MOJOK.CO – Tak tercapainya usia target menikah semestinya tak menjadikanmu panik berlebihan. FYI, ada banyak hal yang bisa kamu pelajari dari fenomena ini.
Dulu sekali di bangku sekolah, seorang teman pernah melempar topik soal usia target menikah saat istirahat kedua dimulai. Sambil makan mendoan dan sate kerang, kami pun terlibat dalam diskusi yang cukup serius.
Bagi kami-kami yang kala itu masih berusia 17 tahun, angka 25 dianggap seksi sebagai usia yang tepat untuk masuk ke dunia pernikahan. Nyatanya, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pun memiliki hasil yang tak beda jauh. Dari data tahun 1991 hingga 2012, sebanyak 59,9 persen remaja perempuan berpendapat bahwa target usia menikah yang ideal adalah 22 hingga 25 tahun. Berpegang teguh pada impian kala berseragam putih abu-abu inilah, usia antara 22 hingga 25 menjadi doa dan harapan agar kelak bisa menjadi istri orang.
Sayangnya, hidup itu tidak semudah mengerjakan ulangan Matematika bagi si juara kelas, Saudara-saudara. Dalam perjalanan cinta berikutnya, kekasihmu mungkin bertingkah gila dan terlalu asyik bermain-main atau nonton anime sampai kamu memutuskan untuk berteman saja, hanya untuk mengizinkan hidup membawamu kepada seorang pria yang kamu pikir berkomitmen tapi malah menyelingkuhimu tepat setelah ia menyatakan akan serius di depan kedua orang tuamu. Hah, ra mashooook blas!
Kamu yang hatinya langsung patah dan compang-camping pun akhirnya menyadari: usiamu sudah di atas 25—melebihi usia target menikah yang kamu buat sambil haha-hihi semasa SMA dulu.
Ya, Pemirsa: target menikah yang dulu itu ternyata tidak bisa kamu capai!!!!!11!!!!1!!
Tiba-tiba, dunia terasa berat sekali.
Lah, gimana nggak? Sahabat-sahabatmu sudah menikah, saudara-saudaramu pun terus menerus bertanya “Kapan nikah?” seolah-olah hanya itu saja yang bisa mereka ucapkan padamu, sementara usiamu kian dewasa dan membuatmu khawatir kamu bakal menjadi satu-satunya orang yang telat menikah.
Curhat kepada teman pun menjadi pilihan. Kamu berkeluh kesah pada si teman, meminta mereka mendengar setiap air mata yang kamu teteskan dan mengetahui betapa tersiksanya hatimu menyadari bahwa target menikahmu harus mundur gara-gara lelaki yang mengkhianatimu. Tapi, tanpa kamu sadari, Ladies, kamu sedang memindahkan energi negatif kesedihanmu pada teman curhatmu…
…yang juga belum menikah, sementara usia target menikahnya telah terlewat sejak 2 tahun yang lalu.
Lalu muncullah: perasaan panik berjamaah gara-gara kamu dan temanmu (atau teman-temanmu) belum menikah di usia yang kalian pikir seharusnya menjadi usia pernikahan ideal.
[!!!!!!11!!!!11!!!!]
Wow wow wow, tunggu dulu, Teman-teman. Tak tercapainya usia target menikah yang pernah kita buat itu semestinya tak menjadikanmu panik berlebihan, apalagi sampai menyalahkan diri sendiri dan membiarkan ketakutan-ketakutan aneh berkelebat di kepalamu. Lagi pula nih, ya, FYI aja, ada banyak hal yang bisa kamu pelajari hikmahnya bersama-sama dari fenomena terlewatinya usia target menikah.
Iya, saya ulangi sekali lagi: ada banyak hal yang bisa kamu pelajari dari fenomena terlewatinya usia target menikah.
Pertama, saking seringnya datang ke kondangan pernikahan sahabat-sahabat, kamu jadi punya kesempatan memilih konsep pernikahan yang kamu mau.
Setidaknya, selagi menjadi tamu, kamu bisa mengamati dekorasi apa yang menarik dipasang untuk resepsi, jenis makanan apa yang seharusnya disediakan, sampai perlu atau tidaknya dana ekstra untuk pengadaan partner foto-foto lucu demi update-an di Instagram bridesmaids.
Kedua, karena belum kunjung dilamar dan diajak menikah, kamu jadi punya banyaaaaaak sekali waktu untuk bersenang-senang.
Mau pergi nonton konser? Bisa. Beli baju couple, tapi dua-duanya dipakai sendiri? Bisa. Mau makan sebanyak apa pun tanpa takut baju kencan nggak muat? O tentu saja kamu bisa, Mariana~
Ketiga, di usia di atas 25 tahun, kamu telah menimbun ilmu-ilmu penting untuk menjadi calon pengantin berkualitas, meskipun Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan bahwa usia pernikahan ideal adalah pada usia 21-25 tahun.
Sebagai contoh nyata, belum menikah hingga lewat umur 25 tahun ternyata bisa membuatmu lebih unggul perihal ngurusin anak. Soalnya, saking banyaknya sahabat yang sudah menikah dan punya anak, kamu pun terbiasa menyapa bayi dan menowel-nowel pipinya hingga si bayi ketawa-ketawa atau men-cep-cep-kan mereka kala menangis menjadi-jadi. Nah, bukankah itu suatu keahlian yang hakiki???
Selain itu, target menikah yang kelewat toh juga bisa membuatmu lebih memahami diri sendiri. Gimana nggak: di usia 25-an, kamu bakal mengalami krisis seperempat abad alias quarter life crisis yang dibarengi dengan overthinking soal hidupmu sendiri. Tanpa suami yang bisa dipeluk-peluk setiap menit, kamu yang masih jomblo dan belum menikah pun secara refleks akan mampu berjuang sendiri melalui dua langkah praktis:
1) menyibukkan diri (sibuk nangis); dan 2) sabar (sabar menghadapi sindiran belum nikah).
Eaaa, mamam~