MOJOK.CO – 16 Besar Euro 2020 | Inggris vs Jerman | Menilik perhitungan primbon dan weton, Tiga Singa bakal terkam Panser. Kepala 2 buntut 1, kakek memancing di empang.
Moddie: “Sepatu putih yang menjadi penentu kemenangan Inggris.”
Duel 2 tim bertajuk David vs Goliath tersaji di Wembley malam ini (waktu Indonesia). Ya, David diwakili oleh Inggris, sedangkan Goliath bersemayam dalam diri Jerman. Saya mengatakan demikian karena melihat capaian keduanya di Euro.
Jerman pernah meraih juara sebanyak tiga kali (1972, 1980, dan 1996). Sedangkan Inggris, jangankan juara, pol mentok hanya bisa sampai di semifinal pada 1996. Dan lawan yang menggagalkan Inggris untuk melaju ke final saat itu adalah Jerman.
Sebenarnya, sih, bukan Jerman yang bikin gagal. Akan tetapi, si Southgate –pelatih Inggris saat ini, yang tidak mampu menceploskan bola ke gawang dalam babak adu penalti. Sudah begitu kegagalan tersebut terjadi di Wembley, yang kebetulan menjadi tempat pertemuan kali ini.
Lalu, apakah Inggris bisa membalas kekalahan tersebut?
Jika mengacu fakta di 4 pertandingan sebelumnya, Inggris kemungkinan menang. Ceko, Denmark, Spanyol, dan Swiss lolos ke babak 8 besar. Selain karena kemenangan angka, warna putih ditengarai sebagai warna keberuntungan pada hajatan Euro 2020. Dan kebetulan, warna kebesaran seragam Inggris adalah putih.
Secara primbon, memang warna putih adalah warna keberuntungan. Terlebih permainan tersebut dilakukan pada Selasa selepas pukul 12 siang.
Masalahnya, warna putih tidak melulu menjadi yang dominan. Ada warna hitam. Dan kebetulan, warna tersebut yang nanti dikenakan oleh timnas Jerman. Jadi, sebenarnya unsur putih dan hitam yang bisa membawa hoki bagi kedua tim.
Kalo sudah begitu, trus siapa yang lebih beruntung? Maka, mari kita cek sepatu yang dikenakan beberapa pemain baik di Inggris maupun Jerman. Saya hanya mengambil sampel saja, ya.
Di Inggris, beberapa pemain yang menggunakan sepatu dengan warna hitam dan putih. Di antaranya, Raheem Sterling, Jude Bellingham, Jordan Pickford, hingga Kyle Walker. Sedangkan di Jerman, hanya ada dua pemain yaitu Mats Hummels dan Toni Kross.
Dari sepatu, kita berlanjut ke hari. Kebetulan, ini hari Selasa Legi. Jika menilik kelima pemain tersebut, tidak ada yang lahir pada Selasa. Namun demikian, ada tiga pemain, dan semuanya Inggris yaitu Raheem Sterling, Jude Bellingham, dan Kyle Walker yang lahir pada weton legi.
Jika pertandingan selesai dalam waktu 2×45 menit, Inggris yang menang dan star of the match akan jatuh pada Raheem Sterling. Namun, jika berlanjut ke babak perpanjangan waktu, dan bahkan hingga adu penalti, saya masih tetap menjagokan Inggris. Kenapa?
Ya karena dapat jatahnya nulis Inggris. Dong ora e….
Apet: “Inggris itu penuh omong kosong.”
Football’s coming home adalah lelucon paling garing sepanjang Euro 2020. Slogan penuh arogansi dari komentator, jurnalis, maupun suporter Inggris yang dengan congkaknya ketika memandang tim lawan merupakan candaan yang menyebalkan.
Membesar-besarkan kualitas diri sekaligus merendahkan lawan seperti jadi tabiat yang diwajarkan dari sepak bola Inggris. Padahal, jika menilik prestasi dalam beberapa dekade ke belakang, timnas Inggris harusnya mawas diri bahwa tim mereka hanyalah kurcaci di pentas internasional.
Secara umum, dari sekian tim besar yang berhasil lolos ke babak final Euro 2020, bagi saya timnas Inggris adalah sebuah lelucon. Secara kualitas, konsistensi dan juga pengalaman, timnas Inggris bukan siapa-siapa. Minimal dalam hal prestasi belum terbukti.
Status semifinalis Piala Dunia 2018 bukan jaminan, toh dalam ajang UEFA Nations League, Inggris juga cuma nangkring di posisi 3. Tanda inkosistensi itu juga masih berlanjut hingga gelaran Euro 2020. Masuk ke 16 besar dengan tergopoh-gopoh, jadi satu di antara kebiasaan buruk Inggris di kompetisi akbar.
Walau begitu, tabiat publik sepak bola Inggris tetap harus bacot dulu, hasil belakangan. Alibi menyebarkan spirit identitas nasional dengan cara yang picik nan angkuh juga jadi alasan paling menyebalkan.
Satu dari sekian hal yang bisa dibanggakan dari tim ini hanyalah harga pemain mereka yang nggak ngotak. Banyak dari tim-tim EPL ketika sudah ikut bidding war akan mematok harga yang nggak masuk akal. Tapi, tetap saja dibeli. Padahal pemain tersebut bisa saja, belum layak dihargai dengan nominal tersebut.
Terbaru, Jack Grealish rumornya dihargai tak kurang dari 80 juta euro oleh Aston Villa. Sebuah kebiasaan dari klub EPL dalam memberi angka yang sangat nggak logis. Bandingkan dengan bagaimana gacornya pemain underrated seperti Robin Gosens. Secara statistik dan pengaruh dalam permainan, Gosens jauh lebih berguna dalam gelaran Euro 2020. Capaian gol dan asis pun lebih baik ketimbang Grealish. Padahal, secara posisi, Gosens bukan seorang penyerang sayap seperti Grealish.
Harga tinggi yang dipatok hanya karena adanya pengaruh nama big six yang mengatrol nilai jual pemain-pemain overrated dan overhype tersebut. Padahal secara kualitas, konsitensi maupun prestasi, pemain-pemain timnas Inggris harusnya bisa dihargai lebih wajar. Tapi, ya, begitulah sepak bola Inggris. Congkak dan merasa superior.
Apalagi jika melihat weton Harry Kane yang lahir pada pasaran hari Pon, merupakan hari baik dan pertanda Jerman akan menang di laga ini. Eh, saya lupa. Jangan suka main klenik, main data lebih unik. Iyakan, Mas Moodie?
BACA JUGA Kai Havertz dan Seikat Benang Chelsea yang Kusut dan ulasan Euro 2020 lainnya.