MOJOK.CO – Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan eks pelatih Manchester United Sir Alex Ferguson sama-sama menempuh jalan terjal sebelum sukses menjadi legenda. Jadi dominan dan nyaris tak tergantikan.
Lewat Kongres ke-V yang digelar di Bali, Megawati Soekarnoputri terpilih kembali secara aklamasi (mufakat, tanpa voting) sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Keterpilihan Megawati ini bisa digambarkan seperti “api itu panas” dan “es itu dingin”. Nggak bikin heran.
Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Marcellus Hernowo menyebut kongres PDIP sebagai sebuah “peristiwa yang tidak menarik”. Sebab, meskipun berembus wacana transisi kepemimpinan, keberadaan Megawati masih tidak tergoyahkan. Saking dominannya, Megawati menolak dengan tegas keberadaan ketua harian dan tidak ada yang protes.
“Jadi kalau tadinya kan memang begitu. Saya dengar sendiri karena kaget kan pada, ‘Ada apa ya kok PDI mau kongres? Apakah ini kongres luar biasa? Apakah Ibu tidak jadi ketum lagi? Apakah Ibu akan menyerahkan kepada Ketua Harian? Apakah Ibu akan buat Wakil Ketua Umum?’ Ya sekarang kan sudah kelihatan, semua itu tidak ada. Saya tetap ketua umum yang diberi hak prerogatif dan nanti membentuk DPP partai,” tegas Bu Mega, dikutip dari Detik.
Sebelumnya beredar kabar kalau jabatan ketua harian akan diadakan dan akan diisi oleh salah satu di antara Puan Maharani atau Prananda Prabowo. Sungguh kental citarasa Bung Karno di sini lantaran Mbak Puan dan Mas Prananda sama-sama anak kandung Bu Mega.
Fakta yang menggambarkan dengan jelas betapa dominan sosok Megawati di PDIP mengingatkan saya kepada Sir Alex Ferguson, pelatih legendaris Manchester United.
Ketika masih menjadi pelatih United, Sir Alex Ferguson punya “hak prerogatif” yang sangat besar. Lelaki yang 27 tahun mengasuh klub tersebut sampai disebut “tiran sepak bola”. Tidak ada yang mau susah-payah mendebat Sir Alex Ferguson, baik dari akar rumput fans Manchester United, manajemen, maupun para pemain senior.
Sir Alex Ferguson tumbuh di tengah lingkungan pekerja di Govan, kota kecil di wilayah Glasgow, Skotlandia yang langitnya hitam karena asap pabrik. Ia merintis karier sepak bola lewat jalan terjal dan berujung kegagalan.
Seperti yang ditulis Jennie S. Bev dalam bukunya yang berjudul Sir Alex Ferguson: The Legends Leadership, usaha keras yang dilakukan Fergie dalam menggapai cita-citanya sebagai pesepak bola profesional sudah tampak ketika ia harus memastikan dirinya tiba tepat waktu di kamp latihan di Perth saban pukul 19.30.
Jarak antara rumah dan kamp latihannya itu sangat jauh untuk dilalui dalam sekali tempuh. Ia perlu berangkat pukul 16.00. Dari jalan Remington Rand di Hillington Estate, ia naik bus ke stasiun kereta api menuju Glasgow Central. Dari sana naik taksi ke Stasiun Buchanan Street. Di sana tiba pukul 17.00 dan berangkat lagi ke Perth yang memakan waktu perjalanan selama dua jam. Dari Perth, naik taksi satu kali ke Muirton Park.
Sir Alex Ferguson juga harus menjadi tulang punggung keluarganya ketika ayahnya mengidap kanker usus dan harus berhenti bekerja. Inilah yang kemudian membedakan Sir Alex Ferguson dan para suksesornya di Manchester United.
Sir Alex Ferguson sangat berhasil mengontrol pemain-pemain dengan ego tinggi seperti Eric Cantona dan Roy Keane. Ia tak pernah mau berkompromi dengan kehidupan glamor David Beckham, terutama setelah menikah dengan Victoria “Posh spice” Beckham.
Ketika akhirnya pensiun, Sir Alex Ferguson mampu membuat manajemen menurut ketika menunjuk suksesor. Ia ingin David Moyes yang menjadi pengganti dan itulah yang terjadi.
Dominasi ini terlihat dalam diri Megawati ketika enggan didikte untuk mengadakan posisi ketua harian dan wakil ketua umum. Bahkan sekalipun posisi itu diisi oleh anaknya sendiri.
Jalan terjal yang dilalui Sir Alex pun tak jauh beda dari rute karier Mega. Karier politik Megawati berawal pada 1987, satu tahun setelah Sir Alex Ferguson menjabat pelatih Manchester United. Saat itu, Ketum PDI, Soerjadi, berhasil membujuk Megawati dan Guruh masuk PDIP.
Dua anak Bung Karno itu diproyeksikan sebagai vote getter. Dan memang berhasil. Suara yang diperoleh PDI dalam pemilu meningkat. Pada Pemilu 1987, PDI meraih 10 persen (40 kursi) dan 14 persen (56 kursi) pada Pemilu 1992. Namun, capaian PDI itu memicu kegusaran pemerintahan Soeharto.
Sir Alex Ferguson butuh waktu 4 tahun untuk memenangi piala pertamanya dan kemudian menancapkan pengaruh utuh di tubuh Manchester United. Sementara itu, Megawati tak butuh waktu lama. Sebagai trah Bung Karno, Megawati menjadi lebih mudah diterima oleh banyak kalangan PDIP.
Kegusaran pemerintah berbuah menjadi sebuah peristiwa yang hingga saat ini tidak pernah terungkap kebenarannya. Peristiwa Kudatuli menelan 5 korban jiwa meninggal, 159 luka-luka, dan 23 orang hilang.
Kudatuli juga menjadi salah satu pendorong lahirnya PDI dengan tambahan “Perjuangan” pada 1999. Pada tahun 1999 itu Megawati terpilih menjadi ketua umum dan tak tergeser hingga saat ini. Hebatnya lagi, di Pemilu 1999, PDIP keluar sebagai pemenang dengan jumlah suara mencapai 35.689.073 (33,74%).
Pengalamannya melewati Kudatuli, usaha penggembosan oleh pemerintah, lalu mengantarkan PDIP sebagai pemenang, membuat Megawati seperti legenda. Status yang membuat dominasinya bisa dimaklumi oleh mayoritas kader PDIP hingga saat ini.
Megawati dan Sir Alex Ferguson sama-sama menempuh jalan terjal sebelum sukses menjadi legenda. Dominan dan memang sulit digantikan.