Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Otomojok

Pemuja Hujan di Bulan Desember Penuh Omong Kosong, Mereka Musuh Utama Pengguna Beat dan Honda Vario

Yoka Pramadi oleh Yoka Pramadi
27 Desember 2025
A A
Omong Kosong Pemuja Hujan Musuh Honda Beat dan Vario MOJOK.CO

Ilustrasi Omong Kosong Pemuja Hujan Musuh Honda Beat dan Vario. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Bagi pengendara Honda Beat dan Vario, hujan di Jakarta adalah separator kelas sosial yang paling jujur. Pedih di mata!

Setiap masuk bulan Desember, timeline media sosial seperti berubah menjadi panggung bagi kaum pluviophile. Ini adalah istilah atau sebuah sebutan keren untuk mereka yang (mengaku) pemuja hujan. 

Sejak beberapa bulan sebelum Desember, sebenarnya, konten “butiran air di kaca jendela” sudah menguasai timeline. 

Coba buka Instagram Story kalian ketika gerimis mulai turun. Pasti bertebaran video butiran air di kaca jendela, ditemani segelas latte estetik, buku puisi yang terbuka tapi nggak dibaca, dan latar lagu indie folk yang mendayu-dayu. Caption-nya seragam: “Hujan bulan Desember membawa kenangan” atau “Syahdu sekali sore ini.”

Buat kalian yang membuat story kayak gitu, saya cuma mau bilang satu hal: Pret!

Hanya ada dua golongan yang meromantisasi hujan. Pertama, mereka yang sedang WFH di kamar ber-AC. Kedua, mereka yang sedang duduk manis di jok kulit Pajero atau Fortuner. 

Bagi kami, kasta sudra jalanan Jakarta yang menunggangi Honda Beat getar atau Honda Vario cicilan flat, hujan bulan Desember bukanlah puisi. Ia adalah bencana logistik, fisik, dan mental.

Neraka di kolong flyover bagi pengendara Honda Beat dan Vario

Mari kita bicara realitas pengendara pengendara Honda Beat dan Vario, bukan estetika. Saat langit Jakarta mulai gelap gulita pukul empat sore, alarm bahaya di kepala pengguna motor langsung menyala. 

Ini bukan tanda suasana “syahdu” akan turun menaungi Jakarta. Ini adalah tanda “Hunger Games” bagi pengendara Honda Beat dan Vario untuk rebutan tempat berteduh.

Kalian pikir para pengendara pengendara Honda Beat dan Vario itu suka berhenti massal di kolong flyover atau terowongan sempit sampai bikin macet total? Tidak, Bos. Kami terpaksa. 

Memakai jas hujan di pinggir jalanan Jakarta itu butuh ketangkasan setara atlet senam lantai. Telat sedikit, baju basah. Baju basah artinya masuk angin dan masuk angin artinya anggaran kerokan dan Tolak Angin membengkak. Bagi kaum jelata dengan gaji standar, sakit itu mahal.

Belum lagi drama jas hujan yang merepotkan pengendara pengendara Honda Beat dan Vario. Jas hujan model ponco (kelelawar) mengandung bahaya karena bisa nyangkut di rantai motor. Jas hujan model baju-celana memang aman, tapi memakainya butuh waktu lima menit sendiri sambil joget-joget di pinggir trotoar demi memasukkan kaki yang tersangkut sepatu boots. 

Di mana letak romantisnya? Nggak ada. Yang ada cuma keringat dingin bercampur air hujan yang merembes lewat leher.

Siraman air kotor

Penderitaan pengendara Honda Beat dan Vario makin paripurna saat roda mulai berputar membelah genangan. Di sinilah hukum rimba berlaku. Hukum fisika mengatakan, massa yang lebih besar akan menindas massa yang lebih kecil.

Iklan

Pengendara mobil-mobil besar dengan ground clearance tinggi itu sering sekali melaju tanpa otak. Mereka menerjang genangan air kotor berwarna cokelat keruh dengan kecepatan penuh, menciptakan efek Tsunami mini ke arah trotoar. Siapa korbannya? Tentu saja kami, pengendara pengendara Honda Beat dan Vario, yang ada di jalur kiri.

Bukan main pedihnya mendapat siraman air kotor campuran oli dan tanah merah oleh mobil yang lewat. Mau marah, kaca mobilnya tertutup rapat dan kedap suara. Mau ngejar, ban Honda Beat dan Vario rawan tergelincir. Akhirnya cuma bisa mengumpat dalam hati sambil mengusap visor helm yang buram.

Di dalam mobil itu, mungkin si sopir atau penumpangnya sedang bikin story, “Hujan syahdu” sambil mendengarkan Tulus. Sementara di luar, kami sedang bertaruh nyawa menghindari lubang jalan yang tertutup air, sambil menahan air kotor yang mulai merembes masuk ke celah kaos kaki. 

Demi Tuhan. Sensasi kaos kaki basah yang “cekit-cekit” dingin itu adalah penyiksaan yang melanggar konvensi Jenewa.

