MOJOK.CO – Kenapa ya belakangan ini kita perlu mikir berulang kali sebelum upload foto Instagram. Perasaan dulu los dol tanpa rewel.
Ada sebuah istilah menggelitik yang tercipta dari kultur berbagi unggahan di media sosial: Instagram anxiety. Banyak pengguna Instagram yang mengeluh karena mereka tiba-tiba takut upload video atau foto Instagram. Padahal ketakutan macam ini nggak muncul di lingkungan media sosial sebelumnya. Bener nggak sih kalau pengguna Instagram memang toksik begitu?
Suatu kali kawan saya pernah berpesan ini itu sebelum saya upload sebuah foto ke Instagram. Pertama, dia nggak mau kelihatan lagi ngerokok. Kedua, jika itu sebuah Instastory, sebisa mungkin jangan tag lokasi. Ketiga, kalau bisa nggak usah tag atau mention dia jika sekiranya unggahannya urakan. Saya refleks misuh dan mengatakan bahwa hidupnya sungguh merepotkan. Dia merasa perlu menjaga image di depan pengikut media sosialnya sekaligus menghindari kemungkinan sekecil apa pun bahwa unggahan itu bakal disidak pacarnya sendiri. Padahal, apa yang akan diupload bukan sebuah pengakuan kejahatan atau perselingkuhan.
Namun, sekali waktu saya dapat karma instan karena akhirnya merasakan perlu jaim di media sosial, utamanya Instagram. Pertama, saya nggak pengin kelihatan tanpa hijab, peraturan standar ukhti milenial penuh dosa memang begini. Kedua, jangan upload video atau foto lagi hura-hura di malam hari sambil teler. Ketiga, kalau bisa unggahannya estetis.
Peraturan yang aneh memang, tapi ini saya jalankan dengan penuh kesadaran. Saya nggak pengin keluarga dan saudara tahu betapa kacau acara party anak muda zaman sekarang meski hal ini sudah seharusnya dimaklumi. Nakal-nakalnya bocah biar jadi rahasia sesama bocah. Selain itu, jika unggahan macam ini nggak difilter, ndilalah ada saja yang salah paham nggak penting. Males dong saya jelasinnya.
Nah, soal kenapa unggahannya kalau bisa estetis, ya gimana ya, biar lucu aja. Saya juga pengin gitu membangun image gemas di mata pengikut media sosial yang nggak tahu sama sekali bahwa di dunia nyata saya cukup awut-awutan.
Seiring berjalannya waktu, peraturan tidak tertulis yang ribet itu sering saya dan kawan-kawan hindari dengan sebuah tindakan praktis: nggak usah upload video dan foto Instagram.
Lama-lama kami terbiasa “bungkam” sampai timbul Instagram anxiety. Tidak bisa dimungkiri bahwa ketakutan itu juga timbul akibat berbagai kasus saling merujak, saling menghujat, UU ITE, dan nyinyiran bangsat netizen. Kultur Instagram, saya rasa memang lebih kejam daripada media sosial lainnya.
Mereka yang upload foto Instagram lagi masak-masak, bisa jadi bahan nyinyiran “ah, kayak enak aja masakannya”. Mereka yang upload video nyanyi bisa jadi bahan rasan-rasan “suaranya bagus sih, tapi lebih baik diam”. Selalu ada celah untuk bahan gibah.
Alasan itulah yang bikin orang-orang semakin nggak bernyali untuk sekadar upload foto Instagram.
Begini, saya nggak akan sok-sokan kasih tips bagaimana mengumpulkan nyali untuk upload foto Instagram. Saya nggak ada background untuk kasih saran bagus menghilangkan anxiety. Justru saya mau kasih tahu bahwa hidupmu nggak akan berubah-berubah amat kalau kamu memutuskan untuk nggak mengunggah foto. Sumpah, Nairobi Money Heist juga nggak akan bangkit dari kubur kalau nggak upload foto Instagram.
Nggak ada tekanan dan keharusan atas dirimu untuk menjadi pengguna media sosial yang aktif berbagi. Meskipun kamu memutuskan jadi medioker penyimak, ya nggak masalah. Asal jangan ignorant aja sih.
Lagi pula kita nggak akan bisa mengontrol kultur yang telanjur toksik. Punya impian utopis mengubah bacot netizen jadi komentar yang menyejukkan juga mustahil. Jalan keluarnya simpel. Kalau butuh upload foto Instagram, abaikan ketakutanmu yang belum pasti terjadi itu. Kalau nggak yakin ya udah nggak usaaah. Yang jelas ngumpulin nyali barang cuma mau upload sesuatu ke media sosial itu menyebalkan, kok segitu dramatisnya dan ngabisin energi aja.
BACA JUGA Instagram dan Tekanan Visual dan artikel AJENG RIZKA lainnya.