MOJOK.CO – Sensasi kepo mantan mungkin memang betul-betul nagih. Tidak mengherankan jika banyak orang yang akhirnya melakukan hal bodoh ini.
Saya terkadang nggak paham dengan pola pikir para pesakitan cinta yang memilih merasakan pedih berulang-ulang kali dengan sebuah jalan menyakitkan: kepo mantan dengan segala kehidupan barunya. Begini, mereka kan sudah tahu kalau aktivitas kepo mantan ini bisa bikin sakit hati. Akan tetapi, kenapa kok mereka jadi kayak ketagihan? Lantas, melakukan hal tersebut seperti sebuah kebiasaan? Jadi apa yang sebetulnya dia cari? Rasa sakit tiada henti?
Sebetulnya, kepo lahir dari sebuah sikap yang sungguh mulia, yakni peduli dengan orang yang kita kenal. Sayangnya, rasa peduli ini kemudian jadi cenderung (((terlalu mencari tahu))) soal hal-hal yang bikin kita penasaran. Sedetail mungkin, betul-betul sampai knowing every particular object.
Saking tingginya rasa ingin tahu yang muncul, tidak jarang hal ini bisa menganggu dan menimbulkan masalah bagi orang lain. Ya, mohon maaf, nih. Memang betul, kalau rasa ingin tahu itu baik, sangat baik malah. Bagaimanapun juga, hal inilah yang membuat otak kita terus berkembang setiap harinya. Namun, kalau rasa ingin tahu ini menjadi obsesi, hal ini perlu diwaspadai.
Iya, terobsesi pada sesuatu juga ada baiknya bagi perkembangan “kemampuan” kita. Tapi, kalau hal ini malah menganggu aktivitas kita sehari-hari, gimana? Apalagi, kalau sebetulnya rasa ingin tahu itu sendiri, sudah menyimpan praduga dan kecurigaan. Bukannya ketika sudah tahu sesuatu kita menjadi tenang. Justru, hanya meninggalkan rasa resah dan gelisah.
Selanjutnya, yang bikin kepo mantan semakin menyebalkan, dia tidak lagi berbentuk kepedulian pada orang lain. Sebaliknya, rasa ingin tahu tersebut muncul karena kita ingin membandingkan hidup kita dengan hidup si mantan saat ini. Begitulah, alih-alih sebagai bentuk peduli, sebetulnya kepo malah cuma untuk fokus ke diri kita sendiri.
Bagi orang-orang yang sedang patah hati sepatah-patahnya, kepo mantan adalah senjata andalan untuk memperjelas keyakinan di kepalanya. Keyakinan soal berbagai praduga yang rasa-rasanya memang butuh kepastian yang paling pasti. Meski sebetulnya si kepastian ini sungguh sudah jelas dan nggak perlu diperjelas lagi.
Teman saya, misalnya. Ia sudah putus dengan kekasihnya. Sudah tahu juga alasan yang jelas dari perpisahan tersebut. Namun, dia tak juga jera untuk terus mencari tahu dan memastikan sesuatu yang terjadi setelah mereka berpisah. Apakah dia sudah punya pasangan baru? Apakah si mantan diam-diam masih peduli dengannya? Bagaimana kehidupannya sekarang? Apakah dia sudah bahagia kembali? Dan sebagainya.
Hubungan mereka sudah selesai dan sangat kecil kemungkinan untuk bisa kembali lagi seperti dulu. Akan tetapi, yang bikin saya nggak paham, kenapa teman saya ini harus mencari-cari tahu soal hal-hal yang tidak mungkin lagi membuat mereka dapat kembali? Bahkan secara sadar, dia juga tidak menginginkan hal tersebut kembali. Dia juga tahu dan ngerti, kalau kepo mantan justru bikin rasa sakit hatinya semakin besar. Lantas, mengapa dia memilih untuk menggarami lukanya sendiri? Yang mana bakal membuatnya semakin sedih bahkan depresi, ketika mendapati informasi yang tidak seharusnya dia ketahui dari si mantan.
Kenapa dia justru memilih untuk terus menerus memunculkan dementor di dalam pikirannya? Apa yang sebetulnya dia cari? Pengakuan semacam apakah? Bukankah akan lebih baik-baik saja, kalau kita tidak terlalu mengetahui banyak hal? Seperti, tidak apa-apa menjadi orang yang tidak tahu apa-apa.
Dia menyadari itu, tapi tetap memilih mencari tahu—kalau bisa—sampai ke akar-akarnya, suatu hal yang sama sekali nggak ada nyaman-nyamannya. Buat apa, sih? Sayangnya, ternyata rasa sakit bisa semenagih itu. Membuatnya seolah terus mendamba rasa sakit hasil kepo, dan bikin dia terus mengulanginya lagi dan lagi.
Ya, sebagian orang sungguh menikmati betul rasa sakit hati yang didapatkan dari kepo mantan. Rosdiana Setyaningrum, seorang psikolog menyebut hal ini sebagai masokis emosional. Seorang dengan sengaja kepo mantan dan stalking untuk menikmati rasa sakit dari setiap informasi yang dia dapatkan. Sebagian lagi berharap, mereka dapat terlihat terpuruk di mata mantan. Lantas, siapa tahu si mantan kasihan terus ngajak balikan. (((Siapa tahu loh, ya))).
Soal kepo mantan ini, biasanya dilakukan oleh orang-orang yang belum merasakan betul keamanan dalam hidupnya. Mungkin ada sebuah kejadian di masa lalu yang membuatnya terus menerus kepo untuk memuaskan rasa ingin tahu yang semu itu. Inilah yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Supaya rasa aman di hidupnya betul-betul dapat dia rasakan.
Pasalnya, akan jadi lebih membahayakan saat seorang yang suka kepo mantan kemudian bertransformasi menjadi seorang stalker tingkat tinggi. Nah, kalau keinginan cari tahu ini nggak bisa dikontrol, akan memungkinkan suatu saat nanti jadi pengin menyadap media sosialnya, mungkin? Iya, langsung main sadap-menyadap, nggak sekadar bikin fake account, doang. Kalau udah kayak gini, apa ya nggak menganggu privasi?
Udahlah, dicukupkan saja informasi untuk semakin menyakiti diri sendirinya. Apa pun yang dia lakukan, tidak seharusnya membuatmu sakit hati dan merasa sedih sendiri. Untuk apa semua rasa sakit itu? Memangnya kalau kamu sakit, dia bakal balik bersimpati dan menolongmu? Ohhh, jangan terlalu ber-FTV ria seperti itu, Maemunah.