Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Noah dan Bintang di Surga yang Dulu Aku Benci, Kini Kucintai

Saya menulis artikel ini sambil mendengarkan lagu-lagu Noah di Spotify.

Yamadipati Seno oleh Yamadipati Seno
7 Januari 2022
A A
Noah dan Bintang di Surga yang Dulu Aku Benci, Kini Kucintai MOJOK.CO

Ilustrasi Noah dan lagu Bintang di Surga. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Berkat pengalaman yang mulai menumpuk dan otak manusia yang merekam dengan baik. Noah dan Bintang di Surga, kamu keren juga, ya.

Katherine Schulten dan Michael Gonchar, dua penulis The New York Times bersepakat bahwa di dunia ini tidak ada makanan yang tidak kita suka. “Semuanya soal makanan yang belum kita coba, bukan makanan yang kita benci.”

Keduanya merujuk kepada rasa atau taste manusia. Di satu sisi, pendapat keduanya sangat masuk akal. Terkadang kita sangat skeptis ke sebuah menu, padahal belum pernah mencicipi dan mencari tahu rasa yang terkandung. Kita menghakimi dengan sesuatu yang kita sendiri tak memahaminya… setidaknya belum.

Soal rasa, manusia juga menggunakannya untuk membuat semacam indikator untuk selera musik. Setidaknya ini berlaku untuk saya sendiri ketika mendengarkan Noah, yang dulu masih menggunakan nama Peterpan. Mendengarkan Bintang di Surga, lagu baru yang dirilis ulang, rasanya malas sekali. Rasanya enggan, bahkan sekadar untuk membiarkan lagu itu usai dimainkan sebuah pemutar musik lawasan.

Peterpan, kini Noah, pernah masuk ke dalam daftar lagu yang tak akan saya dengarkan seumur hidup. Ketimbang Noah dan nomor Bintang di Surga yang video barunya lumayan keren itu, saya lebih memilih mendengarkan Didi Kempot atau Erie Suzan. Saya suka lagu Muara Kasih Bunda yang didendangkan Erie dengan suaranya yang menggelegar itu.

Referensi musik saya sendiri bisa dibilang “sangat tidak Indonesia”. Sudah begitu, terbatas di genre yang itu-itu saja. Dulu, yang saya dengarkan bahkan cuma Slipknot, Eminem, Dr. Dre, Nas, dan Tupac. Sudah. Lima seniman itu saja.

Lagu-lagu Indonesia? Paling cuma Dewa dan Padi. Peterpan dan Noah? Keduanya tak pernah bisa mendekat ke hati saya. Apalagi masuk. Lagu-lagunya saya anggap cengeng, Ariel Noal kalau nyanyi nggak buka mulut, dan histeria dari lagu-lagu mereka yang terlalu berlebihan… buat saya tentunya, bikin nggak nyaman.

Namun, terjadi sebuah perubahan yang saya sendiri tidak menyangka bakal terjadi. Seiring usia, ada pergeseran selera yang tidak saya duga. Lagu-lagu dari band atau penyanyi solo yang dulu “enggak banget” jadi lebih enak untuk didengarkan. Bahkan, pada titik tertentu, saya jadi suka banget.

Awalnya adalah Gigi dengan lagu-lagu religinya. Lagu-lagu dengan napas Islam, padahal saya Katolik. Lalu lagu-lagu cinta mereka, dengan lirik yang sebetulnya “tidak canggih” untuk ukuran prosa, tapi pas dan enak sekali. Cocok untuk menemani perjalanan pulang dari kantor yang bisa mamakan waktu sampai 45 menit.

Gigi, dengan lagu-lagunya yang ajaib menjadi band yang paling banyak saya dengarkan sepanjang 2021. Spotify mencatatnya dengan baik. Bahkan membuatkan folder tersendiri.

Lalu soal Noah. Yah, saya bahkan kaget ketika ikut berbendang di kantor di sebuah malam. Teman-teman sedang mengaso. Mereka bermain gitar dan sing a long dari sebuah pemutar lagu. Malam itu, kebetulan, adalah Bintang di Surga, lagu Noah yang baru dipermak ulang, plus dibikinkan video yang kata Ajeng Rizka, admin Mojok, mirip video Free Fire.

