Semenjak saya lumayan sering bepergian, terutama naik motor, saya baru ngeh ketika ingin berhenti untuk melakukan istirahat dan ibadah formal—lima waktu yang rutin dan memberatkan itu–tanpa aba-aba langsung menuju SPBU.
Apa sih itu SPBU?
Menurut berbagai ulama ahli fiqh, SPBU adalah semacam “masjid”– diambil dari isim makan yang artinya “tempat sujud” –yang menyediakan fasilitas seperti pengisian bahan bakar minyak dan jual beli syariah. Adapun para pakar bisnis menjelaskan, SPBU adalah sebuah pasar yang di era sekarang sedang banyak digemari oleh semua kasta masyarakat.
Sementara menurut pakar ilmu humaniora, wabilkhusus displin filsafat, SPBU adalah kegandrungan masyarakat post-modern yang selalu ingin mendapatkan hal-hal yang mudah dan praktis, semacam peribahasa sambil curhat sekalian nikung, atau kalo bisa gugling kenapa harus baca buku, gitu deh.
Ketiga pendapat tersebut sepertinya cukup untuk mewakili kengawuran dari definisi SPBU yang sebenarnya.
SPBU sebetulnya adalah akronim dari Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum. Inilah pendapat yang paling kuat dan dapat dipertanggung jawabkan, baik secara akademik, empirik, maupun balpirik.
Nah, bagi Anda para pengendara yang sering keluyuran, cobalah Anda hitung di sepanjang jalan Yogyakarta menuju Kudus yang melewati jalur rumah Agus Magelangan, niscaya Anda akan menemukan 98 SPBU yang berderet-deret.
Tidak percaya? Lho makanya silakan hitung sendiri. Saya sih ogah banget. Akan lebih afdol jika menghitungnya sambil membawa tasbih 33 butir biar sekalian wiridan gitu.
Oke, lupakan sejenak jumlah SPBU tadi. Suatu ketika, saya pernah mendapat pertanyaan tak biasa dari seorang kawan yang cukup menggugah nalar. Pertanyaannya begini: “Antara masjid dan SPBU, mana yang lebih ramai ketika waktu shalat tiba?”
Sejauh yang saya ingat, ketika itu dengan lantang saya menjawab dalam hati: “Jelas yang paling ramai adalah SPBU, dong! Kalau salah, silakan potong kuku saya!”
Sebetulnya tak perlu berpikir njlimet untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sebab jika dicermati dengan benar, itu hanyalah pertanyaan mudah. Lah, iya kan? Ada banyak orang– yang berarti banyak pula keperluan– ketika mampir ke SPBU. Ada yang beli BBM, ada yang ke minimarket, ambil uang di ATM, dan kalau mau sholat pun juga bisa, sebab nyaris selalu ada mushola di tiap SPBU.
Lha di masjid? Halah, paling berapa orang sih yang ikut shalat jamaah di masjid? Yang sudah pasti ada hanyalah muadzin dan imam. Jumlah jamaahnya pasti tak sampai sepenghitungan jari tangan. Jari manusia lho, ya. Bukan jari komodo.
Kenapa demikian? Ada fenomena apa di balik ini semua? Apakah ini termasuk jebakan zionis untuk melalaikan umat muslim endonesa dari kewajibannya?
Halah, ndyasmu. Dikit-dikit kok zionis…
Nah, berikut adalah beberapa alasan –sekaligus perbandingan– kenapa sebetulnya kita lebih memilih SPBU daripada masjid.
Pertama, seperti yang diuraikan singkat di atas: di SPBU ada musholanya. Saya rasa nyaris tak ada SPBU di Indonesia yang tidak ada musholanya. Tentu sebaiknya Anda tidak perlu pusing-pusing memikirkan apakah mushola di SPBU bersih atau tidak. Meski keraguan tersebut sebetulnya cukup wajar mengingat sarung dan mukena yang jamak ditemui di mushola SPBU biasanya (tampak) kumal.
Namun, tenang dulu, tetap ada sisi positifnya: sandal sampeyan tidak akan hilang.
Anda tentu bakal ngotot: “Tapi kan diutamakan sholat di masjid biar pahalanya lebih banyak?”
Betul, dan kalau mau sekalian lebih banyak lagi, monggo setiap sholat Anda terbang ke Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, atau Masjid Mabawi. Shalat di sana pahalanya bakal dilipatgandakan 100.000 kali dibanding sholat di masjib biasa.
Ingat kata Nabi: “Bumi ini dihamparkan menjadi masjid.”
