Malam minggu yang lalu, saya menikmati film Joker dan duduk di tengah dua pasangan. Sebenarnya saya tidak ingin duduk disitu, bahkan tidak ingin nonton malam-malam. Namun keadaan memaksa saya untuk menerima nasib dan menonton film tersebut dengan keadaan seperti itu. Film yang akan diputar memang bukan film romansa tapi jelas itu tidak akan menutup keinginan untuk para pasangan itu untuk ‘mencuri’ kesempatan dalam kesempitan. Yah, tipikal pacaran di bioskoplah.
Sudah dari 2 Oktober film ini tayang di Indonesia dan sepertinya sudah banyak yang mengatakan kalau film ini luar biasa gelap. Film yang benar-benar mindblowing sampai untuk beberapa titik, penonton tidak tega dan sama-sama merasakan penderitaan dan kesengsaraan tiada henti yang dialami Arthur Fleck. Sampai akhirnya ‘terbebas’ dari segalanya dan menjadi The Clown Prince of Crime-nya Kota Gotham, Joker.
Film ini sangkin hebatnya, sampai membuat dua pasangan tadi itu hanya melongo menatap layar. Seakan ikut terhanyut dalam sebuah kisah fiksi sampai-sampai melupakan ‘sesuatu’ yang harus dilakukan seperti biasanya. Saya sendiri benar-benar tenggelam sampai harus mencuci muka setelahnya agar kepala dan pikiran saya sadar dan segar kembali.
Satu malam setelahnya, sesuatu yang mindblowing kembali saya saksikan. Bukan dari sebuah film, melainkan dari sebuah pertandingan sepak bola. Dalam laga penutup Liga Inggris minggu ini, Manchester United secara antiklimaks dikalahkan oleh Newcastle United.
Tetangga berisik Manchester United, Manchester City kalah ketika menjamu Wolverhampton Wanderers setengah jam sebelum mereka bertanding pada Minggu malam (6/10). Mengingat sang tetangga yang biasanya tampil ugal-ugalan namun malah kalah, United harusnya bisa mendapatkan semacam suntikan semangat untuk menang. Paling tidak ada modal untuk ngecengin mereka barang sejenak untuk melupakan kekacauan yang terjadi di klub sendiri.
Lagi pula yang mereka hadapi hanya Newcastle United. Bukan Wolves yang memang terkenal dengan keahliannya menyulitkan klub-klub besar. Newcastle cuma klub papan bawah yang kini arahnya sudah tidak jelas selepas ditinggal pelatih sebelumnya, Rafael Benitez. Mike Ashley, sang pemilik kontroversial yang saban hari dikritik tanpa putus oleh para fans, mendatangkan Steve Bruce sebagai penggantinya.
Pergantian tersebut sungguh tidak sepadan mengingat sepak terjang Benitez sebagai seorang pelatih dan usaha mati-matiannya meramu skuad seadanya agar tetap bertahan di Liga Inggris walau sempat degradasi semusim. Ketika Bruce sudah sepakat akan menangani Newcastle, semua rumah judi di Inggris menjagokan dia sebagai manajer pertama yang akan dipecat pada musim ini. Taruhan masuk akal mengingat sebelum bersua United, Newcastle masih berkubang di zona degradasi dan mengumpulkan 5 poin dari 7 kali bermain. Belum lagi kalah di Carabaou Cup oleh Leicester City.
Dengan momentum kekalahan City dan performa jaminan degradasi oleh Newcastle United, Manchester United seharusnya bisa memenangkan pertandingan ini. Diatas kertas saya yakin betul, minimal Daniel James bisa mengacak-acak pertahanan mereka. Pemain muda yang menurut saya adalah pemain terbaik United sekarang pasti bisa mencetak gol atau setidaknya memenangkan sebuah pinalti. Tinggal suruh entah siapalah untuk menendangnya agar golpun terjadi.
Yang terjadi malah sungguh diluar dugaan. Atau malah sudah sesuai dugaan untuk beberapa ‘oknum’. Tendangan jarak jauh Matthew Longstaff menghujam gawang David De Gea pada menit ke 72 untuk membuat United pulang dengan tangan hampa dari St. James Park.
Kekalahan tersebut menjadi kekalahan kesekian kalinya kala bertandang ke markas lawan. Setelah kemenangan fantastis melawan PSG di babak 16 besar Liga Champions musim lalu, United urung menang lagi kala bertandang. Jika digabungkan dengan hasil-hasil setelah pertandingan itu yang kebetulan juga menjadi momentum naiknya Ole Gunnar Solskjaer sebagai manajer tetap tim, maka yang ada hanya nelangsa. Per 28 Maret, United hanya menang 4 kali dari 16 pertandingan Liga Inggris. Sisanya imbang 5 kali dan kalah 7 kali.
