MOJOK.CO – Jika Thalita Latief bisa lepas bahagia setelah perceraian, saya yakin, kita semua juga pantas mendapatkan kebahagiaan yang sama.
Sudah banyak tulisan di Mojok yang mampu menjelaskan dengan sangat baik bahwa sebuah hubungan buruk perlu segera disudahi. Terutama bagi mereka yang masih pacaran, mumpung masih punya “voucher” untuk bubar, tolong dimanfaatkan.
Sejauh pengalaman saya pribadi, terjebak dalam hubungan yang tidak sehat itu memang menyiksa. Dilema. Menjebak kamu ke dalam sebuah kebingungan yang menyebalkan. Antara memilih untuk putus dan mengakhiri semuanya sedini mungkin, atau mempertahankan hubungan karena melibatkan cinta di dalamnya.
Dulu, saya selalu percaya, semuanya bisa diperbaiki asal ada keterbukaan dan kerelaan untuk menjadi pendengar. Tapi sayang, manusia itu makhluk manipulatif. Saya tidak menghakimi semua manusia seperti itu. Namun, saya curiga, di alam bawah sadar semua manusia, kita selalu ingin memanipulasi sebuah keadaan (pasangan termasuk di dalamnya), supaya menjadi nyaman, meski sebenarnya semuanya ilusi saja.
Misalnya, saya, tidak mau mengakhiri hubungan yang beracun karena ada cinta di sana. Saya memaksa diri ini berpikir bahwa semuanya baik-baik saja. Nah, di sini, saya sedang memanipulasi diri sendiri. Menipu otak dan akal sehat dan berakhir menjadi siksaan batin.
Oleh sebab itu, ketika melihat Thalita Latief menari dan bisa tersenyum lega setelah bercerai, saya ikut bahagia. Saya bukannya ingin mengglorifikasi perceraian. Namun, kalau memang bisa dilakukan, ketimbang hidup dalam kubangan siksa batin, lebih baik pisah.
Dan, ketika Thalita Latief bisa melakukannya, saya rasa, keputusan besar itu perlu dinormalisasi. Mempertahankan hubungan itu tak pernah menjadi usaha satu pihak. Namanya saja hubungan, ada dua ujung di sana. Kalau hanya Thalita Latief (atau kamu) yang berjuang, perpisahan jadi keputusan paling bijak.
Beberapa bulan yang lalu, teman saya melewati proses yang sama seperti Thalita Latief. Jauh di dalam hatinya, dia tidak ingin ada perceraian. Namun, dia juga sadar bahwa sesuatu yang dipaksakan tidak pernah berujung manis. Beberapa bulan setelah menikah, teman saya digugat cerai oleh istrinya.
Sebagai teman yang menampung segala keluhnya, saya berusaha untuk mencegah perceraian itu terjadi. Sebagai pemeluk Katolik, cerai itu “haram”. Pasti bisa dipertahankan. Bisa diobrolkan.
Namun, di sini, saya malah memanipulasi teman saya, bahwa kebahagiaan dia harus bergantung kepada kalimat-kalimat “sok bijak” yang keluar dari mulut saya. Padahal, kebahagiaannya, kebahagiaan Thalita Latief, adalah hak mutlak mereka. Saya tidak boleh memanipulasinya menjadi sebuah omong kosong bernama “berjuang demi cinta”.
Saya juga sadar bahwa menikah itu bukan tentang mengejar kebahagiaan. Menikah adalah tentang menyeimbangkan banyak hal. Salah satunya saling menerima kelemahan karena penerimaan paling tinggi adalah ikhlas. Ya tentu saja ada bumbu cinta di sana. Keseimbangan yang dibangun berdua itulah yang akan menjadi jalan menuju kebahagiaan.
Jadi, ada banyak hal nggak enak di dalamnya. Ada saling menyalahkan. Ada rasa marah. Kecewa. Namun, kesadaran untuk tetap menjaga keseimbangan tetap ada. Semuanya menjadi berbeda ketika rasa marah itu dibalut ego tinggi. Semua jadi tidak seimbang. Sakit hati menjadi luka batin.
Perpisahan itu memang sakit. Tidak ada perpisahan yang tidak meninggalkan luka. Namun, kemampuan untuk menyadari bahwa rasa sakit tidak mungkin ditepis itu, yang membuat perpisahan tidak semenyeramkan itu… bahkan tentang kematian.
Thalita Latief yang terlihat sangat bahagia memotong kue perayaan, tidak mungkin tidak merasakan sakit. Tawa Thalita Latief itu, saya yakin, dibangun dari rasa kecewa yang menumpuk. Bibirnya tersenyum lebar karena otot-otot di wajahnya ditarik dengan sangat kuat oleh luka batin.
Thalita Latief bisa melewati itu semua dan dia berhak merayakannya. Oleh sebab itu, di atas, saya tegaskan bahwa keberanian untuk lepas dari hubungan beracun harus dirayakan, bahkan dinormalisasi. Setiap manusia, laki-laki, perempuan, non-binari, semuanya berhak lepas dari luka batin.
Kita semua berhak hidup dengan rasa bebas dari luka batin. Duka karena luka batin itu salah satu kesedihan paling awet di dunia ini. luka sayatan dan tikaman bisa sembuh meski berbekas. Namun, luka batin tidak meninggalkan bekas, tapi rasa perihnya tak akan pernah hilang.
Oleh sebab itu, di akhir tulisan ini, saya mengajak pembaca untuk menundukkan kepala sejenak dan tenggelam dalam doa. Mari kita doakan Gabby Pepito, yang menjadi korban dari luka batin itu. Mari kita kenang Pepito. Sebagai pengingat kepada diri sendiri bahwa hubungan beracun sudah sepantasnya ditawarkan, bukan dipertahankan.
Tiba-tiba saya teringat sebuah momen ketika Keanu Reeves menjawab pertanyaan Steven Colbert di sebuah talk show.
“Apa yang akan terjadi ketika kita mati, Keanu Reeves?” Tanya Colbert.
Keanu menjawab, “Saya tahu, bahwa orang yang sayang kepada kita, akan merindukan kita.”
Jawaban itu membuat satu studio terdiam sedetik lalu larut dalam tepuk tangan. Steven Colbert terdiam, karena mungkin dia terhenyak mendapatkan jawaban sedalam itu.
Ternyata, mengasihi diri sendiri juga sebuah usaha untuk menjaga kebahagiaan orang lain… mungkin secara tidak langsung. Luka batin, tidak boleh diderita semua orang. Jika Thalita Latief bisa lepas dari itu semua, saya yakin, kita semua juga pantas mendapatkan kebahagiaan yang sama.
BACA JUGA Toxic Relationship: Awas, Terjebak Manipulasi Pacar Sendiri! dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.