MOJOK.CO – Saya pengin Suzuki Satria FU ini jadi kayak baru lagi. Cita-cita saya sekarang adalah mengembalikan bentuk orisinal dari Suzuki Satria FU ini.
Bagi saya, mereka yang mau merawat Suzuki Satria FU 150 termasuk ke dalam golongan orang sabar dan setia. Gimana nggak. Saat ini, jumlah bengkel resmi sudah semakin langka. Makin susah ditemukan. Kalau ada, belum tentu pemilik motor legendaris akan cocok.
Tahun lalu, Mbak Mita Idhatul Khumaidah sudah menjelaskan bahwa kelangkaan bengkel resmi Suzuki itu bukan melulu bermakna negatif. Salah satu penyebab makin langkanya bengkel resmi adalah mesin Suzuki itu sendiri. Bagi banyak orang, motor pabrikan ini “terlalu awet”.
Mbak Mita menulis seperti ini:
“Entah apa yang merasuki pikiran para pegawai R&D Suzuki. Sadar bahwa hal paling esensial dari sepeda motor adalah mesin, mereka mencurahkan semuanya ke sektor ini sambil menutup mata pada sektor lain. Hasilnya, muncul sepeda motor berdesain janggal yang tampaknya sanggup melaju hingga akhir zaman kelak. Mesin motor Suzuki, asal tidak dimodifikasi, susah banget rusaknya.”
Lanjutnya:
“Hal ini sudah terbukti sejak era Shogun 110 dirilis. Saat itu, demi membuktikan kehebatan mesinnya, Suzuki menggelar tes ketahanan ekstrem dengan menggeber motornya berhari-hari di Sirkuit Sentul. Seolah masih belum cukup, Suzuki juga sempat mengadakan touring akbar bertajuk “Suzuki Jelajah Negeri” kala merilis Smash. Dan hasilnya, saya tidak mendengar kabar ada Suzuki Smash yang mesinnya ngadat saat pengujian.”
Lalu:
“Mereka yang skeptis tentu bakal bilang kalau motor-motor Suzuki yang mengikuti tes ekstrem tersebut sudah dioprek sedemikian rupa agar kuat menjalani berbagai cobaan.”
Saya sudah merasakan sendiri “cobaan” yang dimaksud Mbak Mita ketika merawat Suzuki Satria FU….
Jadi, saya langsung jatuh cinta ketika mereka memproduksi Suzuki Satria FU generasi pertama. Saudara saya, anak juragan mebel, menjadi pembeli Suzuki Satria FU generasi pertama di kampung saya. Dia membeli yang varian Suzuki Satria 120 R bermesin dua tak. Motor tersebut akrab disebut Satria Lumba.
Suaranya khas mesin dua tak. Agak berisik. Larinya kencang. Saya, yang saat itu masih bocah dan belum boleh mengendarai motor langsung jatuh cinta. Kelak, kalau sudah boleh naik motor, saya punya cita-cita dibelikan Suzuki Satria oleh orang tua.
Tahun demi tahun berlalu. Rasanya, cita-cita saya makin gelap saja. Sementara itu, varian Suzuki Satria makin beragam. Sekitar 2004, Suzuki mengeluarkan varian Completely Built-Up (CBU) dengan mesin empat tak. Sama seperti kakak-kakaknya, Satria CBU ini larinya kencang.
Tak berselang lama, Suzuki punya ide lagi untuk memproduksi Satria baru. Namanya Suzuki Satria FU 150, yang hadir dengan berbagai model, salah satunya versi Facelift. Maka jadi sudah, saya hanya bisa bersabar menahan keinginan mengendarai Suzuki Satria.
Sejak kanak, menapaki usia remaja tanggung, lalu masuk usia SMA, rasa cinta kepada Suzuki Satria semakin memuncak. Saya sendiri memang makin suka dengan motor bercorak racing.
