MOJOK.CO – Semua orang berpendapat tentang ular kobra, tetapi pendapat si ular sendiri tidak dipedulikan. Can’t the subaltern speak?
Menjelang tutup tahun 2019, Indonesia sedang diramaikan berbagai berita dari darat, laut, dan udara. Berita dari udara tentu skandal Garuda Indonesia mulai dari penyelundupan moge dan Ferrari mahal hingga utas akun Twitter @digeeembok “e”-nya tiga tentang kekerasan seksual pramugari-pramugari Garuda. Sedangkan dari laut, urusan benih lobster menimbulkan perang di Twitter sampai Susi Pudjiastuti turun tangan. Sementara di darat, fenomena ular kobra muncul berjamaah di beberapa provinsi menimbulkan horor tersendiri.
Ular kobra muncul banyak dan berbarengan jelas mengkhawatirkan. Meski bukan king cobra, ular kobra Jawa yang tetiba ada di mana-mana ini tetap saja beracun dan berbahaya. Sejumlah berita mewartakan beberapa orang meninggal digigit kobra ini.
Saking mengkhawatirkannya, Wali Kota Depok sempat ingin melibatkan agen intelijen untuk menyelidiki fenomena ini. Sementara para pakar hewan maklum karena memang ada penjelasan biologisnya. Kayak kata Pak Ganjar Cahyadi, ahli reptil ITB, awal musim hujan waktunya telur-telur kobra akan menetas. Setelah menetas, anak-anak kobra ini langsung mandiri. Induknya tak perlu menyekolahkan apalagi menyiapkan tabungan pendidikan sehingga si anak kobra langsung meninggalkan rumah orang tua dan menyebar ke mana pun takdir membawa.
Tapi itu versi ilmiah dari seorang ilmuwan. Sebagai orang yang selalu ingin melihat semua hal dari berbagai sudut pandang, saya mencoba menanyakan langsung para ular kobra ini alasan mereka mendadak muncul di akhir tahun.
Tentu untuk melakukan wawancara saya harus dibantu seseorang yang, mohon maaf, harus saya rahasiakan. Yang jelas dia ini mantan murid Asrama Slytherin di sekolah sihir Hogwarts. Jadi perkara bahasa ular sudah fasih lah ya. Bahkan sampai bahasa gaul mereka dia juga tahu.
Demi keamanan para ular, nama mereka juga saya samarkan. Kalau ada kesamaan nama, kepada khalayak para kobra, saya minta maaf karena sungguh hal itu bukan kesengajaan.
Berikut beberapa petikan wawancara saya dengan ular-ular kobra ini.
“Udah jelas, Mas, kita ini mau demo. Protes ke pemerintah. Lha kok kami di rumah anteng-anteng saja, eh tanpa ada musyawarah tahu-tahu mau dihempaskan dan rumah kami dijadikan perumahan atau jalan tol. Kami ini juga makhluk hidup, Mas, punya hak untuk urip aman dan tenteram. Kalau kami menyerang, bisa jadi alasan bagi Anda para manusia menyerang balik kami. Lha ini kami nggak ngapa-ngapain, eh tahu-tahu digusur. Apa karena kami nggak bayar pajak? Dengar-dengar yang bayar pajak pun ada yang digusur kan? Kalian ini jadi pemimpin di bumi kejam sekali !” — Gunarso, cobra justice warrior (CJW)
“Ya memang betul seperti disampaikan ilmuwan ITB itu. Memang ini pas waktunya anak-anak menetas makanya jumlah kami tiba-tiba banyak. Mumpung ini anak-anak saya alhamdulillah menetas semua sehat walafiat, pengin saya ajak ketemu pakde-budenya, kobra-kobra dari daerah lain. Udah lama juga nggak reunian. Ya siapa tahu anak saya ada yang jodoh sama anak temen saya. Emang perkara reunian cuma milik alumni 212 saja? Kita para kobra juga sering reuni lho!” — Rahmadi, kobra hitam asal Jawa Tengah. Tidak ikut KB (Kobra Berencana) makanya punya anak 12
“INI SEMUA SALAH JOKOWI, MAS! MBOH, POKOKNYA SALAH JOKOWI!” — Sintia, ibu kobra muda pembenci Jokowi akut sejak pilpres 2014
“Ya ini saya mau ke Istana. Mau minta sepeda ke Pak Jokowi. Capek saya bertahun-tahun melata terus.” — Jacksen, kobra hitam pendukung fanatik Jokowi
“Mau ke DWP. Akhir tahun party laaah~” — Peter, kobra generasi Y
“Rencananya kami mengumpulkan beberapa pengurus partai untuk rapat bersama terkait UU yang akan kami ajukan sekaligus membahas jatah wakil gubernur di ibu kota yang harusnya milik kami, tetapi sampai sekarang belum ada kejelasan.” — Raminto, pengurus Partai Kobra Sejahtera
“Ini mau konsolidasi, Mas. Ingin mendirikan kembali partai yang katanya menakutkan dan mengancam itu. Hayoloh, mau apa kamu?” — Narsi, (katanya) salah seorang pendiri Partai Kobra Indonesia gaya baru
“Mau casting film KKN di Desa Penari. Katanya untuk scene Badarawuhi butuh banyak ular dari berbagai spesies. Ini saya mau ikut. Doain ya, Mas, saya agak nggak pede, banyak kobra lain yang ikut juga soalnya.” — Windi, kobra warna cokelat karamel dari hutan jati Gunungkidul
“Anda tahu kan mangsa kami apa? Betul, tikus. Tetapi bukan tikus-tikus sawah yang ingin kami lahap dan santap, tetapi tikus-tikus berdasi yang menduduki jabatan dan posisi penting dalam negeri yang tega memakan dan menyiksa rakyatnya sendiri. Para gerombolan tikus koruptor itulah incaran kami! Kami keluar untuk memburu mereka!” — Tommy, anggota Kobra Pemberantas Korupsi
“Jadi saya tadi munculnya berempat. Saya ini Dobleh, temen saya yang satunya Jamal, satunya lagi Arif, yang satunya kabur.” — Dobleh, kobra mendeman
Itulah beberapa alasan dari para ular kobra mengapa mereka memutuskan muncul akhir-akhir ini. Apa pun alasannya, manusia tetap harus hati-hati. Ular kobra bukan ular sembarangan, jadi jangan main-main. Cari pertolongan dari ahlinya.
Ular ini konon tidak mempan dilawan dengan garam, jadi menabur garam untuk menghalaunya jelas sia-sia. Namun bisa dicoba menabur kenangan, terutama kenangan-kenangan pahit. Bisa jadi ularnya jadi berempati dan menjauhi kehidupanmu yang memang suram itu.
Koreksi: Syltherin udah dibenerin jadi Slytherin. Makasi ye nyang ude komen. [mam ketoprak pedas cabe rawit 4%]
BACA JUGA Mari Berbicara dengan Hewan Peliharaan atau tulisan OKTAVOLAMA AKBAR BUDI SANTOSA lainnya.