MOJOK.CO – Bikin sistem zonasi jangan kayak orang mabuk, kayak pendukung Jokowi dan Prabowo. Main tabrak dulu, betul-salah urusan belakang. Pokoknya “jalan” dulu.
Ontran-ontran soal zonasi sekolah. Tahun lalu jadi masalah, eh tahun ini masih sama saja. Acara Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 menjadi ajarang “peperangan rutin” orang tua murid. Bahkan konon ada yang rela mengantre sejak subuh, padahal pendaftaran sudah bisa dilakukan lewat online.
Ada yang mendukung, lebih banyak yang protes, minta sistem zonasi sekolah ini dihapus, atau setidaknya ditunda. Salah satu keluhan yang paling santer disuarakan adalah ketika anak pintar tidak bisa masuk sekolah favorit karena berbeda zona. Sudah seperti falling in love with people we can’t have. Pedih sekali.
Sementara itu, buat yang mendukung, mereka merasa sistem ini adalah jalan pemerataan level sekolah. Tidak ada lagi yang namanya sekolah favorit di masa depan.
Antara pendukung dan penentang sistem zonasi terlibat perdebatan yang keras. Kalau penasaran, kamu bisa berkunjung ke artikel-artikel Mojok dengan kata kunci zonasi. Kecuali artikel soal zonasi jodoh, kamu bakal terhibur dengan olok-olokan, saling hina, antara pendukung dan penentang sistem ini.
Sudah pedih, kaku sekali. Pertentangan ini sudah seperti cebong dan kampret mabuk, yang sebetulnya buta politik, tapi berusaha tampil pintar ketika mendukung junjungannya: Jokowi dan Prabowo. Padahal, setelah sidang gugatan kecurangan pemilu di MK sudah hampir paripurna, kabar bersatunya Jokowi dan Prabowo dalam satu payung semakin kencang.
Konon, Jokowi sudah berusaha mendekati Prabowo sejak satu hari setelah coblosan. Cieee, kata kerennya: rekonsiliasi. Namun kita semua tahu kalau memperkuat posisi di pemerintahan juga bisa dilakukan dengan menggandeng lawan politik. Supaya lima tahun pemerintahan ke depan, Jokowi nggak sakit kuping karena disentil orang-orang seperti Fadli Zon, Fahri Hamzah, Dahnil Anzar, dan Amien Rais. Ehh, kalau Ki Amien Rais itu bukan kritikan, tapi petuah dan kebijakan.
Nah, melihat kenyataan ini, gimana sikap para pendukung Jokowi dan Prabowo yang dulu ngotot betul merasa paling suci itu, ya? Berani rekonsiliasi?
Ibarat kata, pendukung Jokowi dan Prabowo itu seperti orang mabuk ciu. Ketika sudah sama-sama mabuk politik, keduanya bakal saling serang tanpa peduli sekitar. Segala makian akan dilontarkan, segala sumpah, dan ujaran kebencian. Bahkan sampai ada yang bawa-bawa agama segala.
Namanya juga orang mabuk. Mereka seperti trans, matanya jadi putih, meracau lewat segala kanal. Ketika pengaruh ciu habis, perlahan-lahan sadar, mereka akan malu sendiri. Apalagi ketika jagoannya kalah. Pertama, akan membela diri, mereka dirinya nggak mabuk. “Ahh cuma minum segitu doang. Mana bisa gue mabuk. Itu tadi cuma ngantuk aja gue. Jadinya ketiduran.”
Ya ya, begitulah. Kenyataannya, dia mabuk berat, muntah-muntah, sebelum semaput di trotoar, dia keramas pakai air di ember cucian pecel lele. Kedua, dia akan masih membela junjungannya, tapi nggak sevokal sebelumnya. Ketika tahu akan terjadi rekonsiliasi, nah mereka baru sadar sepenuhnya dari mabuk. Bahwa mendukung Jokowi dan Prabowo secara buta itu nggak sehat.
Nah, makanya, lebih baik mendukung dengan akal sehat. Pun dengan sistem zonasi sekolah. Mari dibahas menggunakan akal sehat.
Bikin zonasi jadi nyaman? Bisa?
Pertama, namanya sistem pasti diujicobakan. Sebelum uji coba, sistem itu harus beres. Sebelum beres, artinya ada proses menuju ke sana. kalau ngomongin sistem zonasi yang akan meniadakan istilah sekolah favorit, maka ada pembenahan kualitas sekolah (negeri). Mulai dari ketersediaan guru, kualitas guru, ratanya gaji guru, tidak ada lagi guru honorer, kualitas sekolah, kualitas dan konsistensi kurikulum, penunjang pendidikan seperti lapangan olahraga, fasilitas komputer, internet, dan lain sebagainya.
