MOJOK.CO – Susah juga jadi orang ngorok pas tidur. Ya tahu, kalau suaranya itu emang bikin orang keganggu. Tapi gimana? Wong, nggak bisa dikendalikan~
Saya punya teman dekat dan dia meyakini kalau dia ngorok ketika tidur. Hal ini dikuatkan dengan perkataan orang-orang terdekatnya, kalau saat tidur suara ngoroknya sungguh keras sekali. Tentu saja, bukan dengan nada ejekan yang menyebalkan, tapi sebatas guyonan belaka.
Hal yang kelihatannya ”sepele” ini, ternyata cukup menganggunya. Berbagai hal telah ia coba untuk menahan suara keras tersebut keluar dari tenggorokannya. Seperti menyumpal mulutnya dengan sarung saat tidur, tidur miring—seperti yang banyak disarankan orang, tidur telungkup, tidur terlentang, dan berbagai posisi tidur lain hingga membuat tidurnya kurang berkualitas. Selain itu, dia juga telah mencoba menurunkan berat badannya, tapi hasilnya masih sama saja. Teman kontrakannya yang lain, masih mendengar suara dengkuran kerasnya tiap ia tidur. Bahkan mereka sampai menghafal betul ritme suara tersebut. Bagaimana suara ngorok itu keras di awal, tenang di tengah, dan kembali keras saat dia akan terbangun.
Setiap kali ada acara di luar kota yang mengharuskannya menginap, ia selalu berharap mendapatkan kamar yang sendirian. Pasalnya, dia merasa kurang nyaman jika berada dalam satu kamar dengan “orang asing”. Bukannya dia sok eksklusif, hanya saja dia takut kalau suara ngoroknya saat tidur nanti bisa menganggu rekannya yang sedang beristirahat. Belum lagi, kalau ternyata malah dia harus sekamar dengan orang yang “posisinya” lebih tinggi dibandingnya. Walah, jelas rasa sungkan dan cemas bakal menjalari dirinya bahkan jauh sebelum berangkat.
Tidak hanya soal tidur malam saja dia mengeluarkan suara ngoroknya dengan keras. Saat tidur di tengah hari yang sebentar saja, suara ini tetap saja keluar. Katanya, saat dalam perjalanan panjang menggunakan kereta, dia pernah sangat berusaha untuk tidak tertidur. Hadeeeh, orang yang aneh. Pikir saya saat itu. Bagaimana bisa, ketika kita punya kesempatan beristirahat dalam perjalanan—di kereta lagi, yang goncangannya lebih stabil—dia justru memilih untuk melek saja? Orang ini pengin bikin video perjalanan dengan sawah-vibes, atau gimana, sih?
Ternyata, pernah suatu waktu dia berpergian dengan kereta bersama 4 orang temannya. Yang mana, dua di antaranya adalah seniornya sendiri yang dituakan di lingkungannya. Nah, di tengah perjalanan saat keempatnya terbangun, salah seorang seniornya ini bilang sambil bercanda ke dia, “Wah, tadi kamu pas tidur ngoroknya keras banget. Satu gerbong kayaknya kedengaran, deh. Sampai pada banyak yang noleh ke sini.” Lalu diikuti dengan tawa teman-teman yang lain, termasuk dirinya sendiri.
Saat itu, rasanya dia pengin menyangkal saja kalau dikatain tidurnya tadi ngoroknya keras banget. Wong, dia sendiri yang mengeluarkan suara itu saja nggak kedengaran suara ngoroknya. Bagaimana bisa, orang lain dengan mudahnya menuduh-nuduh begitu? Hem?
Meskipun saat itu dia ikut tertawa, sebetulnya dia merasa sangat malu sekali. Lebih tepatnya, merasa sungkan dan tidak nyaman karena sudah menganggu istirahat orang lain. Rasa malu ini pun jadi bertumpuk, karena dia kepikiran dengan perjalanannya menggunakan kereta yang lalu-lalu. Jangan-jangan, dulu saat tidur, suara ngoroknya juga terlalu sering menganggu? Hanya saja, nggak ada yang pernah bilang, karena mungkin nggak enak untuk bilang padanya?
Menyadari kalau dia ngorok ini, membuatnya merasa sungkan dan takut kalau tidurnya jadi menganggu orang lain. Akan tetapi, dia juga nggak punya kendali apa pun atas suara tersebut. Jadi, pada akhirnya, ya sudah. Mau bagaimana lagi?
Mungkin dia memang telah membuat orang lain tidak nyaman. Tapi, dia juga merasa tidak dapat berbuat banyak soal hal ini. Selain, tetap berusaha keras menurunkan berat badannya, hal lain yang menjaganya untuk tidak semakin terpuruk adalah meyakini kalau orang di sekitarnya tahu dia ngorok. Dan ketika mereka tidak meninggalkannya hanya karena hal tersebut. Itu artinya, mereka telah menerimanya sebagai teman yang memang ngorok saat tidur.
Ngorok memang menjadi suara yang sering kali membuat kita terganggu. Namun, kita pernah kepikiran nggak sih, kalau mereka juga sebetulnya tidak ingin menganggu kita? Segala bentuk gangguan tersebut, betul-betul tidak dapat dia kendalikan. Lantas, haruskah kita masih marah-marah saat berhadapan dengan suara tersebut? Kalau memang orang yang ngorok nggak bisa mengendalikan dirinya sendiri atas suara tersebut, tidak seharusnya kita tetap diam diri dan hanya menyalahkannya saja. Kenapa kita nggak berusaha mengendalikan diri kita sendiri supaya tidak merasa terganggu. Misalnya, pakai headset, mungkin? Bukankah ini dapat lebih menetralisir suara yang terdengar—fokus pada suara yang kita mau?
Kalau dalam perjalanan, kita menemui orang-orang semacam ini. Asalkan dia sudah mau pakai masker saat tidur, itu artinya dia sudah berusaha untuk meredam suaranya. Atau sekadar untuk nutupin mulutnya yang terbuka biar salivanya nggak netes-netes. Pokoknya, setidaknya dia telah berusaha.
Btw, saya sedih kalau ada celetukan semacam, “Wah, tampilan udah kece, tapi kok ngorok?” Lha, memangnya kenapa? Apakah ada relasi linier antara tampilan dan ngorok? Mohon maaf nih, seburuk itukah suara ngorok? Atau semerugikan itukah? Memangnya lebih merugikan yang mana dibanding jadi tukang nyerobot antrian? Udah jelas ngerugiin, malu-maluin, kampungan, nggak bisa ngendaliin dirinya sendiri lagi. Hadeeeh~