Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Podium

Mengenal Wasingatu Zakiyah, Aktivis Perempuan yang Konsisten Suarakan Bahaya Politik Uang

Ahmad Effendi oleh Ahmad Effendi
27 Januari 2023
A A
politik uang

Ilustrasi Wasingatu Zakiyah (Mojok.co)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK- Tidak banyak aktivis anti politik uang yang ada di Indonesia. Namun, jika harus menyebut satu nama, maka Wasingatu Zakiyah adalah satunya.

Politik uang atau money politic sendiri memang masih menjadi borok yang mengotori perpolitikan di Indonesia. Setiap kali menjelang pemilu, fenomena ini bahkan sudah menjadi wabah merajalela dan sebagian besar orang menerimanya. Zaki, sapaan akrabnya, adalah sosok yang secara vokal menentang praktik tersebut.

Sejak awal, perempuan asal Blitar ini memang dikenal karena aktivisme di ranah antikorupsinya. Zaki, yang kini menjadi pengasuh Pesantren Barokah Kalimasada Sleman, juga merupakan salah satu inisiator Desa Anti Politik Uang yang dideklarasikan di Desa Sardonoharjo, Sleman, pada 2019 lalu.

Akan tetapi, jika membahas mengenai pemahamannya mengenai aktivisme, ternyata itu sudah mulai terlihat sejak usia belia. Bahkan, ketika masih SMP dan SMA, ia memberanikan diri untuk mendaftar sebagai Ketua OSIS—dan terpilih. Langkah ini termasuk progresif, mengingat pada masanya, perempuan masih menjadi kelompok yang kurang mendapat ruang di ranah kepemimpinan.

“Ibu saya selalu mengajarkan bahwa perempuan tidak boleh lanjar [mengikut saja] ke laki-laki. Kita juga bisa memimpin,” ujarnya, dalam acara Putcast yang tayang di kanal Youtube Mojokdotco, dikutip Kamis (26/1/23).

Setelah aktif sebagai pemimpin di sekolah menengah, jiwa organisasionalnya juga berlanjut di kampus.

Saat menempuh studi S1 di Fakultas Hukum UGM, Zaki aktif di Senat Mahasiswa. Melalui lembaga ini pula, ia tak hanya aktif secara organisasi, tapi juga rajin “Turba” alias turun ke bawah untuk mengadvokasi masyarakat-masyarakat akar rumput yang mengalami masalah dengan hukum. Pendeknya, Zaki dan kawan-kawannya menawarkan layanan bantuan hukum gratis.

Ia mengingat, saat itu “kilen” pertamanya adalah salah satu keluarga asal Blitar yang terusir dari tempat tinggalnya akibat stigma Tragedi ’65. Perkara ini yang membuatnya harus bolak-balik Jogja-Blitar untuk mengadvokasi kliennya tersebut agar mendapat keadilan.

Setelah kasus pertama ditangani, sejak saat itu ia tercatat mulai aktif mendampingi kasus-kasus serupa. Seperti misalnya, yang paling ia ingat, Zaki juga pernah menangani kasus perampasan tanah di Gunung Kidul.

“Lembaga bantuan hukum yang kami inisiasi dulu jadi cikal bakal PKBH [Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum] UGM saat ini,” terangnya.

Demikianlah, pada akhirnya dari layanan bantuan hukum yang ia rintis, Zaki mulai berkenalan dengan diskursus antikorupsi. Mengingat dalam proses advokasi yang ia jalani, isu-isu korupsi ternyata berjalan seirama.

Akhirnya, pada akhir 1990 ia mulai aktif berdiskusi mengenai isu korupsi. Bahkan, saat masih kuliah, ia sudah ditawari bekerja di Indonesia Corruption Watch (ICW), LSM antikorupsi yang berdiri pasca reformasi. Sebagai informasi, pada awal 2000-an kantor ICW dan LBH Jakarta masih menjadi satu.

“Ruangan kantor saya bersebelahan dengan Almarhum Munir,” ujar salah satu penulis buku Menyingkap Mafia Peradilan ini.

Desa Anti Politik Uang

Iklan

Pada masa Orde Baru, kata Zaki, “praktik korupsi cenderung tersentralisasi di pusat”. Sementara setelah era Reformasi yang melahirkan kebijakan otonomi daerah, ia menyambung, “praktik korupsi ini justru malah menyebar”.

Menurut Zaki, fenomena ini yang pada akhirnya memunculkan konsekuensi lahirnya “Raja-Raja Kecil” di daerah-daerah, seperti desa.

“Apa yang dahulu diajarkan oleh pusat, kini juga dilakukan oleh daerah-daerah. Dahulu, karena kekuasaan terpusat, korupsinya juga terpusat. Saat Reformasi, kekuasaan menyebar, korupsinya juga ikut,” ujarnya.