Padahal sang manajer yang digadang-gadang penerus Sir Alex Feguson itu sudah sempat mengembalikan gairah dan semangat publik Manchester merah. Pembelian pemain-pemain seperti Harry Maguire dan Aaron Wan-Bissaka dan kemenangan fantastis 4-0 atas Chelsea di pekan pertama Liga Inggris melambungkan asa para penggemar sampai ke langit ketujuh. Bukan hanya narasi akan menjalani musim yang baik, tapi mereka mulai berani untuk bermimpi menjadi kampiun liga Mei tahun depan. Atau sekedar piala-piala receh untuk menandai rezim sang Baby-Faced Assassin.
Namun semuanya sudah seperti ilusi. Hilang begitu saja hanya di pekan kedelapan. Jangankan juara, untuk merangkak ke empat besar saja mungkin susah. Dan poin United kini lebih dekat ke jurang degradasi (2 poin) daripada ke pemuncak klasemen (15 poin). Belum lagi penampilan yang sama busuknya di Liga Eropa dan susah payah menang lawan Rochdale, tim kasta ketiga di Carabaou Cup. Paripurna sudah nelangsa Manchester United.
Pada titik ini, saya jadi segan untuk menertawai United. Biarpun pada titik tertentu dan lewat pembenaran yang dibenar-benarkan, agak sedikit layak memang untuk ditertawakan balik karena arogansinya di masa lalu. Bahkan sebelum kekalahan lawan Newcastle inipun masih banyak yang jumawa United akan bangkit. Begitupun, saya tetap berbelas kasihan.
Derita mereka sudah cukup banyak. Kehilangan pemain kunci dari depan sampai belakang. Ole yang tidak punya banyak pilihan pemain dan strategi. Pemain yang semakin kesini semakin miskin passion bermain.
Naasnya, mereka tidak punya banyak pilihan untuk memperbaiki situasi. Jika pilihan yang paling minim resiko adalah menambah amunis berupa pemain-pemain yang lebih baik lagi, maka harus menunggu sampai Januari nanti. Yang mana tidak ada jaminan bahwa penampilan United akan membaik sampai tahun depan.
Jika yang dipilih adalah memecat Ole, hasilnya bisa seperti pisau bermata dua. Jika sang pelatih yang ditunjuk bisa mengangkat performa klub, maka hal tersebut justu bagus. Namun bagaimana dengan kemungkinan kegagalan? Mengganti pelatih berarti mengganti filosofi dan cara bermain dan hal itu tidak bisa dilakukan dalam satu malam. Terlebih lagi bukan dengan pemain yang ideal dengan pakem pelatih tersebut.
Dan pilihan terakhir adalah membiarkan semuanya terjadi. Entah itu kekalahan tandang yang tidak akan berhenti. Sulit menang dihadapan publik sendiri. Menjadi lumbung gol dan tambang poin dari tim lawan. Sampai akhirnya pada musim panas tahun depan untuk ‘membersihkan’ total isi dari klub bernama Manchester United ini. Dari mulai pemain, pelatih, staff atau bahkan sampai orang dalam klub. Untuk memulai kembali dari nol dan sesuai dengan The United Way.
Semua hal tersebut sudah cukup para menggebuki impian United dan fans untuk memiliki musim yang gemilang. Mereka bak Arthur Fleck dalam film Joker yang sedang terbaring kesakitan di sebuah gang. Karena baru saja dikeroyok sekelompok bocah ingusan, yang sebelumnya sukses mempermainkannya.
Tidak ada lagi ilusi ingin juara ini-itu. Kenyataan yang ada hanya Manchester United yang menderita. Dan penderitannya belum kelihatan kapan akhirnya. Mungkin ini hanya sementara. Atau mungkin ini adalah waktunya United merasakan pedihnya menjadi klub medioker yang menjadi bahan tertawaan tiap akhir pekan karena performanya yang sungguh menggelikan. Ya, kini Manchester United adalah ‘badut’.
Akhir kata, mengutip bio Twitter Wira Nagara sebagai pesan untuk fans Manchester United, ‘Berbiasalah, berbahagialah’. Boleh juga menyetel lagu tema dari Frank Sinatra yang bertajuk That’s Life sebagai pelengkap. Semoga kuat menjalani hari-hari menjadi fans United, sobat. (*)
BACA JUGA Liverpool Jangan Jumawa: Segerakan Meraih Gelar Liga Inggris! atau tulisan Indra Sinaga lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.