MOJOK.CO – Kurir, mau itu bekerja untuk jasa pengantaran barang atau bagian dari sebuah e-commerce, gampang sekali jadi korban ketika COD.
Masalahnya itu sederhana banget. Pertama, penjual atau seller di segala marketplace kadang nggak ngirim barang sesuai pesanan. Kedua, pelanggan yang nggak memahami sistem COD. Jadi kalau barang yang datang nggak sesuai pesanan, kurir jadi sasaran.
Ketiga, sistem COD nggak dipahami karena banyak manusia nggak mau ribet membaca. Segala keluhan, seharusnya, disampaikan lewat aplikasi. Sayangnya, banyak yang barbar dan lebih suka memaki kurir. Jadi balik ke nomor dua lagi.
Sampai di titik ini, yang selalu jadi sasaran netizen adalah pembeli yang barbar dan seller nggak jujur, bahkan penipu. Kadang, kita menutup mata terhadap risiko kurir. Suara mereka tak terpampung. Di tengah masalah yang terjadi, kurir sebatas entitas yang selalu bisa disalahkan.
Masalah kurir bukan cuma barang nggak sesuai pesanan
Adalah Yuda Harsoyo, menyampaikan satu hal menarik di luar masalah barang nggak sesuai pesanan. Yuda sudah bekerja di Gojek selama 3 tahun, khususnya di bagian Go-Send sameday atau layanan pengantaran barang dengan batas waktu satu hari setelah booking dibuat.
Ketika bekerja di Go-Send sameday, Yuda belum pernah ketemu pelanggan barbar terkait isi paket. Omelan yang dia terima justru berasal dari sistem Gojek sendiri.
“Jadi, jeleknya, kalau barang online, yang mana kebanyakan dari Shopee, titik lokasinya suka melenceng jauh banget. Saya pernah tuh dapat order harusnya ke Depok, tapi titiknya di Jakarta Utara,” kata Yudo. Tahukah kamu, jarak antara Depok ke Jakarta Utara ada sekitar 45 kilometer. Gillss….
“Saya pernah coba telpon ke penerima paket. Sementara dia tetap ngotot titik antarnya udah benar. Sempat terjadi adu omongan sebentar. Tapi yah, risiko kurir. Mau nggak mau, tetap harus berangkat. Kalau misal cancel kan nanti ngaruhnya di aplikasi.”
“Jadi di bagian ini sama kayak driver Gojek lainnya?” Tanya saya dengan polosnya.
“Kalau performa di bawah 70 persen nggak bisa dapat bonus. Malah kalau keseringan cancel itu bahaya banget bisa kena suspend. Saya pernah kontak CS Gojek. Siapa tahu bisa cancel dari sistemnya, tapi tetap saya yang disuruh cancel. Mitra Gojek lainnya juga sering mengalami hal yang sama.”
“Nggak protes, Mas?”
“Saya pernah ngirim email untuk saran. Tapi kok cuma bot balasnya. Habis itu nggak ada perubahan,” kata Yuda.
“Mas Yuda betah dengan sistem seperti itu?”
“Kalau saya, sih, saya jadi kurir itu alhamdulillah, bisa nutupin biaya kuliah. Meski (pendapatan) nggak banyak, orang tua udah senang. Setidaknya saya jadi tahu susahnya cari duit.”
Soal titik antar yang meleset jauh ini dikonfirmasi oleh saudara saya yang sedang jadi mitra Gojek. Katanya, karena udah capek kerja, jadi nggak ada energi lagi untuk protes.
Mau nggak mau, dia tetap jalan karena kebutuhan. Pada titik tertentu, seller senang karena barang terjual. Pembeli senang karena barang sampai dengan selamat. Namun, di balik itu, ada kurir lari sana-sani menuju titik antar yang meleset tapi nggak bisa berbuat apa-apa selain menjalaninya.
Pembeli nggak mau bayar, kurir yang kena semprot
Namanya Hikmat Muharom, bekerja di JET Express, jasa antar barang yang sering dikira J&T karena nama dan logonya mirip. Mas Hikmat sudah 2 tahun bekerja sebagai kurir di JET. Dan soal jadi sasaran pembeli barbar, Mas Hikmat pernah mengalaminya.
“Sering cekcok kecil, apalagi yang nggak mau bayar. Ada banyak, Mas. Kebanyakan bilang belum ada uang karena belum gajian. Padahal kan kalau belum gajian, ngapain belanja kan ya,” kata Mas Hikmat.