Lambat laun, praktik korupsi ini pun makin menjamur pula di desa-desa. Kepala desa atau lurah, yang diberikan kekuasaan besar untuk mengelola desa, bahkan jadi pihak yang melanggengkan praktik ini. Maka, praktik korupsi di lingkup desa pada gilirannya juga memunculkan politik uang di level pedesaan.

Bahkan, menurut peneliti di Chaksana Institute ini, yang menjadi tantangan di kemudian hari adalah masyarakat bersikap permisif dengan politik uang. Praktik ini seolah-olah sudah jadi kewajaran yang memang mesti ada tiap menjelang pemilu. Dalam bahasanya, politik uang di desa-desa “sudah menjadi banal”.

“Di desa, yang penting itu uang dulu yang diterima, tidak penting siapa yang bakal mereka pilih,” sambungnya.

Akhirnya, atas dasar inilah Zaki punya inisiasi untuk mengedukasi warga tentang politik uang di level desa, khususnya di Sardonoharjo, tempat tinggalnya.

Ia beranggapan, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah mengamanatkan pendidikan politik bagi masyarakat desa. Meski demikian, baginya hal ini belum diimplementasikan di Sardonoharjo. Padahal, politik uang di desa itu masih menjadi problem akut yang harus dikikis melalui gerakan yang sistematis

Akhirnya, sejak tahun 2017 Zaki mulai melobi Kepala Desa Sardonoharjo Harjuno Wiwoho untuk menerbitkan Peraturan Kepala Desa (Perkades) yang mendukung anti politik uang. Ia mengaku, dalam upayanya itu ada banyak tantangan yang harus dia hadapi.

Misalnya, inisiasinya ini ternyata ditentang oleh sejumlah warga karena “uang” yang ditawarkan sudah dianggap sebagai tambahan biaya yang biasa diterima warga setiap pemilu berlangsung. Bahkan, Zaki juga beberapa kali mendapat ancaman dari elite-elite politik yang merasa terusik atas inisiasi itu.

Yang paling melelahkan, adalah bagaimana ia harus melobi dan berdebat dengan perangkat desa yang mayoritas adalah laki-laki. Sementara posisi Zaki seorang perempuan, dan saat itu statusnya “hanyalah” pendatang di Desa Sardonoharjo.

Pun, pada akhirnya upayanya itu berbuah manis. Sejak 2019, sudah terbit Perkades Sardonoharjo Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Desa Anti Politik Uang. Bahkan, Bawaslu Sleman juga telah mendapuk Sardonoharjo sebagai “Desa Anti Politik Uang”.

Sejak saat itu, tiap kali menjelang pemilu, desa dengan 25.000 penduduk ini pun selalu konsisten dengan kampanye anti politik uangnya. Di sana, bakal dipenuhi spanduk-spanduk dan stiker anti politik uang, yang antara lain bertuliskan, “Tolak politik uang” dan “Ojo ndelok duitku“.

“Kita hidup cuman sekali. Jadi kalau kita tahu ada kezaliman dan kita hanya diam, maka pertanggungjawaban di akhirat sangat berat,” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda

BACA JUGA Masa Jabatan Kepala Desa Tak Masuk Akal, Hanya Lahirkan Korupsi dan Oligarki

Terakhir diperbarui pada 27 Januari 2023 oleh

Tags: desa anti politik uangmoney politicPemilu 2024politik uangWasingatu Zakiyah
Ahmad Effendi

Ahmad Effendi

Reporter Mojok.co

Artikel Terkait

Rasanya Satu Kelompok KKN dengan Anak Caleg, KKN Undip.MOJOK.CO
Kampus

Rasanya Satu Kelompok KKN dengan Anak Caleg, Semua Urusan Jadi Mudah Meski Suasana Bikin Tak Betah

14 Juli 2024
Komeng: Olok-Olok Rakyat Biasa untuk Menertawakan Politik MOJOK.CO
Esai

Komeng Adalah Bentuk Olok-Olok Paling Menohok yang Mewakili Lapisan Masyarakat Biasa untuk Menertawakan Politik

19 Februari 2024
bayi prabowo gibran di sumatera selatan.MOJOK.CO
Ragam

Kisah Bidan yang Membantu Persalinan Bayi Bernama Prabowo Gibran di Sumatera Selatan

16 Februari 2024
Cerita Ibu Rumah Tangga di Semarang Dapat Serangan Fajar 4 Parpol, tapi Tetap Golput karena Bukan DPT.mojok.co
Ragam

Cerita Ibu Rumah Tangga di Semarang Dapat Serangan Fajar 4 Parpol, tapi Tetap Golput karena Bukan DPT

15 Februari 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
musik rock, jogjarockarta.MOJOK.CO

JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan

5 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.