Saya punya banyak kawan yang lucu. Satu dari sekian banyak itu bernama Itok. Ia kawan saya sejak SD. Saya mengenalnya sebagai sosok yang jenaka genuine. Sosok yang sangat menggemari kuda lumping. Saking sukanya dengan kuda lumping, sampai-sampai pernah suatu saat, ketika ia disuruh menyanyikan lagu wajib oleh Ibu guru, ia maju dan menyanyikan lagu “Slompret Gondorio”, salah satu lagu best seller dalam setiap pertunjukan kuda lumping di beberapa daerah di Jawa Tengah dan jawa Timur.
“Slompret slompret kempul wungkung… Kendang riyel ketipung imbal…”
Kejadian itu masih terus teringat dalam ingatan saya. Lucu sekali. Tiap kali Itok saya ingatkan dengan insiden itu, ia juga ikut tertawa.
Kemarin malam, saat saya pulang, saya kembali bertemu dengannya. Kami ngobrol banyak sampai pagi di ngebuk perempatan kampung bersama beberapa kawan lainnya.
Dan tentu saja, Itok masih tetap lucu. Dan akan selalu lucu.
Dalam obrolan kemarin, ia sempat menceritakan kisahnya saat dikejar-kejar oleh Kuncung, kawan kami yang lain, untuk dibacok. Kuncung mengejar Itok karena memang sedang mabuk.
“Kuncung ngoyak aku nggowo lading,” tuturnya yang langsung membuat saya ngeri membayangkan adegan tersebut.
“Lha kowe mlayu ora?” Tanya saya. Sebuah pertanyaan yang tentu saja terdengar sangat bodoh.
“Yo jelas mlayu tho,” jawab Itok. “Tapi aku ora patio wedi.”
“Weh, kok iso kowe ora wedi?”
“Lha jenenge we Kuncung pas mabuk, jadi yo rodo goblok. Deknen ngoyak aku nggowo lading, tapi mung gagang’e thok!”
Bangsat. Saya dan beberapa kawan yang mendengarnya tentu saja tertawa. Tertawa karena itu kejadian lucu. Dan menjadi lebih lucu karena Itok yang jadi korbannya.
Itok kini bekerja sebagai pengamen di salah satu lampu merah di batas kota. Sudah setahun ini ia menjadi pengamen. Ia tak punya skill musik yang mumpuni. Nggak paham kunci gitar kencrung. Suaranya jelek saya belum. Namun hal tersebut tak membuatnya surut dalam mengamen. Ia berkeyakinan, bahwa mengamen di lampu merah itu tak perlu piawai bermusik, yang penting ada suaranya. Wong ya yang diameni begitu ngasih duit juga langsung nutup kaca mobil lagi.
Itok sudah beberapa kali tertangkap Satpol PP. Entah karena aktivitas mengamennya atau karena sebab lain. Yang jelas, ia bercerita pada saya bahwa dirinya sudah beberapa kali berurusan dengan aparat beberapa kali semenjak ia mulai menjadi pengamen.
Saking seringnya ditangkap, Itok bahkan sampai sempat berencana untuk mengaku menjadi orang lain kalau kelak ditangkap lagi oleh Satpol PP.
“Kowe ngaku jenenge sopo?” tanya saya.
“Agus Setiawan,” jawab Itok. “Anake Pak Yudi, alamate Saragan RT 2 RW 1.”
“Asuuuuuu…”
Itok bercerita bahwa beberapa waktu yang lalu, saat tidak sedang mengamen, ia sempat bertemu dengan salah satu anggota Satpol PP yang pernah menangkapnya.
“Satpol PP-ne takon kok dengaren aku ora ngamen.” Itok kemudian mengambil air minum, kemudian meneguknya sedikit. “Lak yo nggatheli, tho, Gus?”
“Nggatheli piye?”
“Lha yo nggatheli, Satpol PP-ne. Lha nek aku ngamen dicekel, tapi nek ra ngamen ditakokke.”
Saya lunglai. Tawa saya pecah.