MOJOK.CO – Saya menghormati keputusan Deddy Corbuzier jadi mualaf, meski itu artinya kami yang Katolik ini bisa saja merasa semakin inferior di negeri ini.
Mendengar kabar Deddy Corbuzier jadi mualaf, saya tiba-tiba ingat masa saya mengalami situasi yang sulit sekali, ketika merasa bahwa pindah agama akan menyelesaikan segala persoalan hidup. Padahal, tentu saja, itu belum tentu. Iya to?
Saya pikir, sebagian besar orang pernah mengalami situasi serupa, merefleksi apakah agama yang dipeluknya saat ini adalah yang paling mampu membahagiakannya atau justru hanya sebagai pelarian semata?
Deddy Corbuzier tentu meyakini yang pertama sebagai mualaf. Karena itulah dia dengan mantap mengucapkan syahadat sekaligus mengumumkan secara resmi keyakinannya yang baru, meski tidak berhasil melakukannya secara live di televisi.
Karena keyakinan itulah saya menghormati keputusan tersebut, meski itu artinya kami yang Katolik ini bisa saja semakin merasa minoritas di negeri ini.
Sebab Deddy Corbuzier, yang public figure itu, yang di setiap sembahyang Rosario bergilir di komunitas basis gerejani, tidak lagi bisa menjadi percakapan yang membanggakan—“tadi nonton transtivi to? Deddy Corbuzier itu kita punya orang e. Hebat juga kita punya orang e”—yang mampu meningkatkan kepercayaan diri bahwa meski negeri ini mayoritas muslim tetapi ruang-ruang publik adalah milik semua orang yang hebat terserah apa pun agamanya.
Bagaimanapun, keputusan pindah agama adalah hal yang tak pernah mudah. Selain soal personal—keyakinan akan kebahagiaan dunia-akhirat dan lain sebagainya, soal-soal sosial adalah hal yang harus menjadi pertimbangan yang dipikirkan masak-masak.
Saya ingat betul bagaimana saya dan teman-teman Katolik saya meyakini bahwa menurunnya prestasi Manny Paquiao akhir-akhir ini lebih berhubungan dengan keengganannya berdoa Rosario sebelum pertandingan, dan mengabaikan bahwa hal itu tersebab faktor usia The Packman yang sudah tidak muda lagi.
Atas dasar itulah saya menulis catatan ini, yang akan terdiri dari dua bagian.
Pertama soal nama santo pelindung yang harus Deddy tanggalkan, dan kedua soal perjuangan menghadapi mulut nyinyir kita sekalian.
Pertama, Soal Santo Pelindung
Begini. Kamu mungkin baru tahu bahwa nama lengkap Deddy Corbuzier adalah Deodatus Andreas Deddy Cahyadi Sunjoyo.
Jangan berkecil hati. Saya juga baru tahu (memangnya saya siapa?) dan serentak iri hati karena arti dua kata pertama itu indah sekali; Andreas yang diberikan/dihadiahkan Tuhan.
BapaMama-nya pasti senang sekali ketika Kak Deddy lahir makanya diberilah nama baptis seindah itu. Tapi, bukan berarti sa pu BapaMama tir senang ketika saya lahir.
Di Kupang, ketika saya lahir, satu-satunya referensi pemberian nama baptis adalah Kalender Katolik. Nah, saya lahirnya ketika Orang Kudus yang diperingati hari itu adalah Robertus Bellarminus. Demikianlah asal usul nama saya.
Orang tua saya bahagia sekali hari itu. Dan di hari-hari berikutnya. Sampai suatu ketika saya bilang saya agak lelah jadi Katolik.
“Bagaimana kalau saya pindah agama?” tanya saya suatu ketika di usia yang masih muda belia.
Guru Don, Ayah saya yang mantan seminaris itu, hening lama. Sebelum akhirnya bertanya agama baru apa yang saya pilih? Giliran saya yang diam.
Maksud saya, di bawah pertanyaan itu, ratusan kalimat tanya lainnya tak terucap. Di antaranya:
Apakah akan jadi lebih baik sebagai manusia di agama yang baru? Apakah ingin pindah agama karena ingin nikah beda agama—mereka selalu membayangkan akan menikahkan anak-anak mereka di gereja?
Apakah saya tidak akan rindu masakan mama (misalnya agama baru membuat saya tidak boleh menyantap makanan tertentu)? Apakah agama yang baru itu lebih baik? apakah dengan pindah agama saya bisa membuat wajah toleransi kita akan lebih baik? Dan lain-lain.
Pertanyaan yang paling mudah dijawab dari daftar tak terungkap tadi adalah apakah agama baru itu lebih baik?
Meski ketika itu saya belum memutuskan akan pindah ke agama apa, jawabannya jelas! Bagi saya, semua agama sama baiknya! Yang sulit adalah soal masakan mama (saya tidak mau mama mengubah cara memasak atau terpaksa bekerja lebih keras menyiapkan menu khusus), dan yang paling sulit adalah apakah saya akan jadi manusia yang lebih baik jika pindah agama?
