MOJOK.CO – Menyapa anak Jakarta dengan sebutan “aku-kamu” bisa bikin lawan bicara baper. Eh, nggak di Jakarta doang sih. Di banyak tempat juga gitu.
Kebanyakan anak Jakarta terbiasa ngobrol dengan teman sebaya dengan sapaan “elo-gue”. Selayaknya para aktor di film dan sinetron yang disiarkan oleh televisi. Begitu ketemu dengan orang Jogja yang biasa pakai “aku-kamu”, anak Ibu Kota yang santuy dengan “elo-gue” bisa jadi salting atau justru baper. Kalau ini terjadi di FTV, endingnya mereka jadian dan saling panggil “sayang”.
Bagi anak Jakarta yang terlalu “elo-gue”, makna “aku-kamu” dalam percakapan sehari-hari bisa berarti puitis dan dekat secara emosional. Tidak sembarang orang bisa di-“aku-kamu”-in. Sebab “aku-kamu” diucapkan oleh manusia urban secara halus dan penuh cinta. Nggak kayak “elo-gue” yang penekannya kerap ngegas.
Di sisi lain, bagi orang Jogja atau orang dari daerah lain, bisa jadi “elo-gue” terdengar kurang pas. Seperti yang dicontohkan FTV ketika karakter asal Jawa yang merantau ke Jakarta (btw, Jakarta sudah jadi pulau sendiri dipisahkan selat “elo-gue”). Lalu ia berusaha beradaptasi di lingkungan sosialnya dengan mulai berkata “elo-gue”, eh, malah jadi bahan tertawaan karena medhok-nya belum luntur.
Pemakaian kata ganti yang menimbulkan kerikuhan pernah digambarkan di film Ada Apa Dengan Cinta?. Rangga sudah mantap sedari dulu dengan menyebut diri sendiri sebagai “saya”, alih-alih “aku” yang mana adalah judul buku favoritnya. Lantas Rangga menyebut lawan bicaranya sebagai “kamu” Iya, kamu.
Cinta yang gaul dan trendi sudah nyaman berbicara pakai “elo-gue”. Contohnya ketika Cinta memarahi Rangga, “Terus, kalau sekarang elo nggak punya temen sama sekali, itu salah siapa? Salah gue? Salah temen-temen gue?”
Namun, kesombongan Cinta dan kata gantinya itu tak bertahan lama. Ketika dinding hati sang ketua mading itu diruntuhkan oleh karisma sang pujangga Rangga, Cinta mulai ber-‘Saya-Kamu’. Sampai bikin Rangga mesam-mesem sendiri karena bikin Cinta ikut-ikutan gaya bicaranya yang terkesan formal itu.
Wajar saja Rangga ngomongnya “saya-kamu”. Sebab dia hanya berteman dengan penjaga sekolah, yaitu Pak Wardiman yang notabene sudah bapak-bapak. Jadi, gaya Rangga menyesuaikan dengan teman bergaulnya.
Di level masyarakat tertentu, “elo-gue” ini bisa jadi indikator kesopanan seseorang dalam bertutur kata. Orang yang pakai “elo-gue” terkesan kurang sopan. Apalagi kalau dipakai ngobrol dengan orang yang lebih tua.
Dalam hubungan percintaan di perkotaan, penggunaan “aku-kamu” adalah perayaan untuk “elo-gue” yang sudah saling sayang dan berkomitmen mesra. Otomatis, orang yang bukan siapa-siapa tapi sudah main “aku-kamu” jadi kontroversi. Sebagian justru mengganggap cowok yang ngobrol dengan sesama cowok pakai “aku-kamu” cukup bikin geli.
Konklusi seperti ini sama ekstremnya dengan pemahaman bahwa subjek yang pakai “elo-gue” adalah anak yang kurang ajar.
Mungkin memang sebaiknya kita punya toleransi dalam perkara penyebutan kata ganti orang pertama dan kedua ini. Tak melulu “elo-gue” itu nggak sopan. Tak semua “aku-kamu” itu tentang romantis-romantisan. Begitu juga dengan “saya-kamu” yang tak berarti kebapak-kebapakan. Ini hanyalah tentang kebiasaan.
Setidaknya selama bicara dengan orang lain, kita tidak menyebut nama diri sendiri seolah pakai kata ganti orang ketiga. Bukannya apa-apa, dengernya bikin teringat dengan Dobby, peri rumah di film Harry Potter. “Dobby is free!”
BACA JUGA Donasi dan Petisi Online Juga Dipakai untuk Menipu dan Membully atau komentar lainnya di rubrik POJOKAN.