MOJOK.CO – Serangan fans Manchester United ke rumah Ed Woodward adalah orgasme yang ingin dirasakan banyak fans. Animal instinct itu lumrah kalau sekarang meledak.
Sejarah kekerasan suporter memang setua olahraga sepak bola itu sendiri. Bahkan, jika membaca kembali sejarah sepak bola, yang dominan kita temukan adalah kekerasan itu sendiri. Di Inggris, dulu sekali, orang main bola untuk saling melukai. Ada pukulan yang disengaja, ada tendangan yang sudah direncanakan. Korban jiwa di lapangan hijau pernah terjadi juga.
Silakan baca buku Mengapa Sebelas Lawan Sebelas tulisan Luciano Wernicke dan kamu akan mendapati betapa sepak bola memang penuh kekerasan. Oleh sebab itu, usaha memberangus kekerasan di sepak bola bukan perkara mudah. Ada proses yang panjang karena setiap orang yang berusaha harus mampu mengupas jati diri sepak bola sampai ke akarnya.
Kekerasan di lapangan hijau itu diresonansikan oleh suporter di pinggir lapangan. Dari sana lahir sejarah hooligans dan ultras. Dari saling ejek, sampai saling bertukar janji untuk bertarung di tempat tersembunyi. Pertarungan itu dirayakan. Menjadi aktualisasi diri suporter sampai usaha membentangkan bendera eksistensi.
Seiring waktu, seiring perubahan sepak bola menjadi lebih bernapaskan industri, sejarah kekerasan suporter bukan lagi dialamatkan kepada suporter lain. Suporter melawan klub sendiri menjadi pemandangan yang lumrah.
Keberadaan klub dianggap sebagai jati diri, sebagai representasi budaya yang mengakar kuat. Jadi, lahir kebanggaan di dada suporter ketika membela klub yang menjadi identitas dirinya. Namun, ketika identitas itu berubah, terlebih menjadi lebih tidak sesuai dengan nilai luhur tradisi, maka yang ada adalah perlawanan.
Terakhir, sekelompok fans garis keras Manchester United menyambangi kediaman Ed Woodward. Mereka bernyanyi di depan rumah Wakil Ketua Eksekutif Manchester United itu berakhir menjadi aksi yang lebih “brutal”. Sekelompok fans itu melempar flare yang menyala ke halaman rumah Ed Woodward.
Just seen a video surface of United fans allegedly firing Flares at Ed Woodward’s House, Thoughts? pic.twitter.com/sjXTRqOSPy
— Madman Mason (@MadmanMason3) January 28, 2020
Sebelumnya, di sebuah pertandingan, fans Manchester United menyanyikan himne kematian untuk Ed Woodward. Mereka menyanyikan lagu kematian, ancaman pembunuhan kepada Ed Woodward. Bukan pemandangan yang menyenangkan. Namun, kita perlu sedikit mengetahu latar belakang kebencian fans Manchester United kepada Ed Woodward.
#sackwoodward pic.twitter.com/Pz4ptrzaed
— Woodward-out (@Manunitedfme) January 25, 2020
Dosa Ed Woodward kepada Manchester United
Dosa pertama Ed Woodward adalah campur tangan terlalu jauh ke ranah teknis. Sebuah ruang yang seharusnya menjadi kewenangan pelatih. Adalah Louis van Gaal yang bicara secara terbuka kepada Guardian. Pelatih asal Belanda itu kecewa lantaran pemain yang dibeli Manchester United adalah pemain yang tidak pernah mendapatkan restunya untuk dibeli.
“Itu adalah keputusan Woodward dan Matt Judge, tangan kanannya,” kata Van Gaal, seperti dituliskan kembali oleh Tirto. Seiring wawancara yang terjadi dengan Guardian, fans bisa memahami kalau biang rancunya skuat Manchester United mengarah ke satu nama, yaitu Ed Woodward.
Lewat jabat tangan Ed Woodward pula keluarga Glazer tertarik membeli Manchester United. Keluarga yang juga sama dibencinya seperti Ed Woodward sendiri. Kemarahan fans Manchester United kalau itu dipicu oleh kenyataan bahwa keluarga Glazer membeli United dengan uang pinjaman. Kala itu, United dibeli dengan dana mencapai 170 juta paun.
