MOJOK.CO – Saya tidak menyesal membeli Yamaha XSR155 dengan harga Rp36 juta. Tidak. Toh, itu duit receh. Tetapi, secara moral, saya tak bisa membayangkan jika ada orang membelinya dengan ngoyo.
Puji Tuhan, saya memiliki tetangga-tetangga yang sangat baik. Di antaranya adalah Pak Barman. Ia manajer penting di salah satu dealer Yamaha, di Jogja. Dengan hati masygul karena merasa sangat tulalit, saya mengirimkan foto-foto Yamaha XSR155 kepada beliau. Beliau pun menjawab, menjelaskan bahwa motor retro tersebut telah rilis sejak Desember 2019. Harganya Rp36 juta saja. Malam itu, obrolan di chat berlangsung segitu saja.
Siangnya, keesokan hari, ketika udah keluar rumah, wasap Pak Barman masuk ke hape Oppo saya. Sebuah foto. Ada dua buah motor XSR155 yang telah nangkring di bak pick up. Warnanya hitam dan cokelat.
Lalu wasap berikutnya masuk lagi. “Pak Edi lihat-lihat aja dulu semalam, dua malam. Jika ada yang suka, alhamdulillah. Jika tidak, ya nggak apa-apa, heee….”
Wah, enak banget punya teman Pak Barman yang sat set dan baik hati ini. Di kepala, sebenarnya saya telah punya pilihan. Oke, warna hitam saja. Satu unit Yamaha XSR155 warna hitam masuk ke garasi rumah saya.
Saya amati lekat-lekat motor tampan ini malam harinya. Memang cakep benar potongan motor berbasis YZF R15 ini. Betul, motor ini bukan anakan Vixion, tapi YZR. Ya, sekelasnya CBR itulah. Dengan mesin kecil, 155 CC. Dengan Ninja? Ah, tentu saja tidak. Ntar, ya….
Mungkin setahunan silam, saya pernah memodifikasi motor Kawasaki Versys 250 CC. Tepat, di waktu yang sama, saya juga punya Ninja 250 CC kedua. Gaya modifikasinya ala café racer atau retro begitulah. Karena saya kurang puas dengan hasilnya yang bermasalah, ringkasnya, motor modifan itu pun berdebu belaka di garasi. Hingga suatu hari saya hibahkan kepada seporang kawan, Mas Hinu OS.
Tampang final hasil modifan Versys itu identik dengan XSR155 ini. Tapi, tentu saja, XSR155 ini kan versi built up dari pabrik. Pasti kerja insinyur pabrik lebih rapi, detail, dan jujur dibanding Fadli. Tentu wujudnya sangat memuaskan. Inilah alasan pertama saya meminang XSR155 ini.
Dan, benar, sekujur tubuh Yamaha XSR155 ini memang tampan. Pokoknya, hanya ada tampan, keren, tampan, dan keren.
Keesokan harinya, langsung saya modif tipis-tipis. Membuang spartboard yang gondrong dan merusak view bagian pantatnya. Mengganti lampu-lampu sein depan belakang dengan produk led, bukan neon bawaannya. Segitu saja modifannya, sudah makin yahud motor ini. Oh iya, memang kurang satu atau dua lagi: ganti knalpot yang bisa misuh (tidak sebagaimana aslinya yang mendesis-desis kayak jomblo horny) dan ganti ban tahu yang lebih besar.
Malamnya, saya pun memecah jalanan Jogja. Masuk ring road timur dekat rumah, dan tarik gasss….
Damn! (maaf, yes, semenjak sering jajan di J.co, pisuhanku cenderung keminggris, lho).
Spontan saya misuh. Ini motor apaan sih? Kok gini amat handling, akselerasi, dan torsinya? Kok kayak keok dibanding motor matik Yamaha Aerox yang setia menemani saya ke masjid. Apalagi dibanding Nmax, si moge plastikan itu.
Besoknya, karena masih kurang yakin, kugeber lagi di ring road, dini hari. Damn! Memanglah ini motor seketika meyakinkan saya bahwa ia sebangku sekolah sama Honda Tiger. Halo, masih inget Honda Tiger? Nah, serupalah….
