wars come and go, but my soldiers stay eternal.” Sebuah kutipan yang nggak cocok betul digunakan untuk kisruh Real Madrid dan Gareth Bale.
Ini semua berawal dari sebuah ekspektasi. Hampir sama dengan semua kisah perpisahan pahit antara klub dengan seorang pemain berkaliber besar. Ketika datang, ia disambut seperti juru selamat. Karpet merah digelar, disambut dengan video peresmian yang artistik. Namun, semuanya tak berjalan lancar dan hubungan itu menjadi hambar.
Gareth Bale datang ke La Liga Spanyol dengan price tag yang pada saat itu sangat tinggi: 100 juta euro. Meskipun tinggi, 100 juta euro dianggap layak jika mempertimbangkan catatan penampilan dan kontribusi Bale secara nyata untuk sebuah klub kelas tiga di London. Sebuah harga yang saat ini sepeti recehan saja, di mana kamu hanya dapat pemain seperti Wilfried Zaha dengan harga segitu. Inflasi harga pemain yang suram sekali.
Saat itu musim 2012/2013, Bale memang terlihat mendominasi Liga Inggris. Pemain asal Wales itu mencatatkan 33 laga dengan 165 tembakan ke arah gawang, 75 peluang tercipta, 59 kali sukses melewati pemain, 21 gol, dan 4 asis. Catatan mewah itu menghasilkan PFA Players’ Player of the Year, PFA Young Player of the Year, FWA Footballer of the Year bagi pemain yang saat ini berusia 30 tahun itu.
Sebuah kemewahan bakal didapatkan Real Madrid setelah resmi membelinya. Sebuah kemewahan dan dipercaya betul bakal menjadi “bantuan yang dibutuhkan” bagi Cristiano Ronaldo. Duet Bale dan Ronaldo, ditambah Karim Benzema, diyakini betul seperti sebuah agama, bakal cukup untuk menjadi pesaing lini depan Barcelona yang diisi Lionel Messi, Neymar, dan Luis Suarez.
Sebuah orgasme imajinasi terjadi hampir setiap hari sebelum Bale turun bermain. Fans Real Madrid membayangkan Ronaldo bakal menjadi momok dari sisi kiri, Bale yang bermain sebagai inverted winger di sisi kanan adalah mimpi buruk bagi lawan, sedangkan Benzema sebagai target man, dipandang sebagai calon pichichi, atau pencetak gol terbanyak di La Liga.
Memang betul, imajinasi di atas bisa terwujud, tapi hanya di dunia virtual, di dunia FIFA, Pro Evolution Soccer, atau Football Manager. Kemewahan yang dipercaya akan dibawa Bale gagal diwujudkan di dunia nyata.
Angka mati Gareth Bale
Awalnya ekspektasi tinggi, disusul cedera panjang. Kombinasi dua beban besar bagi pesepak bola profesional di mana saja. Sudah ekspektasi yang dipikul sangat tinggi, si pemain harus banyak menepi karena cedera. Ujungnya hanya dua: performa yang tenggelam, atau berusaha sampai “mati” tapi tetap saja gagal. Kenyataan yang tidak bisa dihindari untuk banyak pemain “berkaki kaca”.
Dan di sana, berdiri Zinedine Zidane, pelatih yang sukses menjadi legenda Real Madrid, baik sebagai pemain maupun pelatih. Pada titik tertentu, Zidane adalah teman dekat para pemain. Namun, wajahnya berubah garang ketika si pemain menyia-nyiakan kepercayaannya. Yang ia tuntut sangat sederhana: konsisten. Tuntutan satu kata yang sulit dipenuhi bahkan kalau kamu sudah mati-matian bekerja keras.
Atas nama inkonsistensi, keberadaan Gareth Bale tak lagi dibutuhkan. Begitu dingin ketika Zidane berbicara kepada wartawan kalau Bale tak lagi masuk dalam rencananya. Zidane menegaskan kalau klub sedang berusaha menjual si pemain. Katanya ini demi kebaikan bersama. Namun kita tahu persis ini demi kebaikan Los Blancos.
Lini masa mendidih. Real Madrid dianggap tak tahu terima kasih, tidak paham caranya menghargai pemain yang punya andil besar di final Liga Champions dengan gol-golnya. Sebuah pandangan sempit yang menjepit Real Madrid.