“Terus yang sering terjadi tuh banyak yang pengin buka paketnya dulu. Mau lihat barangnya. Padahal kan kalau sesuai SOP nggak boleh dibuka. Jadinya di situ cekcok dulu. Pernah ada yang dibuka tanpa sepengetahuan saya. Dibawa masuk rumah tuh paket. Saya kira mau ambil uang.”
Menurut penuturan Mas Hikmat, masalah yang dia hadapi adalah barang nggak sesuai pesanan. Misalnya paket yang dibuka tanpa sepengetahuannya. Ternyata paketnya berisi celana panjang. Setelah dicoba, eh nggak muat, nggak sesuai pesanan. Pembeli nggak mau bayar.
“Kenapa yang kayak gitu sering terjadi?”
“Kadang pembeli itu ekspektasinya tinggi banget. Kita tahu, kebanyakan barang COD kan barang murah, jadinya ya kadang kualitasnya begitu. Kalau udah begitu, pembeli nggak mau bayar. Kalau cancel, performa kurir yang jadi nggak 100 persen. Kena juga, nih,” jelas Mas Hikmat.
Mas Hikmat sendiri bisa memaklumi kalau pembeli ngambek. Dia punya pesan khusus buat seller. “Tolong itu seller juga jualan yang jujur. Kasih barang sesuai pesanan. Biar berkah. Buat pembeli, tolong pahami posisi kurir. Kami cuma jalankan SOP COD dari perusahaan. Kalau mau komplain, langsung ke seller atau via marketplace. Kurir juga manusia, jangan dihina-hina.”
Seller dan buyer sama-sama salah
Mas Alnugh sudah 1 tahun bekerja sebagai kurir J&T. Dia punya pandangan menarik terkait video viral emak-emak goblok-goblokin kurir beberapa hari yang lalu.
“Siapa yang salah? Pertama, saya bukan hakim yang bisa jadi penentu siapa yang salah dan benar. Kedua, harus dilihat full dari awal sampai akhir kronologinya. Ketiga, kalau hanya dilihat dari video sepintas, jelas saya akan menyalahkan seller dan buyer-nya,” kata Mas Alnugh.
“Nih alasannya: karena, sebagai seller, WAJIB banget ngasih paket yang sesuai dengan deskripsi saat pembelian. Sedangkan yang terjadi itu dari videonya “katanya” barang tidak sesuai. So, kesimpulannya, seller penipu.”
“Buyer, entah tidak tahu atau mungkin kurang tahu soal aturan COD paket. Bahwa secara tertulis ada tuh kalau mau open paket, ya harus dibayar dulu ke kurirnya. Persoalan nanti ada komplain itu urusan buyer dengan seller. Bukan buyer vs kurir seperti yang terlihat di video.”
“Mas Alnugh pernah mengalami yang kayak gitu?”
“Pernah, kok, cuma saya jelaskan pelan-pelan. Saya kasih pengertian. Kalau udah kayak di video itu, memang susah untuk motong omongannya, Mas. saya tunggu aja sampai dia redam. Habis itu saya sampaikan. Pak, Bu, kalau memang paket meragukan atau nggak sesuai boleh diretur, kok.”
“Posisi kurir jadi serba salah ya? Bahkan jadi korban.”
“Kurir jadi korban? Ya memang itu salah satu risiko. Karena teman-teman kurir itu cuma pion dari perusahaan e-commerce, yang berhadapan langsung dengan buyer dan pembeli,” kata Mas Alnugh. Kata-kata yang bikin saya terdiam.
Penuturan Yuda, Hikmat, dan Alnugh bisa menjadi gambaran betapa kurir sering menjadi “tumbal” dari segala ketidakberesan. Kurir, mau itu dari jasa antar barang atau bagian dari e-commerce, gampang sekali jadi korban. Saya rasa, perlindungan kepada kurir perlu diperkuat selain sistem COD perlu ditinjau ulang.
Yah, pada akhirnya, kepada para kurir yang tiap hari mengaspal, saya doakan selalu sehat dan lancar rezekinya. Buat seller, kasih dong barang sesuai pesanan. Buat buyer, jangan malas membaca aturan dan pahami kalau kurir cuma perantara. Jangan digoblok-goblokin.
BACA JUGA Aturan Pintar COD Shopee, Tokopedia, dan Marketplace Lain untuk Pelanggan yang Bodoh dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.