MOJOK.CO – khazanah kuliner Solo masih unggul dari kuliner Jogja. Mulai dari es teh hingga “jajanan rakyat” seperti angkringan. Mulai dari rasa, apalagi soal harga.
Kami mengenalnya dengan nama Mas Kendang, sebuah nama angkringan di dekat kantor. Konon, es teh racikan Mas Kendang adalah yang terenak di daerah Jalan Damai hingga Jalan Palagan, Sleman, DIY. Bahkan Puthut EA, Kepala Suku Mojok pun jatuh cinta dengan es teh yang memang menyegarkan itu.
Namun, jangan sekali-kali membawa perdebatan es teh enak itu seperti apa di depan khazanah kuliner Solo. Meski es teh Mas Kendang sudah bisa dibilang luar biasa, ternyata, level tersebut mudah dijumpai hampir di semua angkringan di Solo. Tak hanya soal es teh, ini yang gawat, khazanah kuliner Jogja “bertekuk lutut” di depan kuliner Solo.
Bagaimana tidak. Jika menemukan es teh seenak Mas Kendang di Jogja saja sudah agak susah, di Solo, es teh seperti itu adalah standar bawah dunia per-es teh-an kuliner Solo. Ini baru soal es teh, belum soal rasa beberapa menu, apalagi soal harga. Kuliner Jogja malah terlihat absurd banget.
Beberapa tahun yang lalu, saya pernah tinggal di Solo selama satu bulan lebih dikit. Selama satu bulan itu saya mengerjakan proyek penulisan buku dengan tema budaya. Di sela-sela rapatnya jadwal riset dan menulis, salah satu aktivitas kesukaan saya adalah mengunjungi angkringan satu per satu untuk mencicipi es teh.
Terjadi sedikit culture shock, mohon maaf apabila terdengar berlebihan, ketika hampir di semua angkringan, saya merasakan es teh yang nikmat. Kental, sedikit pahit, manis. Semuanya pas dan bikin kangen. Beda sekali dengan khazanah kuliner Jogja terutama babagan es teh.
Ketika masih kuliah, salah satu jujugan favorit untuk nongkrong di Jogja adalah angkringan Jabrik di depan kantor Kedaulatan Rakyat. Angkringan legendaris itu menyajikan es teh dengan cita rasa yang mirip dengan es teh di khazanah kuliner Solo. Setelah Selain es teh, dulu, minuman favorit kedua saya di angkringan jabrik adalah es jahe, kemudian es tape.
Masalahnya adalah, standar angkringan jabrik tidak bisa disamai oleh sembarang angkringan di Jogja. Terlalu tidak seragam, apalagi konsisten. Ada yang terlalu manis, seringnya terlalu “encer”. Rasa teh-nya cepat sekali “menguap” setelah es batu mencair.
Kenapa es teh di khazanah kuliner Solo bisa sangat enak?
Blontank Poer, praktisi minum teh pernah menjelaskan makna ngeteh bagi orang Solo. Pakdhe Blontank menulis:
“Teh itu daya hidup bagi orang Solo. Bukan gaya hidup sebagaimana kopi, yang dalam beberapa tahun terakhir menjamur ditawarkan lewat kehadiran banyak coffee shop, baik pemain lokal maupun yang mengusung merek besar lewat sistem waralaba.”
Beliau melanjutkan: “Orang Solo bisa melewatkan ngopi, namun tidak dengan ngeteh. Bahkan, menjadi satu persoalan besar jika orang Solo bepergian ke daerah atau kota lain, sebab hampir pasti tidak bakal menemukan teh yang cocok di lidah mereka.”
“Karena begitu pentingnya teh dan ngeteh dalam kesehariannya, mereka tak segan mengatakan, atau setidaknya menggerutu, dengan ungkapan: ‘Teh kok kaya uyuh jaran!’” tegas Pakdhe Blontank.