Apalah unsur penunjang itu sudah beres sebelum sistem dijalankan? Kebiasaan di Indonesia adalah jalan dulu sembari uji coba. Yang jelek diperbaiki, yang bagus ditingkatkan. Saya rasa ini kalimat dan pola pikir yang bikin manusia terlena, jadi lemah. Seperti meniadakan proses terbaik dan menjadikan orang lain sebagai tumbal (baca: kelinci percobaan). Sukanya kok merepotkan satu generasi.
Apalagi, sebuah kebijakan, mau itu dari menteri, mau dari DPR, Gubernur, Presiden, pasti nggak konsisten. Setelah lima tahun, bisa saja ganti. Apalagi kalau alasannya karena nggak suka dengan pendahulu, pasti ganti. Coba saja tengok kondisi DKI Jakarta saat ini.
Apakah para elite itu mau posisi mereka dijadikan uji coba? Apakah para elite itu mau berkorban dengan menjadikan masa kerja selama lima tahun sebagai dasar dari masa depan? Lima tahun membangun fondasi sistem zonasi mengihilangkan sekolah favorit. Beranikah, Pak Muhadjir Effendy? Apakah para elite itu hanya ingin sekadar “ada prestasi” selama menjabat karena takut kena kocok ulang?
Nah, kedua, Bagaimana kalau kita bikin luwes sistem ini dengan istilah “perkecualian”. Misalnya begini. Buat siswa yang pintar, mereka boleh memilih mau sekolah di mana saja. Nah, bagi yang nilainya di bawah rata-rata, dianjurkan sekolah menggunakan sistem zonasi, yang dekat-dekat rumah saja.
Menggunakan sistem zonasi ini, siswa yang kurang pintar, sekolah di dekat rumah, dan mengikuti pelajaran tambahan. Jadi, pulang malam karena pelajaran tambahan, katakan misalnya tiga kali dalam satu minggu, bukan masalah lagi. Toh sekolah, rumah, dan tempat les ada dalam satu zonasi.
Sementara itu, sebagai bentuk penghargaan kepada siswa pintar, ya silakan bersekolah di sekolah favorit. Mereka yang punya nilai tinggi, pasti sudah melewati proses belajar yang berdarah-darah. Mungkin anak-anak pandai ini stres, sedih, lesu, karena harus mengorbankan jam bermain demi cita-cita orang tua punya “anak pandai dan berbakti kepada nusa dan bangsa”.
Ada lho, anak SD, yang sudah belajar mati-matian karena ingin masuk SMP dan SMA favorit kayak mas-mas dan mbak-mbak mereka. Sejak kelas 1 SD, mereka sudah punya kesadaran itu karena melihat kakak-kakak mereka yang keren dan selalu dapat pujian dari orang tua.
O jangan salah, anak kecil merekam betul bentuk kebahagiaan dan kesedihan. Mendapat pujian, dibelikan mainan, atau sepatu baru karena rangking 1 di kelas itu bahagia betu. Mereka sadar mendapatkan pujian itu menyenangkan. Dan mereka tak akan berpikir dua kali ketika tahu konsekuensinya adalah belajar mati-matian, seperti kakak-kakak mereka. Apakah Bapak Muhadjir Effendy sudah memperhitungkan situasi keluarga seperti ini?
Ahh bicara rangking. Memang, saat ini, sudah tidak dicantumkan lagi rangking di rapot anak SD. Namun, tahukah kamu, saya punya keponakan yang baru saja naik kelas 2 SD. Dia ini bangga betul karena rapotnya penuh nilai A. Sementara itu, kakaknya, yang naik kelas 2 SMA, nilainya hanya rata-rata.
Kamu tahu apa yang diucapkan keponakan saya yang naik kelas 2 SD? “Kamu itu lho, belajar lagi sana.”
Dia sudah tahu makna belajar dan apa yang akan ia dapat ketika sudah bekerja keras. Dari rasa bangga itu, saya yakin akan berkembang menjadi keinginan. Rasa bangga akan menuntun anak mengejar sesuatu yang lebih. Salah satunya pengakuan: pintar, pandai, anak rajin, berbakti. Pengakuan, ketika ia bersekolah di sekolah favorit akan terasa dua kali lebih memabukkan.
Kalau belum bisa meratakan level sekolah, ya jangan dipaksakan. Selesaikan dulu sistem itu dan diujicobakan. Dilihat kembali tingkat keberhasilannya, paling tidak lima tahun ke depan. Pak Muhadjir Effendy, dikenang sebagai pelopor pemerata level sekolah itu juga legacy yang bikin bangga kok.
So, pada akhirnya, bikin sistem zonasi jangan sampai kayak orang mabuk, kayak pendukung Jokowi dan Prabowo. Main tabrak dulu, betul-salah urusan belakang. Pokoknya “jalan” dulu.