Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

RUU Pesantren dan Diskusi Lintas Agama yang Percuma

Yamadipati Seno oleh Yamadipati Seno
1 November 2018
A A
RUU Pesantren MOJOK.CO
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – RUU Pesantren menulai polemik. Mengatur Sekolah Minggu, dan berbagai proses belajar agama Kristen atau Katolik tidak perlu serumit itu.

Pada awalnya, semua agama adalah semata hubungan antara manusia dengan Tuhan. Lalu, dari ajaran yang diturunkan, diatur juga hubungan antara sesama manusia. Lantaran tidak hanya satu agama di muka bumi ini, aturan hubungan dengan Tuhan dan sesama tentu menjadi berbeda. Dalam Islam dikenal lakum dinukum walidan.

Sementara itu, di Katolik tidak dikenal ungkapan yang serupa. Namun, umat Katolik punya pegangan yang kurang lebih senada, yaitu Hukum Cinta Kasih. Hukum ini, pada intinya bermakna menghormati sesamamu manusia seperti menghormati dirimu sendiri. Intinya sama, yaitu memosisikan sesama sebagai pribadi yang merdeka dan harus diperlakukan dengan baik.

Lakum dinukum walidan dan Hukum Cinta Kasih diterjemahkan ke dalam aturan masing-masing agama. “Untukku agamaku, dan untukmu agamamu.” Kalimat tersebut bisa menjadi sebuah irisan yang sama dari masing-masing ungapan dalam Islam dan Katolik yang disebut di atas. Aturan-aturan ini, disusun oleh sebuah lembaga. Di Indonesia dikenal sebagai Lembaga Agama, Kementerian Agama, dan lain sebagainya.

Sekali lagi, lakum dinukum walidan dan Hukum Cinta Kasih punya muatan yang sama, yaitu menghormati sesama ketika menjalankan ibadahnya. Penegasan ini penting. Sangat penting untuk melihat (atau mendiskusikan) perihal RUU Pesantren yang tengah menjadi polemik saat ini ketika diprotes Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).

Perlu kamu ketahui, RUU ini punya nama lengkap RUU Pesantren dan Pendidikan Agama. Jadi, kurang lebih, RUU ini mengatur dinamika pendidikan masing-masing agama di Indonesia. Melihat namanya, sebuah pertanyaan terbersit. “Mengapa tidak menggunakan nama RUU Pendidikan Agama saja? Mengapa kata “Pesantren” harus diletakkan di depan?”

Kata “Pesantren” tentu identik dengan Islam. Pesantren adalah asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji dan sebagainya. Ini menurut KBBI ya, bukan menurut saya. Ketika kata “Pesantren” diletakkan di depan, seolah-olah, RUU ini memberikan porsi yang lebih besar kepada Islam. Jika ingin lebih plural dan merata, menggunakan judul “RUU Pendidikan Agama” saja sudah cukup. Ini kalau soal nama. Masukan saja, silakan didiskusikan.

Itu masalah pertama. Nah, masalah kedua adalah isi dari RUU Pesantren tersebut. Saya kutipkan beberapa ayat yang bermasalah saja supaya lebih jelas.

Pasal 69 ayat 1 berbunyi “RUU ini mengakui Sekolah Minggu, Sekolah ALKITAB, Remaja Gereja, dan Ketekisasi, masuk sebagai jalur pendidikan Kristen nonformal.

Pasal 69 ayat 3 dan 4: Ayat (3) “Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam bentuk program yang memiliki peserta paling sedikit 15 (lima belas) orang peserta didik.

Pasal 69 ayat 4: “Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal yang diselenggarakan dalam bentuk satuan pendidikan atau yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).

Bagi pembaca beragama Kristen dan Katolik, sudah merasakan ada yang janggal? Betul, Pendeta Henrek Lokra, Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI menegaskan bahwa Sekolah Minggu bukan bagian dari pendidikan formal. “Atur saja khusus untuk Pesantren, jangan dimasukkan Sekolah Minggu di sana.”

Perlu dipahami, Sekolah Minggu adalah sebuah wadah untuk mengajarkan kebaikan-kebaikan dan kabar gembira yang ada di dalam Alkitab kepada anak-anak. “Kepada anak-anak” yang mana peserta didiknya sangat jarang MELEBIHI 15 orang. Berbeda dengan mayoritas Pesantren yang justru cukup jarang jika punya anak didik KURANG DARI 15 orang.

Apalagi ketika Sekolah Minggu merupakan kegiatan gereja di pelosok di mana umat secara keseluruhan bahkan tidak sampai 100 orang dewasa. Sangat lumrah pemandangan Sekolah Minggu yang pesertanya hanya lima sampai 10 orang. Ketika masih cukup rajin berangkat Sekolah Minggu, saya dan teman-teman yang berangkat tak lebih dari 10 anak.

Iklan

Sekarang coba bayangkan situasi ini: sebuah gereja mengajukan izin mengadakan Sekolah Minggu ke Kantor Kementerian Agama. Ketika mendaftar, peserta didik yang ada hanya 10 anak. Jelas, jumlah tersebut tidak memenuhi jumlah minimal yang diatur di dalam RUU (jika kelak menjadi UU). Oleh sebab itu, lantaran tidak memenuhi aturan, maka Sekolah Minggu tidak boleh diadakan. Begitu, kan, logikanya?

Jadi, aturan jumlah peserta didik yang dikenakan kepada Sekolah Minggu sangat tidak masuk akal. Sangat berbeda dengan dinamika yang terjadi di banyak Pesantren di Indonesia, di mana menjaring 15 peserta didik itu mudah dilakukan.