Standar makna itu yang mungkin berpengaruh besar kepada cara menyeduh teh bagi warga Solo. Pertama, soal warna. Idealnya berwarna cokelat pekat, bukan bening kayak uyuh jaran. Kedua, soal rasa. Biasanya wangi aroma melati yang dominan.
Oleh karena itu, sajian di kaki lima, angkringan, warung makan, hingga restoran yang menyajikan teh wangi (teh melati atau jasmine tea) pasti akan disukai. Apalagi jika meninggalkan aftertaste cukup lama.
Keberanian orang Solo untuk membuat racikan baru dengan mengoplos teh juga menjadi pembeda. Misalnya, bagi Pakdhe Blontank Poer, oplosan teh yang terbilang enak adalah kombinasi teh cap Nyapu dan Sintren. Untuk kepekatan, kamu bisa menambahkan teh Dandang. Hasilnya, tercipta rasa yang khas dan kepekatan yang menyenangkan.
Sudah jadi tradisi, ditambah kreativitas membuat oplosan. Tidak heran es teh di khazanah kuliner Solo unggul jauh dari khazanah kuliner Jogja.
Bagaimana dengan pandangan anak-anak muda soal perbedaan es teh di khazanah kuliner Solo dan kuliner Jogja?
Kuliner Solo vs kuliner Jogja di mata anak muda
Saya sempat mengobrol dengan Addin, anak muda kelahiran Temanggung, namun lama hidup di Solo. Beberapa bulan yang lalu, Addin hijrah ke Jogja untuk bekerja sebagai admin Fandom. Dari Addin saya mendapatkan perspektif menarik.
Pertama, soal angkringan. Di Jogja, mulai jarang ditemui angkringan dengan harga dan rasa yang pas. Meski secara rasa tidak terlalu jauh, harga makanan dan kudapan di angkringan Jogja lebih mahal ketimbang Solo.
Kedua, untuk makanan berkuah, misalnya soto. Dua tahun yang lalu, Addin sempat tinggal sebentar di Jogja. Kini, harga makanan berkuah di Jogja sudah naik dua kali lipat. Sementara, makanan berkuah di khazanah kuliner Solo tidak banyak mengalami kenaikan.
Ketiga, soal es teh. Bagi Addin, agak tidak adil membandingkan es teh di khazanah kuliner Solo dengan khazanah kuliner Jogja. Tidak adil karena es teh di Jogja kalah jauuuh. Bagi Addin, es teh paling enak di Solo adalah teh kampul di Wedangan Pur dekat Stadion Manahan.
Bicara teh kampul, beberapa anak muda yang sempat saya tanyai juga mengamini. Irvan, misalnya. Kalau bicara es teh, top of mind bagi teman-teman nongkrongnya sudah barang tentu teh kampul. Kamu tahu apa itu teh kampul?
Teh kampul, ada juga yang menyebutnya teh krampul adalah paduan teh dan irisan jeruk nipis. Awas, kalau lagi di Solo, jangan sebut teh kampul itu ya lemon tea karena keduanya berbeda cita rasa.
Lemon tea pada umumnya menawarkan rasa asam yang agak dominan, lalu disusul manis. Sementara itu, teh kampul harus meninggalkan rasa sepat, yang berasal dari teh hitam yang digunakan. Setelah itu, baru menyusul cita rasa asam dan manis. Nama lengkap dari minuman ini adalah teh kampul ginastel (legi, panas, kenthel – manis, panas, kental).
Lantas, bagaimana dengan makanannya?
Antonius Wibowo mengungkapkan bahwa dirinya pernah tinggal di Solo selama lima tahun. Ketika membandingkan makanan dalam khazanah kuliner Solo vs kuliner Jogja, ada perbedaan yang sangat terasa. Baik dari sisi rasa, apalagi harga. Entah kenapa, makanan di Solo lebih miroso (berasa bumbunya). Sudah begitu, harganya lebih murah ketimbang kuliner Jogja.