Untuk kesekian kali, saya merajuk ke orang tua. Minta dibelikan. Namun, kata orang tua, Suzuki Satria nggak cocok buat saya. Katanya, motor itu terlalu pendek buat saya yang terbilang tinggi di usia SMA. Saya tahu ini cuma akal-akalan saja karena saat itu harga Suzuki Satria memang belum terjangkau oleh keluarga kami.
Namun, lucunya, ibu saya nyeletuk gini: “Kalau mau beli motor, ya beli motor laki aja!”
Celaka, Suzuki Satria dianggap motor cewek. Alibi itu nggak bisa sinkron sama logika saya. Kalau beli Suzuki Satria saja nggak sanggup, kok mau beli “motor laki” yang pasti berbanderol lebih tinggi. Duh….
Yah, pada akhirnya, saran saya, jangan menggantung cita-cita terlalu tinggi. Jatuhnya entar sakit banget. Saya memendam hasrat dan rasa cinta kepada Suzuki Satria sampai usia 26 tahun! Dari bocah yang cuma bisa mengagumi Satria 120 R bermesin dua tak milik saudara anak juragan mebel dari jauh, sampai orang dewasa yang cuma bisa menghela napas ketika papasan dengan Suzuki Satria FU Facelift di jalan. Suram.
Namun, ternyata, bersabar dengan yang namanya cinta itu memberi makna yang dalam. Buahnya sangat manis. Terutama ketika saya bisa membeli Suzuki Satria dengan uang saya sendiri. Saking senangnya, saya berusaha memaklumi alibi lucu dari ibu saya dulu. Ya sudah, mungkin ini yang beliau maksud.
Saya berhasil membeli Suzuki Satria karena tidak sengaja. Ketika iseng memantau iklan di Facebook, ada orang dari Malang yang sedang berusaha menjual Suzuki Satria FU Facelift. Harganya Rp6 juta dan saya bayar tanpa pikir dua kali. Perkara cinta, pada akhirnya harus dituntaskan!
Lantaran beli nggak pakai mikir, saya nggak memeriksa ulasan-ulasan penting di berbagai platform. Namanya cinta, seringnya buta.
Untuk Suzuki Satria FU 150, ada dua ulasan yang bisa saya simpulkan, yaitu suku cadang yang mahal dan lumayan susah dicari. Terutama yang orisinal. Tapi ya sudah, kepalang basah dan saya cukup percaya diri dengan kesabaran saya sendiri ketika merawat kendaraan.
Setelah berdamai dengan kenyataan bahwa suku cadangnya itu mahal dan susah dicari, saya mulai “berburu” bengkel resmi yang bisa saya percaya. Nah, ini, ternyata mencari bengkel resmi Suzuki itu bikin pusing juga. Seperti kata Mbak Mita, mesin Suzuki yang kelewat awet bikin montir di bengkel resmi kebanyakan nganggur. Ada-ada aja.
Setelah beberapa hari mencari, di tengah kepungan bengkel Honda dan Yamaha, saya menemukan bengkel resmi Suzuki di daerah Tlogomas, Kota Malang. Saya geli sendiri ketika sampai di bengkel resmi dan disambut seorang montir tua. Makin geli karena beliau adalah satu-satunya montir di sana!
Jujur, saya sempat agak ragu. Montir di hadapan saya terlihat terlalu lelah. Bukan lelah bekerja, tapi kayaknya lelah menunggu ada pengendara yang iseng datang ke bengkel untuk servis dan ganti oli, hanya untuk melihat onderdil motornya dipreteli lalu dipasang lagi. Saya kadang mikir ini jangan-jangan servis berkala Suzuki itu satu dekade sekali.
Meski agak ragu, saya sodorkan juga daftar suku cadang dari Suzuki Satria FU yang ingin saya ganti. Cukup banyak juga, antara lain, gear set, paking magnet, kampas kompling, kampas rem, rantai kamrat, busi, saringan oli, saringan udara, dan suku cadang mesin lainnya.