Fans sebuah klub kelas tiga di London, mantan klub Bale membuat komparasi: antara si pemain dengan Zidane ketika masih aktif bermain. Jumlah gol dibandingkan dengan Bale unggul. Begitu juga dengan jumlah piala. Lagi-lagi mantan pemainnya lebih unggul dibandingkan Zidane. Sebuah komparasi goblok dari sebuah klub kelas tiga.
Ilustrasi dibikin secara ramai-ramai oleh media. Sebuah ilustrasi yang berisi catatan statistik Bale di La Liga bersama Los Blancos. Ia sudah mencetak 102 gol, 65 asis, 4 piala Liga Champions, 1 piala La Liga, 1 piala Copa Del Rey, 3 piala UEFA Super Cup, dan lain sebagainya.
Membela Real Madrid
Lagi-lagi, angka-angka mewah Bale mewarnai. Namun, tahukah kamu kalau itu semua adalah angka mati? Ini sering terjadi di sepak bola. Pemain terlihat sangat jagoan ketika melihat catatan statistik. Namun, angka-angka itu tetap saja angka mati jika kamu tidak menyertakan konteks.
Benar, bahwa Bale adalah pemain krusial bagi Real Madrid di dua final Liga Champions. Masalahnya adalah, banyak pengkritik itu hanya menonton si pemain bermain di laga final saja. Mereka menonton ketika kebetulan si pemain membuat gol lewat sebuah salto ke gawang Liverpool. Sebuah gol yang juga dibanding-bandingkan dengan golazo Zidane ke gawang Bayer Leverkusen bertahun yang lalu.
Namun, banyak pengkritik ini tidak melihat konteks yang lebih luas. Mereka seperti mabuk dengan angka ketika tidak menyertakan kontribusi Zidane di sepanjang kompetisi, di mana Bale hanya cemerlang di final saja.
Situasi yang sama saja juga terjadi di La Liga. “Lho, Bale sudah bikin banyak gol. Sudah 102, sementara Zidane cuma 49 saja.” Lagi-lagi, argumen lemah. Apakah kamu sudah memasukkan posisi di pemain ketika bermain? Apakah kamu sudah membuat analisis kedua pemain bersama bersama siapa saja dan cara bermain mereka bagaimana?
Di Indonesia saja, berapa banyak penonton sepak bola yang akan menyisihkan waktunya di kala subuh untuk menonton Real Madrid melawan Getafe? Mungkin cuma fans militan Real Madrid yang akan tetap terjaga, melawan kantuk, menonton pertandingan yang tayang paling belakangan di Indonesia dibandingkan Liga Inggris misalnya.
Banyak pemirsa La Liga yang baru akan menyisihkan waktunya ketika Real Madrid melawan Barcelona. Pertandingan yang hanya terjadi 2 kali di La Liga dan dijadikan batu penjuru untuk membela satu gol si pemain. Lalu kenapa jumlah gol Bale begitu banyak?
Memang tak bisa dimungkiri kalau di La Liga, tiga klub dalam diri Real Madrid, Barcelona, dan Atletico Madrid sangat dominan. Atas nama kemenangan Madrid dengan skor besar; 6-2, 8-0, 5-0, 4-1, 3-0, 7-1, Bale bisa mengumpulkan gol begitu banyak.
Ketika Real Madrid menguasai Eropa selama beberapa musim, di mana Bale mencetak gol di final saja, analis dan jurnalis tidak memberikan apresiasi yang layak untuk trio Casemiro–Toni Kross–Luka Modric. Tiga pemain ini, bahkan bukan Ronaldo yang berevolusi menjadi predator kotak penalti, yang menjadi mesin besar Los Blancos.
Banyak orang tidak memberikan penghargaan yang layak kepada Dani Carvajal dan Marcelo, dua bek sayap terbaik di dunia kala itu. Kelima pemain ini menjadi tulang punggung di catatan sejarah tiga kali juara Liga Champions berturut-turut.
Sepak bola memang dunia yang kejam, my love. Sumbangsih dan peran Bale sudah dihargai secara pantas lewat gaji tinggi. Namun, ketika si pemain memang tak lagi cocok dengan ide pelatih, tidak konsisten di banyak laga, yang bisa dilakukan klub adalah menjual. Fans merayakan gol, manajemen merayakan keuangan yang sehat dan ruang ganti yang ideal.
Masih sulit memahami kebijakan ini? Mungkin sepak bola bukan tontonan yang sehat buat kamu semua.