Ed Woodward diboyong keluarga Glazer masuk ke manajemen. Memang, kinerja Ed di bidang bisnis cukup bagus. Laba klub dari sponsor yang cuma 48 juta paun bisa digenjot menjadi 117 juta paun di tahun 2012.
“Sekitar tiga belas tahun setelah pembelian itu, keluarga Glazer berhasil memperoleh kembali investasi awal mereka ditambah keuntungan dividen dan penjualan saham. Hutang mereka sudah jauh berkurang. Mereka kini menguasai 80 persen saham klub senilai tiga miliar paun,” tulis Martyn Ziegler di The Times pada Desember 2018.
Cakap di lantai bisnis, Ed kacau di meja negosiasi pemain. Ed menjilat ludah sendiri ketika membeli Marouane Fellaini dengan harga 27,5 juta paun. Padahal, buy-out clause Fellaini cuma 23 juta paun. Sebelumnya, Ed pernah berjanji tidak akan membeli dengan harga yang tidak wajar.
Setelah Fellaini, Ed membeli Juan Mata, Angel Di Maria, dan Paul Pogba. Pembelian Juan Mata dan Di Maria tidak pernah direstui van Gaal, sementara Pogba tidak diinginkan Jose Mourinho.
Ketika Louis van Gaal juga menyebut United sebagai “klub komersial, bukan klub sepakbola” di bawah arahan Woodward, Ed Woodward malah dengan bangga mengakuinya.
Pada 2013, ketika diwawancara Andy Mitten dari Economia, Ed mengatakan bahwa untuk menarik minat sponsor, klub tidak perlu menghasilkan tropi. Ia mencontohkan kinerja Liverpool, rival berat Manchester United.
“Lihat Liverpool. Mereka masih mampu menjual jersey secara luar biasa dan menyoal kesepakatan dengan apparel jersey, mereka mempunyai pendapatan terbesar kedua di Premier League. Padahal, mereka sudah tidak memenangkan liga sejak tahun 1990,” kata Ed congkak. Pahitnya, di ujung musim 2019/2020 ini, Liverpool bakal menjadi juara Liga Inggris.
Kekacauan yang disulut oleh Ed “membakar dirinya sendiri”. Fans yang selama ini hanya melakukan protes dari tribun dan media sosial, bergerak lebih “liar”. Dan pada titik tertentu, kekerasan yang ditunjukkan fans Manchester United itu sebetulnya diidamkan oleh banyak fans klub lainnya.
Logika perlawanan
Kita ambil contoh fans Arsenal. Fans ini membenci keluarga Kroenke setengah mati, terutama kepada Stan Kroenke, si kepala keluarga. Stan dianggap menjadikan Arsenal sebagai “sapi perah” saja.
Keuntungan klub dinikmati oleh elite Arsenal saja. Namun, di atas lapangan, klub tidak pernah berinvestasi kepada pemain matang. Citra sebagai klub penghasil pemain muda kadung melekat kepada Arsenal. Status yang justru dimanfaatkan oleh Stan untuk tidak terlalu berambisi mengembalikan Arsenal di khitah-nya, yaitu klub penantang gelar juara.
Arsenal baru melakukan pembelian besar di tahun ini. Ketika manajemen sudah berganti dan zaman menuntut Arsenal untuk lebih kompetitif.
Rasa geram kepada Stan Kroenke itu selalu muncul ketika Arsenal terpuruk. Nyanyian yang mengancam dan parade kebencian pernah dilakukan. Tagar Kroenke Out mengiringi setiap kegagalan. Saya berani bertaruh, banyak fans Arsenal ingin bisa seperti fans Manchester United, menyerang Kroenke secara langsung.
Perlawanan adalah keniscayaan ketika rasa geram dan lelah sudah menumpuk. Logika ini yang saya baca dari aksi kekerasan fans Manchester United itu. Bukan hal yang pantas dilakukan, tetapi ada logika yang menjadi latar belakang. Suporter adalah manusia, yang ketika ditekan dan terancam, animal instinct akan muncul dan mendominasi.
Orgasme kekerasan ini tidak bisa dihindari. Semua manusia akan melawan ketika tradisi mereka diinjak dan diperkosa. Logika kekerasan yang terbaca sangat salah, tetapi tidak bisa kamu nafikan begitu saja, bukan.
BACA JUGA Masalah Manchester United Bukan Cuma Ole Gunnar Solskjaer dan Membeli Pemain atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.