Bokep yang termediasi sudah laku dari sejak zaman batu sampai zaman terbaru.
Satu dugaan yang cukup sulit dibantah tentang pornografi (selanjutnya ditulis bokep) adalah usianya yang hampir sama tuanya dengan sejarah kebudayaan umat manusia itu sendiri.
Nggak usah pura-pura terkejut gitu deh. Hambok, biasa aja.
Dalam jurnal Pornografi dalam Perspektif Sejarah (2006) karya Ajat Sudrajat—misalnya, disebutkan bahwa ekspresi sensual begituan bisa ditemukan dalam Kebudayaan Romawi di Pompei sekitar abad 79 M.
Ya betul, kebudayaan Romawi tidak hanya perkara seni adiluhung. Pada masanya, karya-karya klasik seorang penyair dari Roma seperti Ovid sukses melahirkan seni merayu sampai seni membangkitkan birahi.
Hendri Yulius, penulis buku C*bul (2019) bahkan meyakini bahwa ekspresi sensual semacam itu sudah muncul jauh sebelum era Papirus Mesir pada 1150 SM dengan ukiran yang cukup sukses bisa bikin orang terangsang.
Meski barangkali kamu tak akan sanggup membayangkan, bagaimana seorang manusia bisa merasakan dorongan seksual ketika membaca atau melihat gambar di ukiran batu. Hm, benar-benar masa sulit untuk orang-orang pada masa itu.
“Yang terjadi (di sini) adalah bagaimana manusia mengekspresikan hasrat seksualitasnya ini selalu dimediasi. Nah, ini kata kuncinya. Dimediasi oleh piranti budaya tertentu. Bagaimana masyarakat kuno mengekspresikan seksualitas lewat gambar, lukisan-lukisan goa, di batu, dan seterusnya,” terang Hendri Yulius.
Satu hal yang patut dicatat, masih menurut Hendri Yulius, apa yang dianggap porno pada suatu masa tak bisa dipakai untuk menghukumi status porno pada masa yang lain.
Jadi apa yang dilakukan Ovid dan seniman-seniman pada masanya, bukanlah sesuatu yang cabul, melainkan sebuah karya seni. Karya seni yang mempertontonkan perilaku paling alamiah dari makhluk seksual (baca: kawin).
Namun, karena melacak sejarah bokep sampai era Felix dan Obelix itu kelewat jauh, plus juga butuh epigraf andal, maka kita bisa mengerucutkannya saja pada satu titik yang dianggap sebagai permulaan bokep era modern, yakni ketika alat cetak sudah ditemukan manusia.
Dalam sejarah bokep, penemuan mesin cetak adalah satu titik di mana urusan lendir ini bisa dikomodifikasi dalam bentuk citra (baik tulis maupun gambar) dengan terstruktur, sistematis, dan masif.
Oleh sebab itu, produser dan peraih untung dari industri bokep masa kini rasanya perlu memberi rasa terima kasih tertinggi kepada Johannes Gutenber, seorang pandai besi dari Jerman yang dengan cukup selo menemukan mesin cetak pada 1450-an.
Karena jasanya, ledakan informasi terjadi di Eropa terjadi. Hal ini juga memicu kemunculan era Renaisans di Eropa. Pun dengan kelahiran ide-ide untuk menyebarluaskan kisah-kisah bokep dalam bentuk buku. Artinya, tanpa penemuan mesin cetak, ide komodifikasi bokep mustahil bisa terjadi.
Meski mesin cetak sudah ditemukan sejak abad ke-15, komodifikasi bokep pertama (yang tercatat) muncul baru pada abad ke-18. Buku-buku yang mengisahkan hal-hal erotis seperti Fanny Hill dan Memoirs of a Woman of Pleasure sudah diproduksi dengan serius di Paris.
Akan tetapi, ledakan paling besar dari industri pornografi yang mendekati seperti masa sekarang baru muncul pada pertengahan abad ke-20, kira-kira tahun 1950-an.
Donald A. Downs, dalam jurnal Pornography (1993-1994) menandai era ini dengan kemunculan majalah Playboy di Amerika. Majalah ini lah yang kali pertama berani (di Amerika) menampilkan gambar sensual di atas kertas dengan kualitas yang bisa bikin orang terangsang.
Pada saat yang sama, di Indonesia, tepatnya pada tahun 1954, Pemerintah memberedel beberapa buku bokep dengan judul-judul Rahasia Sorga Dunia, Sundal Terhormat, Gadis Lobang Kubur, Wanita Sepanjang Zaman, Dacameron I dan II, dan Usia Dewasa (Sudrajat: 2006).
Inilah era komodifikasi bokep di Indonesia dalam bentuk teks pertama. Cukup ketinggalan sekitar dua abad kalau merujuk pada sejarah bokep dalam bentuk buku di Perancis.
Namun, sebagai bangsa yang nggak mau ketinggalan dalam urusan bokep, Indonesia “sukses” mengejar ketinggalan ini pada tahun 1984.
Ditandai dengan terbitnya kalender Happy New Year 1984 Sexindo. Sebuah kalender yang berani memuat foto-foto manusia telanjang. Mengingat era itu masih era Orde Baru, urat takut pihak yang bikin kalender itu memang kelihatannya sudah benar-benar putus.
