Sebelum memulai tulisan ini, saya mikir berkali kali, “Pantes enggak sih semua ini diceritain ke orang-orang?”
Jadi gini. Berdasarkan penelitian abal-abal yang saya tahu, sebanyak 99,97356% orang pasti menyebut “enggak enak” ketika membahas topik selingkuh: perselingkuhan, diselingkuhi ataupun menjadi selingkuhan. Tapi ini khusus bagi yang sudah punya pacar lho, ya. Kamu masih dalam tahap mbribik aja masih kangelan, ya enggak usah kegeeran.
Mari fokus di bagian “jadi selingkuhan” dulu. He’em. Jadi orang ketiga: pihak yang sering dijadikan kambing hitam atas rusaknya hubungan orang lain, perebut pacar orang, atau apalah istilah kejam lainnya.
Sebetulnya menjadi selingkuhan itu rasanya enggak kalah pahit dari yang diselingkuhi, lho. Wong sama-sama dibohongi, sama-sama rugi, ya sama-sama diselingkuhi juga. Tapi, ya apa boleh buat, selalu saja mereka dituduh sebagai akar terjadinya kerusakan.
Tapi itu kalau posisinya kita enggak tahu telah menjadi selingkuhan.
“Apa? Kita?”
“Aku aja deh, kamu cukup bahagia aja terus di kerak neraka sana.”
Lalu bagaimana kalau kita tahu telah menjadi selingkuhan? Kita sadar, baik rohani dan jasmani, bahwa orang yang sedang memadu asmara dengan kita ini sudah punya pacar. Terlebih jika “kita” di sini konteksnya adalah perempuan. Pasti langsung dicaci murahan dan sebagainya. Maklum, negeri patriarkis.
Fyi, saya pernah dua kali menjadi selingkuhan. Enggak sering sih, tapi lumayanlah buat sangu nulis. Ketika itu saya sadar dijadikan selingkuhan. Tapi, saya sih santai saja, enggak pernah nuntut kejelasan status juga.
Kenapa saya mau? Kalau saya pikir dan saya analisis lagi, jawabannya adalah karena saya sudah kesuwen jomblo. Cari pacar susah. Jadi, mumpung ada yang lucu, imut, nggemesin, berondong lagi, ya kenapa enggak? Bonus SMS bisa kepake, henfon bisa krang-kring terus, hati yang mulai menjadi sarang laba-laba ini juga bisa kembali merasakan percikan cinta, meski seuprit.
Partner saya yang pertama panggilannya Dik Yogi. He’em, karena dia lebih muda dari saya, jadi saya manggilnya “dik”. Fisiknya lumayan, wajahnya juga ndak ngisin-ngisini kalau dijak nonton manten.
Kenapa dia tertarik sama saya? Jawabnya sih, “Mbak itu cantik. Seagama lagi sama saya. Mungkin bisa diteruskan sampai ke tahap yang serius”. Uhuk.
Oke, kesimpulannya berarti dia berselingkuh karena berbeda agama dengan pacarnya. Noted.
Dik Yogi tentu saja belum kenal betul siapa saya. Dia belum tahu apa warna kesukaan saya, saya suka gigit atau tidak, apakah saya punya bisnis gelap seperti jasa pembesaran alat kelambu, dan lain sebagainya. Tapi saya tak terlalu mempermasalahkan.
Saya malah sempat bertanya kepadanya, “Lha kayak gini ini, pacarmu tahu, ndak? Nek ketahuan gimana? Kasihan dia. Diselingkuhi.”
Bayangin, kurang baik apa coba saya ini sebagai selingkuhan? Di-SMS kapanpun OK, ditelepon kapanpun mau, dikabari telat enggak ngamuk, dan masih suka kasih nasehat yang benar pula.
Long story short, hubungan saya sama Dik Yogi cuma bertahan 3 minggu, meski ia sempat mutusin pacarnya demi saya. Tapi justru karena itu saya malah enggak enak hati. Ini serius. Karma is a bitch, man. Saya yang juga pernah diselingkuhi tahu betul betapa enggak enaknya diputusin karena orang lain.
