Antara Solo dan Yogya ada kota kecil yang hampir terlupakan. Kartasura namanya, kota cikal bakal lahirnya Solo yang diawali dari pecahnya Kerajaan Mataram karena perang saudara. Di wilayah yang terjepit dua nama besar ini sesungguhnya tersimpan beragam makanan enak.
Pertama adalah nasi liwet. Makanan ini disajikan pedagang yang umumnya mangkal saban dini hari hingga subuh. Wujudnya berupa nasi gurih disiram sayur labu siam pedas, ditambah dengan suwiran lembut ayam kampung. Bagi yang suka, bisa meminta tambahan tulang ayam kepada penjualnya.
Nasi liwet dimakan dengan cara dipincuk alias dibungkus dengan daun pisang. Pagi-pagi menyantap perpaduan pedas, manis, dan gurih ini menjadi lebih lengkap dengan pendamping the nasgitel alias teh tubruk panas, legi (manis), dan kentel (kental). Sedaaap.
Di perempatan jalan Kartasura—Solo, penjual nasi liwet berjejer. Makan di tempat ini terkadang mengingatkan saya pada masa-masa Reformasi. Persis di perempatan ini, toko-toko terbakar dan dijarah, asap di mana-mana, dan sejumlah bangunan memasang tulisan “dudu wong cino” (bukan orang Tionghoa) atau “pribumi asli” supaya bangunan itu tidak menjadi sasaran kerusuhan.
Sedih kalau ingat itu. Zaman lagi sulit-sulitnya, makan rasanya tidak seenak saat ini. Itu masa ketika saya pernah makan dengan “lauk” penyedap rasa saja. Atau makan hanya dengan kerupuk dan kecap, saking parahnya krisis. Bangunan yang terbakar waktu itu kini telah direnovasi, sedangkan toko peninggalan masa itu hanya tersisa dua, lainnya telah berganti nama. Sebuah bioskop tak jauh dari lokasi nasi liwet bahkan sudah menjadi counter hape.
Masih di deretan perempatan Kartasura, menu lain yang juga muncul hanya pagi hari adalah soto. Kuahnya bening, variannya beragam. Dari soto daging, soto ayam, soto babat, soto kikil, soto uritan, dan sebagainya. Masing-masing soto punya cirinya sendiri.
Sebagaimana soto di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang dicari-cari selain sotonya sendiri adalah pendamping si soto. Kamu bisa memilih sate ayam, sate telur, tahu petis, tahu goreng, tahu isi, perkedel, risoles. Dan jangan lupa kerupuknya.
Tapi, apa pun makannya, apa pun kudapan yang diembat, minumnya cuma dua jenis: teh atau jeruk. Ya adanya cuma itu. walau di beberapa warung tertentu ada yang menyediakan wedang asem atau beras kencur.
Untuk makan siang di kota ini, menu favorit pelancong adalah bebek goreng. Kalau di pinggir jalan Anda dapati gambar bebek berjejer-jejer, artinya sama dengan selamat datang di Kartasura. Bebek Goreng H. Slamet yang terkenal itu termasuk kuliner yang berasal dari kota ini.
Bebeknya mungkin biasa saja. Yang luar biasa adalah sambalnya. Sambal korek yang dibuat dari ulekan cabai rawit, garam, bawang putih, disiram dengan minyak panas bekas menggoreng bebek.
Bebek goreng sambal korek biasa dimakan dengan lalapan daun pepaya. Fungsinya mirip acar bawang pada hidangan kambing, yakni mengimbangi kenaikan kolesterol. Ada cara asyik melahap daun pepaya bagi yang nggak doyan. Sambal dan potongan daging bebek dibungkus daun pepaya kemudian digulung seperti sushi. Bisa langsung dimakan atau ditambah nasi panas. Dijamin enak. Pahitnya daun pepaya tersamarkan.
Habis melahap bebek, jangan lupakan hidangan penutup, biar kayak priayi. Dessert ala Kartasura adalah pis kopyor yang berbahan roti tawar dan kopyor. Di bulan puasa, menu ini adalah andalan lain selain kolak, es buah, dan es degan.
Yang menarik, kopyor adalah bahan makanan lawas yang sebenarnya buah “cacat”. Kopyor adalah daging kelapa yang hancur karena gagal menempel pada batok, sehingga tidak bisa menjadi kelapa muda pada umumnya. Dalam ajaran Jawa ataupun Islam, memang diajarkan bahwa semua hal bermanfaat, termasuk tumbuhan cacat ini.
Pis atau kependekan dari kata pipis berarti ‘lembut’. Dinamai demikian karena begitu lembutnya si kopyor. Pis kopyor berisi pisang, kelapa, dan roti tawar dalam kuah santan yang dikukus dengan daun pisang. Daun pisang kemudian membekas pada pis kopyor, memberi tambahan aroma dan rasa. Menu ini bisa dimakan panas atau dingin layaknya shower hotel. Sama-sama enak, sama-sama manis.