Tepat pada 1980-an, majalah dan kalender model begini pun ini harus berbagi ceruk pasar karena muncul kompetitor yang mengusung teknologi baru dalam bentuk video cassete recorder (VCRs).
Perubahan media dalam mengakses bokep inilah yang kemudian mengubah kultur penikmat bokep. Setidaknya, menurut Dr. Budi Irawanto, peneliti dan pengajar di Media and Cultural Studies UGM, perubahan ini juga mempercepat persebaran konten bokep ke masyarakat.
“Kemampuan reproduksinya (konten-konten bokep) itu jauh lebih mudah. Kemampuan untuk diarsip juga lebih mudah. Kemudian mudah dimodifikasi, diedit, disunting, dan seterusnya,” kata Budi Irawanto.
Maka wajar kemudian Pemerintah cukup kewalahan membendung persebaran kontan bokep ini. Yang mana semakin berkembangnya teknologi, persebaran dan kualitasnya pun semakin ngidap-ngidapi.
Kita runut saja pada data semester awal tahun 1984/1985. Masa di mana film masih diproduksi secara analog. Badan Sensor Film Indonesia telah menyensor 60-an film yang diduga menampilkan adegan porno. Dan sekali lagi, itu baru yang tercatat pemerintah lho, belum yang diedarkan di bawah meja.
Meski Pemerintah sudah galak begitu, ledakan film bokep di Indonesia tetap menggila sejak 1990-an dan semakin masif sejak ditemukan teknologi internet jelang abad ke-21.
Hendri Yulius pun mengamini bahwa perubahan media bokep ini pada dasarnya hanya terjadi pada kulitnya saja, secara substansi sama saja sejak zaman dulu. Meski perubahan media ini juga memperluas cakupan konsumen konten-konten bokep.
“Dari mesin cetak kemudian—kita tahu kan—ada mesin teknologi lagi, digital. Bahkan sebelum digital kan ada yang namanya VHS, lasser disc, VCD, DVD, sampai sekarang akhirnya sosial media,” tuturnya.
Pada era sekarang, Hendri Yulius bahkan menyasar pada perubahan konsumsi yang terjadi. Jika dulu, orang cenderung pasif mengonsumsi konten bokep (entah dalam bentuk buku atau audio-visual), saat ini orang bisa aktif menjadi produsen konten bokep dalam satu waktu.
Hanya saja Hendri Yulius masih ragu apakah hal semacam itu masuk pada kategori bokep, selayaknya industri bokep profesional.
“Kayak aplikasi perkencanan misalnya, mereka mengirim foto semi-telanjang atau foto telanjang. Nah, apakah itu bisa dikategorikan sebagai bentuk pornografi? Nah, ini juga kan yang rancu,” kata Hendri.
Sedangkan, Budi Irawanto berpendapat bahwa jika masuk pada kategori “film bokep” maka sudah pasti ada unsur pra-produksi yang digarap serius.
“Kalau kita ngomongin film, itu akting dan ada proses editing. Ada proses dramatisasi,” kata Budi Irawanto.
“Nah, kadang kalau ngomongin konteks Indonesia, ini kadang campur baur. Kadangkala di Indonesia itu menyebut itu film porno. (Padahal) sebenarnya rekaman pribadi yang mungkin dikategorikan home-video gitu. Artinya itu amatir ya. Orang yang main apa direkam. Nggak kayak di Jepang atau Amerika ya, yang mereka profesional. Mereka apa, lighting diatur, segala macam,” lanjutnya.
Artinya, kebanyakan yang terjadi di Indonesia itu tidak bisa dikategorikan pada “film bokep” jika hanya berasal dari rekaman personal yang tidak sengaja tersebar.
“Meskipun bisa aja di rekaman video (yang di Indonesia) itu sama-sama artis, tapi kan saat (direkam) ia tidak sedang berakting. Tidak sedang menunjukkan seni peran,” lanjut Budi Irawanto.
Soal alasan utama kenapa konten semacam ini tetap laku tak lekang oleh zaman dan perubahan media, Budi Irawanto menerangkan sesuatu yang cukup mengejutkan.
“Dalam pornografi itu ada proses yang disebut dengan transgresi.”
Transgresi? Heh? Gimana itu?
“Transgretion itu kan artinya menerabas standar ukuran-ukuran kelaziman,” ucapnya.
Hm. Istilah yang sangat menarik.
“Misalnya di pornografi genre insest ada juga yang begitu. Anak ke ibu, bapak ke anak. Itu kan fantasi yang nggak mungkin. (Kalau dilakukan di dunia nyata) norma akan mengecam, secara hukum juga tidak memungkinkan,” tambahnya.
Artinya, selama fantasi seperti itu masih laku bisa ditawarkan, maka industri bokep pun bakal terus tumbuh subur karena lebih banyak manusia yang hasratnya jauh melampaui kemampuan finansial atau sosialnya.
Howalah, jadi inilah yang bikin bokep terus laku sejak era “The Flintstones” sampai era VPN.
[Sassy_Social_Share]