Montir tua itu memelototi daftar yang saya bikin dengan mata berbinar. Saya makin yakin dia sudah kangen dengan aktivitas membongkar motor dan bau oli. Kata beliau, beberapa suku cadang Suzuki Satria FU ada di bengkel itu, tapi yang lain sedang kosong. Hebatnya, dia meyakinkan saya, kalau semua suku cadang akan lengkap pada waktunya.
Celakanya, saya disuruh menunggui bengkel resmi yang sepi itu. Sementara itu, pak montir bergegas mancal motornya untuk berburu suku cadang di bengkel lain. Ini gimana ceritanya saya malah jadi penunggu bengkel resmi. Gimana kalau ada yang datang dan minta servis. Ah, tapi itu pikiran yang terlalu jauh. Mungkin, di lain tempat, pengendara Suzuki sedang gelisah menunggu kapan tiba waktunya untuk servis.
Di tengah kekhawatiran saya, sekitar 90 menit kemudian, montir tua itu datang juga. Senyumnya terkembang. “Mas, dapat, tapi nggak semua,” katanya dengan nada riang karena akhirnya dia akan membongkar mesin Suzuki Satria FU dan tangannya akan berlumuran oli.
Ketika pak montir bilang “Dapat, tapi nggak semua,” saya sudah membayangkan paling kurang satu atau dua suku cadang saja. Tapi saya salah, ternyata yang didapat cuma saringan oli! Permainan bahasa dari pak montir yang sukses bikin saya cemberut.
Setelah memasang saringan oli, ganti oli, dan servis ringan, pak montir menyarankan saya mencari suku cadang langsung ke Surabaya. Gils, jauh juga, ya.
Namun, yah, karena nggak ada yang bisa diperbuat, saya mengiyakan saran pak montir dan membayar jasanya. Sebelum pulang, saya merasa pak montir lebih riang dari biasanya. Sebatas mengganti oli dan servis ringan Suzuki Satria FU saja dia sudah bahagia.
Petualangan mencari suku cadang saya lanjutkan keesokan harinya. Tentu saya nggak mau ke Surabaya dulu. Bukan soal biaya lagi, tapi waktu. Oleh sebab itu, saya memutuskan mengontak beberapa orang yang cinta Suzuki Satria dan mendapat saran untuk menuju ke Monica Motor di Jalan Kalpataru, Kota Malang.
Benar saja, onderdil di Monica Motor terbilang lengkap dan orisinal. Hanya satu onderdil yang nggak ori, yakni paking magnet. Tapi ya sudah, ketimbang jauh ke Surabaya, kan.
Sebetulnya bisa saja saya beli suku cadang yang nggak ori. Namun, buat Suzuki Satria FU yang sudah saya dambakan sejak bocah, rasanya sayang saja. Total, saya habis Rp1,4 juta untuk suku cadang. Belum menghitung bensi motor ini yang lumayan “bersahabat dengan SPBU”.
Saat itu, sebetulnya saya masih ingin mengganti velg, ban, karbu, blok mesin, sampai piston. Saya pengin Suzuki Satria FU ini jadi kayak baru lagi. Cita-cita saya sekarang adalah mengembalikan bentuk orisinal dari Suzuki Satria FU ini.
Yah, begitulah tantangan “merawat” motor yang lumayan rewel. Untung cinta, semua jadi terasa biasa. Di sisi lain, saya jadi tahu makna bersabar dan bersetia. Meski pada akhirnya dompet dan tabungan rada jebol juga.
“Motor cewek dimodali sampai segitunya. Mbok cewek yang beneran gitu yang dirawat,” saya membayangkan ibu saya akan nyeletuk begitu.
BACA JUGA Suzuki Satria, Legenda Penghancur Hubungan Orang Lain dan pengalaman seru lainnya di rubrik OTOMOJOK.
Penulis: Muhammad Erwin Wicaksono
Editor: Yamadipati Seno