Pertama, setangnya terlalu rendah dan jauh pula dari dudukan pengendara. Posisi riding mau tak mau agak nekuk pinggang, dengan bertumpu kepada kedua tangan. Walhasil, engkel tangan menerima beban besar dari tubuh, terutama jika mengerem keras, dan tentu saja dalam jarak panjang dan durasi lama, misal touring, ia akan menyiksa. Ya, oke sih, solusinya gampang: ganti setang yang lebih tinggi dengan ditekuk ke dalam sedikit agar posisi kedua tangan dan punggung lebih rileks.
Kedua, dari enam gigi yang tersedia, semuanya jelek kecuali dari gigi tiga ke empat dan lima. Saya sebut jelek dengan dua indikasi: napasnya pendek, akselerasinya berat, dan RPM begitu cepat melesat hingga hanya terasa menghasilkan deruman horny tadi.
Maunya segera melesat, apa daya, power-nya perlu jeda untuk attahiyat. Paling parah di gigi satu dan kedua. Derumannya wow, torsinya entah ke mana, hingga akselarasinya sangat jelek. Jika dipakai balapan sama Aerox, yakin ini akan keteteran, apalagi Ninja. Lalu di gigi lima ke enam, pertambahan tenaganya sangat entah. Ora kerosoooo….
Iki motor opo to yo?
Ketiga, mungkin karena faktor bobotnya yang tak terlalu ringan, bila dikendarai di atas 70 km/jam, ia mulai terasa melayang. Seolah tak menjajak di aspal. Tentu saja, sebagai rider MotoGP kelas ring road, ini kabar buruk nan mengerikan. Tak kebayang untuk menggenjot gas lebih dari 90 km/jam. Sudahlah butuh napas panjang untuk mencapainya, rasa melayang-layang di udara itu bagaikan nganterin nyawa saja.
Walau tidak apple to apple, pengalaman saya menunggangi dua jenis Ninja, juga Versys, dan ER6, dalam kecepatan-kecepatan tinggi menyisakan pembacaan-pembacaan kritis kreatif bahwa Yamaha XSR155 ini memang tidak cocok blas buat saya. Soal bodi memang oke. Tapi, buat apa punya pasangan dengan bodi yahud tetapi bikin saya misuh-misuh melulu, kan?
Kelemahan mendasar yang sangat mengganggu ekspektasi saya pada motor retro ini ialah power mesinnya yang tergolong lemot, handling-nya amat sangat biasa banget, dan bobot ringannya yang menjadikannya melayang-layang tanpa grip bagus di aspal.
Btw, saya pernah ngacir pakai Ninja sampai 150 km/jam, dan handling, grip, serta bodinya benar-benar anteng nyaman mantap meyakinkan. Yamaha XSR155 ini, di kecepatan 70 saja, sudah terasa ngelayang. Mbuhlah.
Saya pikir dengan harga segitu itu, tidak worth it. Kecuali, tegasnya, sekali lagi, kecuali, ini jadi pengalaman pertama Anda dengan motor laki nonmatik, sehingga Anda tidak memiliki pengalaman pembanding blas, dan kemudian Anda tidak sensitif untuk kritis membedakan antara sukses dan sibuk, banter dan aman, Avanza dan Innova Reborn Matic solar.
Oke, solusi rohaninya kini ialah saya akan tempatkan motor ini dalam kapasitas untuk display bodi retronya saja. Buat tambahan interior kafe Mainmain agar makin Instagramable, cocoklah. Itu pertama. Yang kedua, hayooo tak tuku neh to yooo nanti jika ada motor lain yang berbodi retro dengan power, handling, dan grip yang sesuai spekku….
Terakhir, mohon digarisbawahi, saya tidak menyesal telah membeli Yamaha XSR155 dengan harga Rp36 juta itu. Tidak. Toh, itu duit receh saja. Tetapi, secara moral, saya tak bisa membayangkan jika ada orang membelinya dengan ngotot, ngoyo, ngangsur tahunan segala, menunda pernikahan pula, lalu dapatnya ya hanya segitu doang. Sakke, sakke tenan….
Mungkin saya bisa bikin sebal petinggi-petinggi Yamaha. Tetapi, saya tetap harus prioritas menasihati kawan-kawan saya yang ngumpulin duit dengan susah lagi payah karena terpikat sama motor ini. Westo, kalian tetap setia sama Honda Beat atau Gojek saja. Itulah jalan lurus kalian….
BACA JUGA Ketika Kawasaki Versys 250 yang Jablay Dicustom Scrambler atau ulasan motor nyebelin lainnya di rubrik OTOMOJOK.