MOJOK.CO – Kalau sampai tuntutan masyarakat soal tampang Boyolali akan berhasil dan Prabowo dihukum, yakin masih ada Pilpres tahun ini?
Di Pilpres 2014, kita dapat pelajaran menarik tentang waktu yang tepat untuk bertepuk tangan dan bersorak-sorai. Moderator debat edisi pertama kala itu mengingatkan berulang-ulang tentang kapan sebaiknya penonton tepuk tangan. Jangan tepuk tangan sebelum saya memberi komando, kira-kira begitu Pak Moderator itu bilang. Saking memorable-nya ucapan ini, ia pun menjadi cukup fenomenal di kalangan netizen, bahkan sampai dibuat versi lagunya.
Sebagai orang di deretan penonton, kita pasti terganggu dengan aturan-aturan demikian. Tepuk tangan kok pakai komando, sih? Memangnya kita ini para tentara yang mau menari gemu fa-mi-re? Ayoooo… ke kiri ke kiri ke kiri manisyeee. Senyum, Kakaaa! Begitu?!
Tetapi, setelah melihat video Prabowo yang (dianggap) menghina masyarakat Boyolali, mau tidak mau saya setuju dengan aturan-aturan itu. Pengaturan waktu tepuk tangan dan sorak-sorai pada kegiatan kampanye nyatanya memang akan mendukung orator berbicara efektif, tidak melambir ke mana-mana.
Tepuk tangan dan sorak-sorai membahana serta menggelegar akan membangkitkan semangat orator, sama seperti tawa terpingkal-pingkal dari penonton yang membuat komedian menjadi ‘semakin berusaha’. Ending-nya pun akan sama: mereka lepas kendali. Menjadi lebay. Tanpa sadar, mereka malah menghina audiens yang telah terbuai. Risikonya bisa masuk buai, eh, bui.
Ahok dulu begitu, loh, Saudara-saudara. Terlepas dari soal tafsir yang berbeda pasca-dipelintir Buni Yani, Ahok tidak akan sampai ke bagian sensitif itu kalau audiens biasa-biasa saja.
Pun dalam kasus tampang Boyolali ala Prabowo, saya yakin, kalau audiens tidak bereaksi berlebihan setelah kalimat: “Namanya saja kalian nggak bisa sebut. Dan macam-macam itu semua, tapi saya yakin kalian tidak pernah masuk hotel-hotel tersebut…”, semua pasti baik-baik saja. Narasi Pak Prabowo selanjutnya akan biasa-biasa saja.
Tapi yang terjadi adalah audiens beramai-ramai bilang, “Betuuul!”. Koor ‘betul’ itu semakin menggema setelah Pak Prabowo bilang: “Kalian kalau masuk mungkin kalian diusir, tampang kalian tampang tidak orang kaya, tampang kalian, tampang Boyolali, ini, betul?” Tidak hanya menyahut ‘betul’, audiens juga tertawa, bertepuk tangan, dan bersorak-sorai.
Astaga. Audiens macam apa kita ini? Dihina kok malah tertawa??? Rendah hati, kan, tidak harus begitu, mylov. Ingat, aturan dasar menyetujui penghinaan hanya satu: jika setelah dihina, kita mendapat subsidi.
Misalnya, kalau ada petugas sensus yang datang dan bilang (dengan nada sedikit menghina) bahwa kita masuk dalam kategori miskin, kita harus setuju. Apa pasal? Soalnya, itu berarti kita akan dapat bantuan beras sejahtera. Di luar itu, nehi nehi nehi! Biar lebih mantap, katakan itu sambil geleng-geleng kepala ala Sahrukh Khan~
Sampai di sini, saya tiba-tiba dapat hal lain. Jangan-jangan, pertumbuhan ekonomi yang baik akan selalu berbanding lurus dengan jumlah penduduk miskin yang naik. Kalau ekonomi membaik, negara memberi subsidi, justru orang-orang semakin ramai mengaku miskin dan mendaftarkan diri sebagai calon penerima subsidi. Aduh!
Tapi itu soal lain. Soal utama kita adalah kita tidak tahu waktu yang tepat untuk bertepuk tangan dan bersorak-sorai. Kejadian tampang Boyolali yang diucapkan Prabowo di Boyolali akan berulang di tahun politik ini kalau kita terlalu asyik terpesona dan setuju begitu saja pada para orator.
Kemampuan mengendalikan diri dalam memberi apresiasi adalah hal yang sangat diperlukan. Maka, saran saya, bersikaplah (sok) kritis seperti berikut ini:
1. Jangan tepuk tangan kalau materi yang disampaikan mengandung lelucon SARA, kecuali untuk kalangan sendiri.
2. Jangan bersorak-sorai kalau orator tampak semakin bersemangat. Bahaya buat penguasaan diri dan runutan materi pidatonya.
3. Hadirlah di event kampanye dengan tujuan untuk mendengar konsep, bukan untuk menjebak calon bicara terus sampai lupa batas antara lelucon dan hinaan.
Hmmmm, jangan-jangan yang berteriak ‘betul’ sebelum lelucon tampang Boyolali itu sebenarnya pendukung Jokowi? Bisa saja, kan, mereka sengaja datang dan menyiapkan skenario agar Prabowo semakin bersemangat? Toh, mereka tahu bahwa orang yang terlampau bersemangat kadang bisa lupa diri.
Kalau dugaan ini benar, Prabowo harus mulai hati-hati dengan massa yang banyak pada setiap penampilan publiknya. Bersikap waspada itu penting. Yah, semoga segera ada konfirmasi dari Fadly Zon tentang dugaan ini.
O, iya. Satu lagi: Prabowo mungkin lupa bahwa yang boleh menertawai tampang Boyolali adalah orang Boyolali sendiri. Yang boleh bikin joke tentang orang Timur adalah Arie Kriting dan teman-temannya. Yang boleh menyapa Afro-Amerika dengan sebutan nigga adalah mereka sendiri. Di luar itu, risikonya adalah ‘terbaca sebagai hinaan’.
Memangnya, Prabowo itu orang Boyolali, sampai-sampai berani mengungkit soal tampang Boyolali? Bukan to? Prabowo itu Capres, Kawan. Lebih tepatnya, capres yang sudah makan asam garam sebagai capres itu sendiri. Untuk itu, marilah bantu dengan cara mendengarkannya bicara sampai selesai. Bertepuk tangan dan bersorak-sorailah jika seluruh teks yang disiapkannya kelar tersampaikan. Jangan sampai beliau terdistraksi, lalu terpeleset. Bisa kelar Pilpres kita nanti.
Begini. Kalau sampai tuntutan masyarakat Boyolali yang membawa kasus penghinaan tampang Boyolali ke Polda Metro Jaya akan berhasil—Prabowo dihukum, yakin masih ada Pilpres tahun ini?
Ayolah, mylov. Siapa saja, yang koor ‘betul’-nya telah membuat Prabowo menyinggung orang Boyolali—entah kubu Jokowi yang mungkin menyusup dengan skenario yang sangat matang atau kubu Prabowo yang terlalu antusias—berbaik hatilah.
Ingat: kita sedang menjelang Pilpres. Pilpres hanya berjalan baik kalau dua pasang calon kita mendapat kesempatan berkampanye dengan baik. Jangan pancing mereka ke sisi yang lain.
Pasalnya, meski kita rindu, rasanya tidak mungkin meminta moderator debat 2014 itu untuk selalu hadir di setiap momen kampanye hanya untuk bilang, “Sekali lagi saya ingatkan, jangan tepuk tangan sebelum saya persilakan.” Lelah dia nanti.