Bagi mahasiswa perantauan yang baru duduk di semester 2, Malang menjadi kota nyaman sejauh ini. Lalu lintasnya tidak sepadat Jakarta, udaranya sejuk, dekat dengan lokasi wisata, serta akses ke kota metropolitan Surabaya cukup naik kereta dengan harga tiket Rp20.000 saja.
Kota ini semakin cocok dengan saya karena semakin banyak merek-merek franchise Ibu Kota masuk Malang. Saya yang hobinya ngopi, menjual croissant atau tiramisu baru di tiap sudut kota makin betah di sini. Malang benar-benar bisa menjadi pilihan setelah cerita-cerita kriminalitas di Yogyakarta meningkat beberapa waktu belakangan.
Akan tetapi, setiap kota pasti memiliki “concern” yang cukup vital bagi warga lokal maupun pendatangnya, termasuk Malang. Sebagai salah satu penghuni semi-tetap di kota ini, kekurangan Malang hanya pada transportasi malang. Sebelum datang ke Malang, saya pikir ada banyak angkot atau sridanya bus semacam Transjakarta seperti di DKI Jakarta atau Biskita seperti di Bogor.
Bus terintegrasi akan mempermudah mahasiswa
Andai saja ada transportasi umum semacam bus yang menghubungkan beberapa rute terintegrasi dengan kampus-kampus besar di Malang seperti Universitas Brawijaya, Universitas Malang, Universitas Muhammadiyah Malang, hingga UIN Malang pasti akan sangat memudahkan. Khususnya bagi mahasiswa untuk sekadar nongkrong maupun memenuhi kebutuhan bulanan.
Selama ini saya menggunakan ojek online untuk mobilitas. Memang terhitung murah sih, namun dalam satu hari menelan puluhan ribu untuk transportasi saja cukup menyayat kantong. Kalau saja ada transportasi umum, menurut saya Malang akan menjadi kota ternyaman dan bisa jadi pilihan tepat untuk lulusan SMA yang mau merantau dan berkuliah di sini.
Zaujah Inda, [email protected], Kec. Lowokwaru, Kota Malang.
BACA JUGA Keluh Kesah Naik Kereta Api Matarmaja yang Memotivasi Saya untuk Menjadi Orang Kaya dan keluh kesah lagi dari pembaca Mojok di Uneg-uneg.