Iya, saya ikut berdendang. Saya tidak tahu lirik lagu Bintang di Surga. Namun, saya bisa ikut menyanyikannya. Tentu dengan suara yang sangat tidak menyenangkan untuk didengar khalayak ramai. Batin saya, “Sialan!” Untung, teman-teman di kantor tidak tahu soal pergolakan yang terjadi di dalam batin saya.

Konyolnya, saya menulis artikel ini sambil mendengarkan lagu-lagu Noah di Spotify. Pas sampai di paragraf ini, lagu yang diputar adalah Dan Hilang. Beat yang asik membuat saya lebih cepat menulis. Sialan, kenapa jadi enak seperti ini.

Frank Bruni, kolumnis The New York Times, menegaskan begini: “There’s beet aversion, and there’s beet adoration.” Di kehidupan ini, ada periode keengganan dan periode pemujaan.

Iklan

Frank itu picky eaters. Kalau makan, dia suka pilih-pilih. Tapi ini masih mending ketimbang kalau ditanya mau makan apa, jawabnya: “Confess dulu nggak, sih.” Menyebalkan.

Perubahan dalam diri Frank terjadi di usia 30an, ketika dia menyadari bahwa semuanya adalah soal pengalaman dan yang terekam oleh otak. Dr. Gary Beauchamp, ahli rasa dari Monell Chemical Senses Center di Philadelphia, menegaskan hal ini.

“Sebetulnya ini semua tidak selalu terkait dengan mulut atau selera, tapi tentang sesuatu yang terjadi di dalam otak manusia,” kata Dr. Gary. Pengalaman yang menumpuk membuat otak akan merespons hal yang sama dengan “cara baru”.

Soal rasa, saya mengalaminya di selera musik. Saya sudah mulai jarang mendengarkan Slipknot. Mungkin, kecuali, ketika stres menumpuk.

Pergeseran pemikiran di dalam otak, mungkin, yang membuat saya bisa menerima, bahkan di derajat tertentu, mencintai lagu-lagu Noah. Saya menemukan bahwa lirik-lirik yang terkandung, kok ya ndilalah, bisa menggambarkan suasana hati dan pemikiran.

Dulu, saya menemukan lagu-lagu Peterpan atau Noah sebagai lagu cinta saja. Namun ternyata, semuanya lebih besar ketimbang sebatas cinta dua insan saja. Ada pemikiran kompleks yang disederhanakan lewat suara aneh dari Ariel.

Begitulah, pergeseran selera tidak melulu soal rasa dan indera pengecap. Ada juga soal taste buds atau selera di musik. Berkat pengalaman yang mulai menumpuk dan otak manusia yang merekam dengan baik. Noah, kamu keren juga, ya.

BACA JUGA Daya Lenting Seorang Ariel Noah dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Penulis: Yamadipati Seno

Editor: Yamadipati Seno

Terakhir diperbarui pada 8 Januari 2022 oleh

Tags: ariel noahbintang di surgaborileminemnoahpeterpanselera musikslipknot
Yamadipati Seno

Yamadipati Seno

Redaktur Mojok. Koki di @arsenalskitchen.

Artikel Terkait

Mahasiswa Jawa Timur kuliah di PTN Jogja mendadak goblok karena selera musik MOJOK.CO
Ragam

Mahasiswa Jatim di PTN Jogja: Jadi Goblok Perkara Beda Selera Musik, Dicap “Rendahan” Hanya karena Tak Tahu Perunggu-FSTVLST

18 Agustus 2025
Peterpan Punya Kasta Lebih Tinggi Dibanding Sheila on 7 MOJOK.CO
Esai

Sederet Alasan Mengapa Peterpan Lebih Memengaruhi Selera Pendengar Musik Indonesia Dibanding Band Papan Atas Lain, Salah Satunya Sheila on 7

23 Juni 2025
Punya Pacar Penggemar K-Pop Lebih Merepotkan Daripada Penggemar Ariel Noah MOJOK.CO
Kilas

Punya Pacar Penggemar K-Pop Lebih Merepotkan daripada Penggemar Ariel Noah

17 Desember 2023
ilustrasi Iqbaal Ramadhan video klip Noah Yang Terdalam (Mojok.co/Ega Fanshuri)
Pojokan

Menghitung Jarak Iqbaal Ramadhan Jalan Kaki di Video Klip Noah-Yang Terdalam

21 Desember 2021
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.