Eloknya, ketika membandingkan khazanah kuliner Solo vs kuliner Jogja, disparitas soal harga semakin besar seiring berjalannya waktu. Lonjakan harga di makanan Jogja terlalu cepat terjadi. Sementara itu, di Solo, masih bisa diterima atau terasa wajar.
Ironisnya, UMR Jogja tidak mengalami lonjakan yang drastis. Yah, kalau udah ngomongin soal gaji, kita semua bisa sepakat kalau perbandingan harga, baik barang maupun kuliner, dengan gaji terlalu timpang. Banyak orang asli Jogja yang sudah tidak mampu membeli tanah di “rumahnya sendiri”. Harga tanah di Jogja sudah tidak masuk akal. Yah, tapi mari tinggalkan perdebatan konyol ini karena ujungnya orang Jogja “dipaksa” untuk nrimo ning (ra entuk) nggresula. Hehehe….
Sedikit soal gudeg
Nah ini yang bikin saya sendiri merasakan dilema. Bagi saya pribadi, sebagai orang Jogja, gudeg yang enak agak sulit didefinisikan. Gudeg itu punya semacam text book untuk memasaknya. Perbedaan rasa ditentukan oleh inovasi masing-masing juru masak, serta kelengkapan dan kesegaran bahan.
Kalau untuk saya pribadi, gudeg yang enak itu yang nggak terlalu manis. Favorit saya pribadi adalah gudeg mercon Bu Tinah. Gudeg ini buka malam hari di dekat Pasar Kranggan, Kota Jogja. Rasanya justru gurih, sedikit asin, dan tentu saja pedas.
Beberapa anak muda yang saya tanyai justru menyebutkan beberapa jujugan gudeg yang masih agak kurang terkenal jika dibandingkan nama-nama besar. Hampir tidak ada yang merekomendasikan, misalnya, gudeg Yu Djum, Bu Slamet, atau gudeg Bromo yang tersohor itu. Bahkan gudeg di daerah Wijilan pun tidak mereka rekomendasikan meski rasanya cukup enak.
Banyak dari mereka yang lebih cocok dengan gudeg malam Mbak Sasa di bilangan Gejayan, gudeg Bu Pudjo di dekat bekas bioskop Permata, dan gudeg manggar Bu Dullah yang ada di Bantul. Kesamaan tiga tempat ini adalah rasa gurih, tidak terlalu manis, dan berbeda dari yang lain, terutama gudeg manggar (bunga pohon kelapa).
Nah, bagi orang Solo, gudeg Jogja itu terlalu “seragam”. Rasanya ya “cuma begitu” karena saking dominannya warung gudeg dengan cita rasa manis saja.
Yoga Cholandha, misalnya, warga Solo yang kini mukim di Jakarta. Untuk khazanah kuliner Jogja dalam hal gudeg cuma ada satu yang cocok, yaitu Bu Djuminten. Itu saja cuma standar lumayan. Enak, tapi ya sudah gitu aja.
Beberapa anak muda dari Solo juga hampir sepakat seperti Yoga. Gudeg Jogja itu enak, tapi ya gitu aja. Nah, kalau di Solo sendiri, jujugan yang bisa dianggap “rekomendit” untuk soal gudeg adalah gudeg Mbak Sulandri yang ada di Banjarsari, Solo.
Namun, pada akhirnya, untuk soal gudeg, pertarungan khazanah kuliner Solo vs kuliner Jogja berjalan seimbang. Soal harga juga tak jauh berbeda. Untuk makanan khas, bisa dikatakan remis.
Pada akhirnya, untuk sementara ini, khazanah kuliner Solo masih unggul dari kuliner Jogja. Mulai dari es teh hingga “jajanan rakyat” seperti angkringan. Mulai dari rasa, apalagi soal harga.
Kamu tidak sepakat? Ya tidak masalah. Namanya juga selera lidah. Kalau soal harga pastinya sepakat, dong.
BACA JUGA Kopi dan Es Teh dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.