Beruntung, Dik Yogi kemudian sadar dan kembali meneruskan hubungan dengan kekasih resminya. Ia pun sempat meminta maaf kepada saya. Happy ending kan? Iya, buat Dik Yogi, bukan saya. Sampai saat ini, hubungan saya sama Dik Yogi masih baik.
Kisah kedua saya menjadi selingkuhan cenderung agak absurd karena partnernya adalah mantan sendiri. Opo ra nggilani jal? Dadi selingkuhane mantan?
Waktu itu, ketika masa-masa alay masih bergelora di dada, saya sering merasa kangen enggak jelas untuk mengulang kenangan dengan si mantan yang namanya Mas Wahyu ini. Ketika saya tahu semua display picture BBM, Line, dan WhatsApp-nya sudah diganti dengan foto pacarnya yang baru, saya cemburu betul.
“Kok cepet banget sih Mas Wahyu move-on? Baru sebulan udah punya pacar lagi!”
Sampai pada suatu hari, kami dipertemukan oleh alam raya dalam acara ibadah anjangsana pemuda. Beliau mukulin drum, saya duduk sebagai jemaat. Kami sempat curi-curi pandang malu-malu kecubung gitu deh. Dan tiga hari setelahnya, aha, dia WhatsApp saya bilang kangen. Dia juga meminta saya untuk main ke rumahnya. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Bisa kembali mendapatkan perhatiannya, ketika ia sudah punya pacar baru, saya tentu senang sekali. Ya antara seneng dan senep sih. Kok bisa-bisanya dia senggragas itu. Apa dipikir saya ini enggak ngerti, goblok, lugu, dan tak tahu apa-apa?
Singkat cerita, Mas Wahyu gantian main ke rumah saya. Sambil kembali bilang kangen, dia juga sempat mencium kening saya. Aduh! Tapi cerita serunya bukan yang ini…
Jadi, dua hari setelah momen yang ehem itu, saya sempat iseng kepoin akun Instagram-nya. Di salah satu foto, saya menuliskan komentar yang sebetulnya hanya bermaksud bercanda.
“Makasih ya, ay, buat yang kemaren”
Ealah, sama dia malah dibales gini:
“Ay, ay taekmu a?”
Dalam hati saya bilang:
“Asu kowe, Mas. Bar muni kangen, bar nyium keningku, aku mbok taek taekne!”
Saya enggak semarah itu sih, cuma lebih karena gregetan aja. Yang lucu adalah, pacarnya Mas Wahyu tadi mendadak nongol dan langsung komen:
“Waooww, Luaaaarr biasaaa.”
Berselang tiga hari kemudian, Mas Wahyu putus dari pacarnya. Padahal belum ada sebulan beliau masang DP sama si Mbaknya. Dan hebohnya lagi, si Mbaknya itu meng-screencapture komentar saya di akun Instagram Mas Wahyu tadi lalu diunggah di akun Instagaram pribadinya. Diberi caption apa gitu, saya lupa.
Kalian ketawa enggak sih setelah membaca itu? Saya kok ketawa, ya?
Inti dari kedua kisah saya ini adalah: saya ikhlas dan enggak maksa minta dijadikan pacar ketika dijadikan selingkuhan. Saya tahu betul posisi saya hanya orang ketiga yang tidak diinginkan. Saya juga tak pernah tebar pesona, tak pernah menggoda duluan, dan tak pernah satu kalipun saya menyuruh kedua mas-mas tadi untuk mutusin pacarnya.
Kalau kemudian saya ini dianggap anjing, perempuan murahan, dan diumpat dengan kata-kata brutal lainnya, ya enggak apa juga. Saya merasa, saya ini cuma anjing yang lewat depan rumah orang, dipanggil pemilik rumahnya, disuruh masuk, dikasih makan, dielus-elus. Kalau disuruh keluar, saya keluar. Disuruh datang lagi, ya tinggal datang. Udah.
Saya kira, saya telah berusaha menjadi selingkuhan yang sebaik-baiknya, dengan sehormat-hormatnya.
Tapi, kalau misal ada yang bilang ke saya, “Kamu tuh enggak ngerti gimana rasanya diselingkuhin!”, saya akan dengan sigap bilang:
“Rasane? Yo pait, su!”