MOJOK.CO – Jangan nekat membawa mobil Honda Jazz ke tempat yang bukan seharusnya. Jazz masih hatchback terbaik, tapi bisa ngasih kamu penyesalan di akhir.
Libur kerja yang agak panjang adalah momen yang langka. Biasanya, saya memanfaatkan momen ini untuk rebahan maksimal di rumah. Tapi, kali ini semuanya berbeda.
Istri kebetulan sedang pulang kampung. Ia meninggalkan saya sendirian di rumah dengan kebosanan yang menjadi-jadi. Setelah beberapa jam scrolling media sosial tanpa arah, saya akhirnya memutuskan: “Udahlah, liburan aja!”
Langsung saya hubungi 2 teman saya, Dika dan Reno. Kebetulan, 2 orang teman saya ini juga sedang tidak ada agenda. Setelah perdebatan singkat di grup WhatsApp, tercetuslah ide yang agak absurd. Kami akan road trip ke Ujung Kulon.
Dan yang lebih absurd lagi, kami akan pakai mobil Honda Jazz GE8 milik Dika. Masalahnya, mobil Dika ini jelas sudah tidak standar lagi. Suspensinya ceper banget! Sebuah keputusan yang, dalam retrospeksi, terdengar makin absurd.
Saya yang paling ahli nyetir di antara kami bertiga akhirnya menjadi sopir utama. Bukan karena mereka malas, tapi karena saya memang yang paling bisa diandalkan saat menghadapi segala situasi di jalan.
Awal perjalanan bersama mobil Honda Jazz: Masih sombong dan percaya diri
Long weekend. Seharusnya ini momen untuk tidur siang selama mungkin, makan Indomie tanpa beban, atau binge-watching serial Netflix. Tapi entah kenapa, saya malah memilih perjalanan penuh penderitaan, yaitu road trip ke Ujung Kulon pakai mobil Honda Jazz.
Kami bertiga memulai perjalanan dari Jakarta dengan segala gegap gempitanya. Saya, Dika, dan Reno, 3 orang dengan ambisi besar dan logika yang kecil, memutuskan untuk menjajal Honda Jazz GE8 ke Ujung Kulon. Sebuah keputusan yang agak-agak tolol.
“Jazz ini hatchback yang tangguh, Bro!” kata Dika sambil menepuk dashboard dengan bangga.
Wajar, karena ini mobilnya. Padahal, kalau kita lihat sejarahnya, Honda Jazz GE8 lebih sering jadi mobil meet-up komunitas mobil di parkiran mall daripada menerjang medan ekstrem.
Tapi, dengan modal bensin full tank, playlist Spotify yang sudah dipilih matang, dan semangat petualangan yang lebih besar dari akal sehat, kami tancap gas menuju Ujung Kulon. Jalur yang kami pilih adalah rute standar: lewat tol Jakarta-Merak, lalu masuk ke jalanan kabupaten yang katanya “cukup baik” menurut Google Maps.
Kata siapa? Kata Google. Dan Google, seperti yang kita tahu, sering kali penuh tipu daya.
Baca halaman selanjutnya: Kasihan Jazz, deritanya karena manusia.