Sebelumnya mohon maaf jika judulnya terkesan seperti makalah mahasiswa yang dibuat mepet beberapa jam sebelum deadline. Apa yang tertulis di sini hanyalah sekelebat pemikiran akibat keresahan melihat keadaan tempat tinggal saya, Kabupaten Bantul. Lha bagaimana tidak resah, bupati terpilih Bantul berencana membuat mall dan hotel. Alasannya demi kepentingan wisata yang konon katanya akan berimbas pada bertambahnya pendapatan asli daerah. Padahal alasan sebenarnya saya yakin simpel, yakni agar tak kalah gengsi dengan Kota Jogja dan Kabupaten Sleman yang sudah berjejal mall dan hotel, pun juga untuk menyaingi Kabupaten Kulon Progo yang akan punya bandara baru.
Tapi tenang, keresahan saya bukan karena mall dan hotel ini akan semakin membuat jalan Jogja macet, mematikan pedagang kecil atau alasan babibu lain, tetapi lebih pada ketidakpekaan bupati melihat ancaman nyata yang sudah terjadi di Bantul.
Entah disadari atau tidak, tetapi Bantul terancam oleh Mie Ayam Wonogiri yang semakin hari semakin banyak saja. Kalau anda tidak percaya coba saja anda susuri jalan-jalan utama di Bantul, paling tidak dalam jarak 10 km Anda akan melihat sedikitnya 5 warung mie ayam, bahkan lebih. Dari kesemuanya, bisa dipastikan bahwa satu diantaranya pasti ada yang memakai embel-embel “Asli Wonogiri”.
Menurut pengamatan saya selama 5 tahun terakhir, bisnis Mie Ayam ini jumlahnya selalu naik. Kalaupun ada warung mie ayam yang tak laku, maka akan selalu ada warung mie ayam baru yang muncul. Ibaratnya mati satu tumbuh seribu. Lalu, demi mengurangi kerugian akibat permodalan mandiri, tren baru yang muncul akhir-akhir ini adalah menggandeng warung mie ayam yang sudah eksis. Itung-itung numpang nama yang sudah tenar. Nah warung yang digandeng ini hampir kesemuanya adalah “Mie Ayam Asli Wonogiri”.
Fenomena Mie Ayam Wonogiri inilah yang secara tak langsung membakar semangat kedaerahan saya. Masa iya, daerah saya tercinta ini dijajah mie ayam dari provinsi tetangga. Padahal di Bantul sendiri punya beberapa mie khas yang tidak bisa dianggap remeh. Bukan hanya karena rasanya yang maknyus dan harganya yang miring, namun juga karena masing-masing mie membawa filosofi dan nilai hidup yang dianut masyarakat Bantul.
Mie yang pertama adalah Mie Lethek. Lethek adalah kata dalam bahasa Jawa untuk menggambarkan sesuatu yang jelek, kotor, dekil. Mie ini terbuat dari tepung tapioka dan gaplek, keduanya berasal dari singkong. Di Bantul, salah satu pabriknya yang terkenal bisa ditemui di Srandakan. Tidak menggunakan mesin tetapi dengan tenaga sapi. Penyajiannya bisa digoreng maupun direbus.
Warung yang menjual olahan mie ini memang belum banyak, tetapi njenengan bisa membeli mie mentahnya di pasar-pasar manapun di seluruh Bantul. Makna filosofis yang dikandung mie ini seirama dengan don’t jugde the book by it’s cover. Bahwa menilai sesuatu jangan dari penampakan maupun perawakannya, tetapi dari isi, substansi dan potensi yang ada di dalamnya.
Meski dekil, tapi rasa mie ini gokil. Mengolahnya pun tak bisa sembarangan, karena kalau caranya salah, mie akan menggumpal. Begitu pula cara untuk memandang orang Bantul. Walau muka dekil akibat polusi setelah setiap hari membelah kota Jogja, kami tetap mempunyai jiwa profesional, ulet, dan pekerja keras. Ditambah dengan racikan dan pengembangan sumber daya manusia yang tepat, orang-orang Bantul, terutama orang mudanya, punya potensi besar untuk mengisi seluruh slot 10 pemuda yang dibutuhkan Soekarno untuk mengguncang dunia (eh, ralat, maksudnya 9 slot ding, soalnya yang 1 slot sudah pasti diisi oleh Agus Mulyadi).
Mie khas Bantul selanjutnya adalah mie favorit saya ketika masih SD dulu, yakni Mie Pentil. Jangan jorok dulu, pentil yang dimaksud disini adalah karet yang biasanya ada di ban. Menggunakan kata “pentil” karena memang mie ini kenyal dan cukup elastis layaknya karet. Harganya super terjangkau, dari kisaran seribuan, dan kalau beruntung ada pula yang menjualnya seharga lima ratusan sebungkus.
Mie ini lebih banyak ditemui di pasar tradisional. Cocok buat sarapan. Penyajiannya sederhana, biasanya digoreng dan ditaburi bawang goreng dan seledri serta ditambah sambal. Maknyus!
Bahan dasarnya masih sama, tepung tapioka. Mie ini sendiri membawa pesan “kesederhanan adalah sebuah kenikmatan yang kadang dilupakan”. Hal ini terlihat jelas dari penyajiannya yang tidak aneh-aneh, dan malah lebih nikmat jika beralaskan daun pisang. Inilah ciri khas orang Bantul, berpenampilan sederhana. Namun dibalik kesederhanaan itu terpancar rasa nyaman, aman, dan tenteram. Nilai yang juga terkandung dari mie ini adalah hemat. Murahnya harga mengajari kita bahwa untuk urusan perut gunakanlah uang seperlunya. Sisanya gunakan demi membangun masa depan, baik masa depan bagi diri sendiri maupun masa depan peradaban.