Aduh, itu sulit sekali. Iya, rajin ke gereja saja tidak lantas membuat saya menjadi manusia yang lebih baik. Perlu ada pekerjaan besar lain selain menjadi orang beragama agar saya bisa jadi manusia yang baik.
Banyak yang ibadahnya hebat sekali tetapi mulutnya kotor sekali. Iya kan?
Namun, seperti tidak hendak membiarkan keputusan pindah agama itu mudah, pertanyaan lain disampaikan: mau pakai nama apa nanti?
Demi Robertus Bellarminus yang Teofilus itu, saya bingung sampai ke level advance ketika dengar pertanyaan ini. Tidak datang dari BapaMama tetapi dari beberapa teman yang merasa bahwa saya tidak punya alasan yang cukup meyakinkan untuk pindah agama. Nama apa yang akan saya pakai di agama yang baru?
Maksud saya, memilih nama baru di zaman setiap hal harus memiliki pesan tersembunyi seperti sekarang ini berarti bahwa saya harus belajar lagi arti-arti nama tokoh-tokoh atau peristiwa penting di agama yang baru itu, agar saya tampak keren pilihan tersebut dapat dijelaskan secara masuk akal.
Saya merasa, itu adalah pekerjaan yang luar biasa sulitnya. Bertanggung jawab pada Santo Robertus Bellarminus saja tidak pernah berhasil saya lakukan padahal nama itu saya pakai bertahun-tahun. Butuh berapa tahun lagi agar saya dapat bertanggung jawab pada nama yang baru?
Namun, tentu bukan hal sederhana itu yang membuat saya batal pindah agama. Yang terbesar adalah karena saya tidak terlampau yakin apakah ketika memeluk agama yang baru nanti saya tidak tergoda untuk menjelek-jelekkan agama yang lama atau membandingkan agama yang baru itu dengan betapa lebih mudah segalanya bagi saya ketika memeluk agama yang lama?
Karena itulah saya menghormati keputusan Deddy Corbuzier mengucapkan syahadat.
Dia pasti telah melalui masa-masa refleksi yang panjang dan telah melampaui segala persoalan sederhana tadi. Dia telah mantap meninggalkan Deodatus Andreas dan akan segera memakai nama baru. Semoga segala urusan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dapat berjalan lancar.
Kedua, Soal Mulut Nyinyir Kita Sekalian
Deddy Corbuzier akan berhadapan dengan dua pihak sekaligus. Pihak yang ditinggalkan dan pihak yang ditujunya.
Pihak pertama pasti menudingnya aneka rupa. Deddy butuh popularitas karena itu dia harus pindah ke kelompok mayoritas. Aduh, jual agama demi harta.
Itu tuduhan kami yang ditinggalkan; tanpa berpikir bahwa Deddy sudah populer sekali dengan trik-trik sulapnya.
Sementara itu, pihak kedua belum tentu akan dengan serta merta menerimanya. Ah… udah mulai nggak laku kan? Makanya bikin sensasi melalui sentimen mayoritas. Memalukan!
Begitulah! Di balik setiap peristiwa besar, terdapat mulut netizen yang lebih besar.
Deodatus, Andreas, eh, Deddy Corbuzier tentu telah memikirkannya dengan matang. Karena itulah saya menghormati keputusannya. Keputusan yang diambil Deddy Corbuzier di masa-masa yang sulit di negeri ini; agama menjadi komoditas apa saja.
Bahwa ada hal yang seharusnya tidak perlu Deddy Corbuzier lakukan adalah merencanakan peristiwa pindah agama itu sebagai percakapan publik. Maksud saya, apakah dengan mengucapkan syahadat di televisi akan membuat Deddy Corbuzier menjadi pemeluk Islam yang taat?
Apakah dengan menjadikannya viral maka akan semakin banyak orang lantas berpikir untuk menjadi mualaf? Belum tentu.
Saya sendiri tidak pindah agama karena belum cukup baik memeluk agama yang lama. Lalu menikah secara Katolik. Dengan gadis Katolik yang taat. Sampai sekarang menjadi Katolik dan belum cukup baik juga.
Kapan, Kakak?
Bukan karena alasan yang terlampau sulit. Saya hanya merasa, saya baru boleh pindah kalau telah cukup hebat membuat semua pemeluk agama saya menjadi toleran kalau kepindahan saya membahagiakan: saya dan orang-orang di sekitar.
Kalau tujuannya adalah popularitas, tidak perlu dengan pindah agama. Media sosial saya kira cukup. Asal tahan banting saja. Sesuatu yang Deddy Corbuzier sudah punya sejak lama. Selamat buat Om Deodatus Deddy Corbuzier. Semoga menjadi muslim yang taat dan dicintai semua orang.