MOJOK.CO – Mahfud MD klaim tak ada pelanggaran HAM pada era Presiden Jokowi. Beberapa pihak menganggap pernyataan ini menyesatkan. Hm, nggak juga ah.
Pernyataan Mahfud MD, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), yang berani mengklaim kalau tak pernah ada sekalipun pelanggaran HAM di era Presiden Jokowi, memancing reaksi keras dari publik.
“Coba lihat di era Pak Jokowi, sejak 2014, sampai sekarang tidak ada satupun isu pelanggaran HAM. Kejahatan banyak, pelanggaran oleh oknum juga banyak, dan itu sedang diproses,” kata Mahfud MD.
Dalam hal ini Mahfud MD mencoba memberi garis batas antara pelanggaran HAM dengan tindak kejahatan biasa.
Menurutnya, pelanggaran HAM itu adalah ketika pemerintah melakukan sebuah tindak kejahatan dengan perencanaan, jika hal itu tidak dilakukan secara terencana dan terjadi secara sporadis, maka hal itu tidak bisa masuk pada kategori pelanggaran HAM.
Artinya, aksi kekerasan yang dilakukan selama era Jokowi—menurut versi Mahfud MD—tidak bisa dikategorikan pelanggaran HAM. Karena semuanya dilakukan dalam reaksi spontan dan tak terencana.
Hm, iya juga ya?
Masalahnya, pernyataan ini memancing counter yang sangat tegas. Tercatat Komnas HAM dan KontraS adalah dua lembaga yang menilai ada persoalan pada pernyataan Mahfud MD.
“Narasi yang menyesatkan,” ujar Kepala Riset Penelitian KontraS, Rivanlee Anandar seperti diberitakan CNN Indonesia.
Di sisi lain, Komnas HAM pun menilai kalau pernyataan Mahfud MD ini perlu untuk direvisi, agar tidak menyebabkan kekeliruan berpikir di masyarakat.
“Statement Pak Mahfud harus dikoreksi,” kata Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara.
“Kan pelanggaran HAM itu bukan hanya langsung karena perintah. Tapi membiarkan terjadinya pelanggaran HAM juga melanggar hak-hak yang lain,” tambahnya.
Di sisi lain, Mahfud sendiri tidak menampik bahwa memang ada kejahatan dari aparat pemerintah, namun sifat kejahatannya tak terencana. Atau kalau dalam bahasa yang lebih keren ala politisi biasanya ditandai dengan pilihan kalimat: “Ah, itu kan dilakukan oleh oknum.”
Secara hukum, penjelasan yang dilakukan Mahfud MD ini jelas masuk akal. Meski kalau secara politik, kalimat tersebut berisiko—meminjam kata-kata dari KontraS—”menyesatkan”.
Hm, ya itu kan kalau menurut orang-orang yang nggak suka sama pemerintahan Jokowi yang luar biasa sempurna ini, kalau buat pendukung Pakde, jelas kalimat ini benar dooong.
Sebab segala macam pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, pada kenyataanya memang tak ada kok yang pernah dilakukan oleh lembaga pemerintah.
Mau ambil contoh mana?
Peristiwa 65 (1965-1966), penembakan misterius (1983-1986), peristiwa Talangsari (1989), tragedi rumah gedong Aceh (1989-1998), penembakan mahasiswa Trisakti (1998), penculikan dan penghilangan orang secara paksa (1997-1998).
Atau tragedi Semanggi I dan II (1998-1999), tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh (1999), Peristiwa Wasiyor (2001), peristiwa Wamena (2003) dan Tragedi Jambu Keupok Aceh (2003).
Atau mau yang baru-baru ini terjadi?
Kita bisa melihat data dari KontraS. Seperti beberapa data terkait 64 peristiwa yang terjadi di masyarakat. Dari penembakan, penganiayaan, dan penangkapan.
“Dari puluhan peristiwa yang terdokumentasikan, korban yang tercatat mencapai 1.218 orang, yang terbagi dari korban ditangkap, luka, dan tewas,” tulis laporan dari KontraS.
Selain itu, masih ada 187 peristiwa soal penahanan secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Angka itu saja hanya menampilkan data antara Desember 2018 sampai November 2019. Dengan jumlah korban penangkapan sebanyak 1.615 orang.
Beberapa data ini diambil ketika aksi May Day 2019, kerusuhan 21-23 Mei, serta rangkaian unjuk rasa masyarakat Papua saat merespons kejadian rasisme Asrama Papua di Surabaya. Juga aksi mahasiswa pada 23 sampai 30 September 2019.
Ini belum dengan memasukkan data tindak kekerasan dan kriminalisasi pada aktivis HAM dan tindakan pemerintah yang terkesan bernegosiasi dengan para pelaku langsung pelanggaran HAM pada masa lalu.
Jika mengacu pada penjelasan Mahfud MD, jelas semua itu nggak ada yang bakal masuk pada kategori pelanggaran HAM.
Lah, kok bisa gitu?
Jawabannya, karena semua hal di atas akan dimasukkan dalam kategori kejahatan biasa. Soalnya, kalaupun nanti kejahatan dari data KontraS itu bisa dibuktikan di pengadilan (meskipun yaaah rasanya mustahal), lembaga pemerintah tinggal menyebut saja kalau pelakunya “oknum”.
Selesai. Urusan beres. Makan-makan kita.
Ketika kejahatan itu dilakukan “oknum”, maka secara otomatis pula keterlibatan lembaga pemerintah menjadi hilang dengan sendiri. Ketika keterlibatan pemerintah hilang, maka jelas tindakan itu tidak direncanakan dan sifatnya spontan.
Makanya, pelanggaran-pelanggaran itu bukan masuk kategori pelanggaran HAM, melainkan kejahatan biasa yang dilakukan “oleh oknum aparat pemerintah”.
Yah, harus diakui. Dalam hal komunikasi politik, penggunaan kata “oknum” memang jadi semacam obat mujarab untuk cuci tangan pelanggaran yang dilakukan oleh instansi pemerintah.
Penggunaan diksi ini memang canggih untuk bisa memisahkan pemerintah dari segala macam kesalahan yang pernah dilakukannya.
Lha gimana? Kesalahan lembaga jadi kesalahan perorangan je. Ibarat instansi pemerintah tetap suci, pelakunya penuh dosa.
Dengan logika seperti itu, maka sudah jelas kalau memang Mahfud MD benar, bahwa tak ada pelanggaran HAM yang terjadi di era Jokowi.
Bahkan kalau mau pakai logika “oknum-oknum” kayak gini, tak cuma di era Jokowi saja yang tak ada pelanggaran HAM, zaman petrus (penembak misterius) era Pak Harto pun juga nggak ada itu pelanggaran HAM.
Lah wong itu dilakukan oleh “oknum”. Iya kan Pak Mahfud?
BACA JUGA Asal Usul ‘MD’ dalam Nama Mahfud MD atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.