Ketiga, ada Mie Dhes alias Mie Bangkok. Mie ini dikenal di daerah Kecamatan Pundong. Mie Dhes juga bisa ditemui di kecamatan sekitarnya seperti Jetis dan Bambanglipuro. Disebut Mie Dhes karena memang penyajiannya pasti pedhes, dan di sebut Bangkok karena bentuknya besar-besar (entah kenapa Bangkok selalu diidentikkan dengan sesuatu yang besar, super, dsb. Ada yang tahu?).
Mie Dhes ini unik, terbuat dari pati ketela, bentuknya tidak bundar, tetapi persegi alias kotak kotak. Cara membuatnya juga tidak digiling, tetapi diiris-iris. Kenyalnya nagih, sedikit melebihi mie pentil dan lebih keras, biasa disajikan dengan digoreng maupun direbus, dan rasanya super maknyuuuuus. Apalagi dalam proses memasaknya ditambah ebi, menambah cita rasa yang tak bisa ditemui pada mie lain.
Semangat yang dibawa mie ini adalah kreativitas. Bisa jadi penciptaannya dulu dikarenakan orang-orang Bantul ngiler terhadap mie yang terbuat dari tepung terigu. Karena terigu tidak bisa dihasilkan disini, maka tiada rotan akarpun jadi, tiada terigu, ketela pun jadi solusi. Maka, terciptalah mie yang tidak hanya bahannya yang anti mainstream, tetapi juga bentuknya. Maka wajar kalau anda banyak menemui orang Bantul yang punya jiwa kreatif. Mungkin ini pula yang melandasi kenapa Institut Seni Indonesia (ISI) dibangun di Bantul.
Mie yang selanjutnya mungkin tidak terlalu khas, tetapi saya kira layak dimasukkan disini karena membawa filosofi hidup orang Bantul. Mie yang saya maksud tiada lain dan tiada bukan adalah Bakmi Jawa. Mie yang sering eksis di malam hari ini memang bisa ditemui hampir di seluruh sudut wilayah provinsi Yogyakarta.
Bakmi Jawa adalah raja filosofisnya mie di Jogja ini. Ia adalah sebuah perlambang kesabaran. Suatu nilai yang paling susah dipraktikkan. Tetapi bagi orang Jogja, termasuk Bantul, nilai ini sudah tertanam dalam.
Jika makan di warung Bakmi Jawa yang benar-benar Bakmi Jawa, maka akan susah untuk langsung makan hanya dengan menunggu 5 menit setelah memesan. Kalau lagi sepi paling cepat ya 10 menit. Tetapi kalau sudah antre, apalagi di warung yang sudah terkenal macam Mbah Mo, anda bisa nunggu bahkan sampai 2 jam baru bisa makan. Jelas butuh kesabaran tingkat tinggi. Maka dari itu disarankan ketika hendak makan Bakmi Jawa, Anda membawa teman. Sehingga waktu menunggu bisa digunakan untuk ngobrol, quality time kalau kata anak gaul jaman sekarang. Apalagi kalau anda jomblo dan kebetulan tak ada teman yang bisa diajak, tingkat ujian kesabarannya jelas meningkat.
Berkaca pada kajian filosofis tersebut, maka wajar rasanya jika Bantul pantas menyandang predikat sebagai Kota Mie (Oke, Bantul memang Kabupaten, bukan Kota, tapi mbok ya please, “Kota Mie” jauh lebih enak didengar ketimbang “Kabupaten Mie”).
Ini tidak hanya sebagai salah satu upaya pelestarian warisan nenek moyang, tetapi juga sebagai daya tarik wisata yang sekaligus menjadi alat perlawanan hegemoni Mie Ayam Wonogiri. Kalau tidak dilawan, masyarakat luar yang datang ke Bantul bisa bingung, karena setiap melewati sudut jalan utama, yang terlihat malah spanduk “Mie Ayam Asli Wonogiri”. Ini bisa menimbulkan persepsi bahwa kabupaten yang saya tempati ini bukan Bantul tetapi Wonogiri.
Belum lagi kalau Mie Ayam Wonogiri itu sudah begitu mendarah daging di benak masyarakat, maka ketika ada tamu dari Bandung bertanya mie mana yang enak di Bantul, bisa jadi malah akan dijawab “Oh coba saja Mie Ayam Wonogiri Pak Bejo!”
Karena itu saya mohon dengan sangat, jika pak bupati membaca ini, majukanlah mereka para pelaku UKM yang bertumpu pada mie-mie lokal tersebut. Akan tetapi jika memang mentok mie ayam masih menjadi primadona dan masih susah untuk dikudeta, maka setidaknya, tolong buat branding Mie Ayam Bantul. Terserah bagaimana resepnya, yang jelas jangan Wonogiri.
Impian saya, entah mungkin beberapa tahun lagi, ketika saya piknik ke Waduk Gajah Mungkur, ingin sekali melihat ada spanduk “Mie Ayam Asli mBantul” sambal tersenyum sinis dan batin, “Akhirnya, holy land Mie Ayam di Indonesia bisa ditaklukkan!”
Panjang Umur Perjuangan.