MOJOK.CO – Kesembuhan cedera mental sulit diukur kesembuhannya. Bisa jadi, di akhir Januari, AC Milan dan Arsenal terpaksa menjual Lucas Paqueta dan Shkodran Mustafi.
Salah satu cedera yang paling dihindari di sepak bola adalah Anterior Cruciate Ligament atau ACL. Patang tulang juga menjadi mimpi buruk pemain. Dua cedera tersebut bakal sukses menurunkan kemampuan fisik pemain. Absen dalam jangka waktu yang lama adalah sebuah kenyataan pahit yang perlu diterima.
Namun, seburuk apapun ACL dan patah tulang, dua cedera tersebut punya tenggat waktu untuk sembuh. Kata “sembuh” di sini memang variatif. Bisa “sembuh”, betul-betul terbebas dari rasa sakit. Bisa juga “sembuh”, tetapi tubuh tidak lagi sama. Satu hal yang pasti, hampir selalu ada tenggat waktu untuk sembuh.
Jika cedera fisik bisa sembuh dalam jangka waktu tertentu, cedera mental bisa terus menghantui pemain seumur hidupnya. Bahkan kelak ketika si pemain pensiun, cedera mental itu akan terus ada. Mengendap di dalam otak dan tidak mudah diatasi. Bahkan setelah melewati ratusan jam sesi dengan psikolog.
Masalah cedera mental itu yang kini harus dihadapi AC Milan dan Arsenal terkait pemain masing-masing klub. Adalah Lucas Paqueta dan Shkodran Mustafi, dua pemain yang dahulu “dianggap penting”, kini tidak dalam performa terbaik. Fisik mereka sehat, bugar, dan siap untuk 90 menit, tetapi tidak untuk state of mind mereka.
Banyak fans Arsenal sepakat kalau sejak awal pembelian Mustafi sudah salah. Namun, jangan lupa, Mustafi adalah salah satu bek yang menjanjikan ketika berseragam Valencia. Namanya pun masuk ke dalam skuat Jerman untuk Piala Dunia. Paling tidak, kondisi itu bisa memberi gambaran kalau Mustafi adalah bek yang diperhitungkan oleh pelatih professional.
Sementara itu, kedatangan Lucas Paqueta ke AC Milan disambut dengan senyum dan tangan terbuka. Sejarah manis AC Milan dengan pemain asal Brasil menguatkan rasa optimis. Paqueta, yang memang bermain memesona bersama Flamengo menunjukkan potensi yang besar. Di dalam dirinya, AC Milan mendamba sosok protagonista baru.
Harapan untuk Mustafi dan Paqueta sangat tinggi. Namun, seiring waktu, muncul masalah cedera mental yang harus dihadapi AC Milan dan Arsenal. Pangkal masalah keduanya berbeda.
Mustafi adalah sosok bek modern. Dia diharapkan menjadi penerus Per Mertesacker dan pendamping ideal untuk Laurent Koscielny. Seperti biasanya, ekspektasi di sepak bola adalah beban tersendiri bagi siapa saja. Apalagi, setelah pemain asal Jerman itu bergabung, Arsenal sempat melewati 20 laga tidak terkalahkan.
Ketika performanya sempat jatuh, banjir kritikan datang. Sayangnya, Mustafi tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Mentalnya kena. Ditambah beberapa kali cedera panjang, level konsistensinya sudah tidak lagi sama. Ledekan, cacian, dan ancaman di media sosial sukses membuat kepercayaan dirinya ambruk.
Masalah berbeda dihadapi Paqueta. Ketika AC Milan mengalahkan Udinese, Paqueta ada di bangku cadangan dan tidak mendapatkan menit bermain. Selepas laga, dia dibawa ke klinik untuk pemeriksaan. Kondisi fisik dan jantungnya normal. Namun, ditemukan gejala anxiety, stress, dan depression (UOL).
Ada yang memperkirakan kepercayaan dirinya ambruk setelah Gennaro Gattuso dipecat. Paqueta adalah pemain utama bagi Gattuso. Namun, setelah AC Milan dilatih Marco Giampaolo dan Stefano Piolo, pemain berusia 22 tahun itu menjadi penghuni bangku cadangan.
Selain statusnya yang berubah dari pemain utama menjadi pilihan kesekian, Paqueta juga tidak punya teman dekat di Italia. Tidak punya teman sebagai tempat “bersosialisasi”, Paqueta merasa sendirian. Perasaan itu yang membuat depresi muncul.