Ini baru Sekolah Minggu. Belum Sekolah Alkitab, Remaja Gereja, Pemuda Gereja, dan Katekisasi. Ini sungguh lucu. Lha wong pada dasarnya tidak ada yang namanya Remaja Gereja. Kalau kamu ketik “remaja gereja” lewat Google, yang keluar adalah berita-berita soal “peran remaja dalam gereja” atau “remaja dalam gereja” atau “kegiatan remaja gereja”. Tidak ada yang spesifik Remaja Gereja. Ini kembali ke masing-masing gereja. Kalau bukan lucu, apa namanya?

Kalau isi dari RUU Pesantren yang disusun seperti ini, masih efektifkah yang namanya diskusi lintas agama? Kalau yang namanya diskusi adalah proses menguji dan melahirkan pemikiran, kenapa isinya seperti ini?

Apakah gereja perlu dikontrol sedemikian rupa? Masih takut dengan Kristenisasi atau Katolikisasi. Saya kasih tahu ya. Masuk Katolik itu susah setelah mati. Kamu harus ikut proses belajar dalam waktu yang lama. Bahkan, saya mendengar langsung prosesnya bisa memakan satu tahun lebih. Tidak jarang, ada orang yang gagal masuk Katolik karena syarat yang panjang dan berat. Jadi, tak perlulah khawatir tentang isu-isu Kristenisasi dan Katolikisasi yang enggak “mantul” itu.

Quraish Shihab pernah berkata, “Kepatuhan kepada Tuhan itu adalah lakum dinukum waliyadin. Silakan amalkan, tetapi kalau kita paksakan orang lain untuk patuh, Tuhan itu tidak setuju.”

Ini kalimat yang dahsyat karena menjadi dasar yang namanya toleransi beragama dan harus menjadi dasar diskusi lintas agama. Katolik dan Kristen tak perlu diatur sedemikian rupa lewat RUU Pesantren. Toh, sebagai minoritas kami sadar diri kok. Ngeyel sedikit bisa kena pasal penistaan agama atau di-jihad-i yang mayoritas. Santai saja.

Begitu ya. Beragama yang santai dan los setang saja. Saya kasih pesan perdamaian dari Paus Fransiscus:

“We need smiling Christians, not because they take things lightly, but because they are filled with the joy of God, because they believe in love and live to serve.”

Piss, love, and gaul~

Terakhir diperbarui pada 1 November 2018 oleh

Tags: KatolikKristenruu pesantren
Yamadipati Seno

Yamadipati Seno

Redaktur Mojok. Koki di @arsenalskitchen.

Artikel Terkait

Cerita Kebiasaan Orang Jawa yang Bikin Kaget Calon Pendeta MOJOK.CO
Esai

Cerita Calon Pendeta yang Kaget Diminta Mendoakan Motor Baru: Antara Heran dan Berusaha Memahami Kebiasaan Orang Jawa

21 November 2025
Katolik Susah Jodoh Tolong Jangan Login dan Ambil Jatah Kami MOJOK.CO
Esai

Cari Pasangan Sesama Katolik itu Susah, Tolong Jangan Login dan Ambil Jatah Kami

13 November 2025
Paus Leo XIV, Sarjana Matematika Memimpin Umat Katolik MOJOK.CO
Esai

Habemus Papam! Kisah Paus Leo XIV Sarjana Matematika yang Akan Memimpin Umat Katolik di Masa Kritis

9 Mei 2025
Saksi Yehuwa Bukan Bagian dari Kristen MOJOK.CO
Esai

Saksi Yehuwa yang Bagi-Bagi Brosur Itu Bukan Bagian dari Kristen

24 Januari 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Kuliah di universitas terbaik di Vietnam dan lulus sebagai sarjana cumlaude (IPK 4), tapi tetap susah kerja dan merasa jadi investasi gagal orang tua MOJOK.CO

Kuliah di Universitas Terbaik Vietnam: Biaya 1 Semester Setara Kerja 1 Tahun, Jadi Sarjana Susah Kerja dan Investasi Gagal Orang Tua

15 Desember 2025
Drama sepasang pekerja kabupaten (menikah sesama karyawan Indomaret): jarang ketemu karena beda shift, tak sempat bikin momongan MOJOK.CO

Menikah dengan Sesama Karyawan Indomaret: Tak Seperti Berumah Tangga Gara-gara Beda Shift Kerja, Ketemunya di Jalan Bukan di Ranjang

17 Desember 2025
Keturunan Keraton Yogyakarta Iri, Pengin Jadi Jelata Jogja Saja! MOJOK.CO

Keresahan Pemuda Berdarah Biru Keturunan Keraton Yogyakarta yang Dituduh Bisa Terbang, Malah Pengin Jadi Rakyat Jelata Jogja pada Umumnya

18 Desember 2025
Pulau Bawean Begitu Indah, tapi Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri MOJOK.CO

Pengalaman Saya Tinggal Selama 6 Bulan di Pulau Bawean: Pulau Indah yang Warganya Terpaksa Mandiri karena Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri

15 Desember 2025
Kegigihan bocah 11 tahun dalam kejuaraan panahan di Kudus MOJOK.CO

Kedewasaan Bocah 11 Tahun di Arena Panahan Kudus, Pelajaran di Balik Cedera dan Senar Busur Putus

16 Desember 2025
UGM.MOJOK.CO

Ketika Rumah Tak Lagi Ramah dan Orang Tua Hilang “Ditelan Layar HP”, Lahir Generasi Cemas

20 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.