Kelas sosial air hujan, pengendara Honda Beat dan Vario paling bawah

Sebagai peneliti sosial (maaf, saya harus pakai kartu ini sedikit), saya melihat hujan di Jakarta adalah separator kelas sosial yang paling jujur. Hujan menelanjangi ketimpangan infrastruktur kita.

Bagi kelas atas, hujan adalah suasana (ambience). Bagi kelas pekerja bermotor Honda Beat dan Vario, hujan adalah hambatan mobilitas. 

Kami harus sampai rumah di Citeureup, Citayam, Sawangan atau Bekasi sebelum pukul sembilan malam. Tapi, hujan memaksa kami melipir, menunggu reda yang tak pasti, atau nekat menerobos dengan risiko sakit.

Jadi, tolonglah. Simpan narasi puitis kalian tentang petrichor itu. Di hidung kami, hujan Jakarta baunya bukan tanah basah, tapi bau kampas rem gosong, sesak asap knalpot, dan bau apek jas hujan yang belum kering sempurna dari kemarin lusa.

Silakan nikmati kopi hangat kalian di kafe-kafe fancy itu. Tapi, kalau nanti kalian pesan ojol makanan dan abangnya datang dengan jaket basah kuyup serta plastik pesanan yang berembun, jangan lupa kasih tip lebih. 

Dan demi kemanusiaan, jangan kasih bintang satu cuma karena bungkus makanannya sedikit basah. Itu bukan air hujan biasa, itu air mata perjuangan kelas pekerja yang gagal romantis.

Penulis: Yoka Pramadi

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 7 Motor Honda yang Sebaiknya Nggak Usah Dibeli, Kepikiran pun Jangan, Mending Beli Yamaha! Dan pengalaman menyebalkan lainnya di rubrik OTOMOJOK.

Terakhir diperbarui pada 27 Desember 2025 oleh

Tags: beatdesemberhondaHonda Beathonda variohujan hari inijakartajakarta selatanpetrichorvario
Yoka Pramadi

Yoka Pramadi

Peneliti Sosial. Berteman dengan aspal jalan raya Jakarta-Bogor. Menulis untuk menjaga kewarasan di tengah gempuran deadline.

Artikel Terkait

Pasar Petamburan di Jakarta Barat jadi siksu perjuangan gen Z lulusan SMA. MOJOK.CO
Ragam

Pasar Petamburan Jadi Saksi Bisu Perjuangan Saya Jualan Sejak Usia 8 Tahun demi Bertahan Hidup di Jakarta usai Orang Tua Berpisah

19 Desember 2025
Gagal dan tertipu kerja di Jakarta Barat, malah hidup bahagia saat pulang ke desa meski ijazah S1 tak laku dan uang tak seberapa MOJOK.CO
Ragam

Dipecat hingga Tertipu Kerja di Jakarta Barat, Dicap Gagal saat Pulang ke Desa tapi Malah bikin Ortu Bahagia

19 Desember 2025
UMP Jogja bikin miris, mending kerja di Jakarta. MOJOK.CO
Ragam

Menyesal Kerja di Jogja dengan Gaji yang Nggak Sesuai UMP, Pilih ke Jakarta meski Kerjanya “Hectic”. Toh, Sama-sama Mahal

17 Desember 2025
Alumnus ITB resign kerja di Jakarta dan buka usaha sendiri di Bandung. MOJOK.CO
Sosok

Alumnus ITB Rela Tinggalkan Gaji Puluhan Juta di Jakarta demi Buka Lapangan Kerja dan Gaungkan Isu Lingkungan

12 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

elang jawa.MOJOK.CO

Melacak Gerak Sayap Predator Terlangka di Jawa Lewat Genggaman Ponsel

23 Desember 2025
38 Orang Napi di Lapas Wirogunan Jogja Terima Remisi Saat Natal. MOJOK.CO

Gereja Hati Kudus, Saksi Bisu 38 Orang Napi di Lapas Wirogunan Jogja Terima Remisi Saat Natal

26 Desember 2025
Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

23 Desember 2025
Menteri Kebudayaan Fadli Zon dan Wali Kota Agustina Wilujeng ajak anak muda mengenal sejarah Kota Semarang lewat kartu pos MOJOK.CO

Kartu Pos Sejak 1890-an Jadi Saksi Sejarah Perjalanan Kota Semarang

20 Desember 2025
Kisah Kelam Pasar Beringharjo Jogja yang Tak Banyak Orang Tahu MOJOK.CO

Kisah Kelam Pasar Beringharjo Jogja di Masa Lalu yang Tak Banyak Orang Tahu

24 Desember 2025
elang jawa.MOJOK.CO

Upaya “Mengadopsi” Sarang-Sarang Sang Garuda di Hutan Pulau Jawa

22 Desember 2025

Video Terbaru

Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

23 Desember 2025
Sepak Bola Putri SD Negeri 3 Imogiri dan Upaya Membangun Karakter Anak

Sepak Bola Putri SD Negeri 3 Imogiri dan Upaya Membangun Karakter Anak

20 Desember 2025
SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.