Jadi, sebaiknya tak perlu paranoid dan kagetan, lalu dengan noraknya mengkafir-sesatkan orang lain kalau ada dari mereka yang (terpaksa) shalat di gereja, pura, vihara, atau sinagog. Selama tempatnya bersih suci dari najis, dan niat Anda semata memang hanya beribadah kepada Allah, silakan shalat sampai kemput di mana pun. Tak akan ada yang melarang. Tak perlu pula melarang.
Lagian sok banget ngotot mau sholat di masjid terus. Memang serajin apa sih shalat Anda? Hawong durasi shalat sama fesbukan aja masih lama fesbukan kok nggaya…
Itu yang pertama. Alasan kedua adalah: sudah jarang sekali masjid yang buka 24 jam. Apalagi di kota-kota metropolitan sana. Konon masjid hanya buka di waktu-waktu shalat saja, selain itu digembok. Betulan digembok secara literal: dikunci dengan gembok.
Mungkin pengurus masjid terkait takut kotak amal dicolong orang. Logis sih, tapi tetap saja aneh. Kalau kotak amalnya yang takut dicolong, mengapa masjidnya yang digembok? Kenapa tidak kotak amalnya saja yang dipindahkan ke tempat yang lebih aman?
Dulu pada zaman Nabi, masjid kerap dijadikan sebagai tempat para sahabat yang tunawisma, fakir-miskin, dan pastinya jomblo, lalu masyhur disebut sebagai ahli shufah (penghuni serambi masjid).
Selain itu, masjid juga dijadikan sebagai basis pergerakan, makanya ini ditiru oleh beberapa golongan islam trans-nasional yang menyebabkan masjid Muhammadiyah dan NU satu demi satu hilang dari tradisinya.
Sayangnya cuma itu saja yang ditiru. Padahal Nabi juga lumayan sering menerima tamu dari orang Yahudi dan Nasrani di masjid.
Alasan terakhir, di masjid tak boleh merokok. Ulama manapun memang tidak ada yang membenarkan merokok di dalam masjid, kecuali ulama modal posting-quote-comot-ayat di sosmed yang sebetulnya cuma kebelet jadi artis kontroversial. Tapi jika soal rokok haram atau halal itu hanya soal kesepakatan dan lebih baik tak usah jauh-jauh kita perbincangkan.
Lho, memang di SPBU boleh merokok? Ya memang tidak, tapi ada pengecualiannya. Cermati saja kalau tak tak percaya. Tapi, hanya di SPBU yang bermahzab NO (Nahdlatul Oelama) saja yang membolehkan orang merokok. Biasanya, di SPBU bermahzab NO tadi ada rambu yang dipasang jelas-jelas: NO SMOKING. Tapi jangan terkecoh. Anda tetap bisa merokok.
Caranya, jika Anda ditanya petugas SPBU “NO?”, jawab saja dengan, “Yes, I am NO!”, maka Anda pasti akan diizinkan merokok. Kelak bakal ada SPBU dengan rambu “Muhammadiyah Smoking”, “HTI Smoking”, atau “Wahabi Smoking”, entah kapan. Doakan saja.
Nah, jika Anda beruntung, ada beberapa SPBU lain yang juga menyediakan fasilitas kafe kecil di sudut bangunan dengan keterangan rambu yang lebih konkrit: “Keluar area ini tidak boleh merokok.” Kalau ketemu SPBU model begini, sejahteralah para ahli hisab.
Demikianlah tiga alasan kenapa kita sebetulnya, diakui atau tidak, lebih memilih SPBU ketimbang masjid. Bahkan jika Anda ke SPBU tapi tak membeli BBM, Anda tetap boleh sholat atau sekadar istirahat. Mushola di SPBU juga bebas dari gerombolan ormas-ormas terkutuk yang sok suci itu. Lebih aman dan santai.
Dan kalau kebetulan Anda, yang mulanya hanya ingin sholat lalu mendadak ingin pula isi bensin tapi lupa bawa uang –termasuk ATM–, Anda juga diperkenankan meninggalkan jam tangan sebagai jaminan. Boleh, kok. Percaya sama saya. Asal ya punya malu aja.
Sebagai penutup, izinkan saya memberi masukan yang mungkin cukup “ekstrim” mengenai tata kelola masjid. Saya kira, sudah semestinya kini masuk ke masjid diwajibkan membayar. Jika perlu wajib mugholadhoh. Masa iya sih nggak bisa nyisain seribu atau dua ribu aja untuk sekali masuk masjid?
Bukan sok-sokan atau berusaha menjadikan masjid sebagai tempat yang elitis, tapi sekadar sebagai pengingat: jika kencing saja kini sudah bayar (termasuk di SPBU), kenapa ke masjid tidak? Atau jangan-jangan kita ke masjid cuma biar bisa kencing gratis?
Naudzubillahi min dzalik…