Bagaimana solusinya?
Saya merasa Arsenal masih berusaha bersabar. Mereka menunggu si pemain berhasil mengembalikan rasa percaya diri. Bangkit dari stres dan depresi tidak selalu bisa dibantu oleh orang kedua. Si pemain harus punya kesadaran dan berjuang. Hasilnya bakal lebih manjur.
Mustafi menyadari masalah itu. “Kami hanya manusia dan tidak bisa mematikan otak kami. Kritikan bakal tertinggal di sana. Sekali kamu membaca kritikan, baik atau buruk, bakal membekas di dalam otak,” kata Mustafi lewat situsweb resmi Arsenal.
“Mereka yang melihat dari luar, hanya akan melihat kesalahan, lalu marah kepadamu. Lalu, kamu lebih grogi karena terus kepikiran untuk tidak membuat kesalahan. Sungguh waktu yang sulit saat itu, untuk mengatasi tekanan. “Ketika kamu memenangi semua tekel dan semua duel di lapangan lalu sebuah kesalahan terjadi, semuanya menjadi rusak. Inilah yang membuat bermain sebagai bek tengah itu sulit,” lanjut bek berusia 27 tahun itu.
Satu hal yang justru saya tangkap adalah dominannya rasa takut membuat kesalahan. Perasaan takut itu terbaca jelas dari pemilihan kata ketika menggambarkan tugas berat bek tengah dan beratnya kritikan dari suporter. Saya rasa, mentalnya sudah kena.
Sebagai pembanding, kamu bisa membaca komentar Virgil van Dijk tentang tekanan sebagai bek tengah dengan price tag tinggi. Dari membaca pernyataannya saja sudah terasa ada kepercayaan diri di sana. Ada keyakinan. Ini kekuatan untuk mengangkat mental bek tengah setelah membuat kesalahan.
“Saya tahu ada karena saya baru saja mengambil langkah besar, pindah dengan nilai transfer tinggi, semua hal pasti akan diamati/dianalisis. Tidak akan ada yang mau melihat sisi positif dari permainanmu. Semuanya mencari sisi negatif, tetapi itulah kenyataannya. Saya punya kekuatan untuk tidak peduli dengan opini orang lain, terutama yang negatif. Saya tahu persis kapan saya sudah tampil baik atau buruk. Saya tahu, tidak akan ada yang membahas penampilan saya secara general,” kata van Dijk dikutip The Guardian.
Dan memang, hingga saat ini, setelah pernah membuat blunder, mental van Dijk tidak goyah. Dia menjadi tonggak besar di skuat Liverpool. Kepercayaan diri yang luar biasa ini menguatkan rekan-rekan di sekitarnya. Bukan masalah takut membuat kesalahan, tetapi paham dengan tanggung jawab setelahnya.
Rasa takut Mustafi tertinggal di dalam otak. Arsenal baru saja merasakannya ketika melawan Chelsea. Satu blunder Mustafi–blunder untuk kesekian juta kali–membuat Arsenal kebobolan. Satu hal yang bikin saya heran, setiap kali Mustafi membuat blunder, beberapa menit setelahnya dia bisa bermain hampir sempurna. Ada yang salah dengan pola pikirnya.
Sementara itu, cedera mental Paqueta bisa sedikit disembuhkan dengan menjauh untuk sementara. Tentu saja menjauh dari AC Milan. Misalnya dengan meminta dipinjamkan kembali ke Brasil. Bermain di lingkungan yang dia kenal, setidaknya, Paqueta kembali memiliki support system. Dia punya orang-orang sebagai tempat “bersosialisasi”.
Saya merasa hanya kembali ke rumah yang bisa menyembuhkan Paqueta. Pemain Amerika Selatan adalah orang-orang romantis, orang-orang yang semakin bahagia hanya ketika dikelilingi keluarga atau teman-temannya. AC Milan punya pengalaman dengan pemain Brasil. Saya yakin, salah satunya adalah mencegah depresi muncul.
Status cedera mental sulit diukur kesembuhannya. Terkadang, pilihan klub sangat terbatas. Mereka diburu waktu. Bisa jadi, di penghujung Januari, AC Milan dan Arsenal akan menjual Mustafi dan Paqueta. Memang terdengar sedih, tetapi dunia sepak bola adalah wadah yang kejam.
BACA JUGA AC Milan Adalah Puisi Paling Sedih di Sejarah Serie A atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.